Sukses

Mengenal 5 Bentuk Kekerasan di Tempat Kerja, Begini Cara Mengatasinya

Hierarki yang ada di tempat kerja seringkali menempatkan pekerja dalam posisi rentan terhadap kekerasan di tempat kerja.

Liputan6.com, Jakarta Seorang pekerja tidak hanya menghadapi tantangan dari tuntutan pekerjaan, tetapi juga dari berbagai bentuk kekerasan yang sering kali tersembunyi di balik hierarki, perbedaan jabatan, dan relasi kuasa. Hierarki yang ada di tempat kerja seringkali menempatkan pekerja dalam posisi rentan terhadap kekerasan di tempat kerja. Situasi ini memungkinkan atasan atau rekan kerja dengan kekuasaan lebih besar bisa menyalahgunakan posisi mereka untuk bertindak semena-mena. 

Survei terbaru dari International Labour Organization yang berjudul "Semua Bisa Kena!" (2022) mengungkapkan fakta mengejutkan tentang prevalensi kekerasan di tempat kerja di Indonesia. Data tersebut menunjukkan bahwa hampir 71 persen pekerja Indonesia pernah mengalami kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja mereka. Kekerasan dan pelecehan psikologis, seperti ejekan, hinaan, gosip, dan pengucilan, merupakan bentuk kekerasan yang paling sering dialami, melibatkan 77 persen responden. 

Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kekerasan seksual, yang dialami oleh 50 persen responden, dan kekerasan fisik, yang hanya 18 persen. Berikut ulasan lebih lanjut tentang bentuk-bentuk kekerasan di tempat kerja yang Liputan.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (13/9/2024).

2 dari 5 halaman

1. Kekerasan Verbal

Kekerasan verbal merupakan bentuk kekerasan yang sering kali dianggap sepele, tetapi dampaknya bisa sangat menyakitkan. Ini termasuk ucapan yang merendahkan, gerakan ofensif, kritik yang tidak masuk akal, serta komentar atau lelucon yang menyakitkan. Contoh kekerasan verbal adalah mengirim email dengan lelucon atau gambar yang menyinggung identitas pribadi seperti gender, orientasi seksual, ras, atau agama. 

Selain itu, berulang kali meminta kencan atau ajakan seksual, baik secara langsung atau melalui pesan, serta membuat komentar yang menghina tentang disabilitas seseorang juga merupakan bentuk kekerasan verbal. Mengolok-olok aksen berbicara atau logat seseorang juga termasuk dalam kategori ini, yang sering kali memicu rasa malu dan ketidaknyamanan bagi korban.

2. Kekerasan Psikologis 

Kekerasan psikologs melibatkan perilaku yang berulang dan menjengkelkan, yang secara emosional menyakiti atau memalukan seseorang. Ini bisa berupa pengambilalihan pengakuan atas pekerjaan orang lain, tuntutan yang tidak realistis, atau pemaksaan tenggat waktu yang tidak masuk akal. 

Selain itu, terus-menerus menuntut karyawan untuk melakukan tugas-tugas merendahkan di luar lingkup pekerjaan mereka juga termasuk kekerasan psikologis. Semua ini mengarah pada penurunan harga diri dan stres yang berkepanjangan.

3. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik mencakup ancaman atau serangan fisik yang melibatkan sentuhan yang tidak diinginkan atau tindakan kekerasan nyata. Ini termasuk menyentuh pakaian, tubuh, atau rambut orang lain tanpa izin, melakukan penyerangan fisik seperti memukul atau mencubit, serta melakukan ancaman kekerasan. Bahkan merusak properti pribadi, seperti mengempeskan ban kendaraan atau melempar ponsel orang lain, merupakan bentuk kekerasan fisik yang menambah ketidaknyamanan dan rasa takut.

3 dari 5 halaman

4. Kekerasan Berbasis Digital

Kekerasan berbasis digital adalah bentuk kekerasan yang terjadi di ranah daring. Ini mencakup memposting ancaman atau komentar yang merendahkan di media sosial, membuat akun palsu untuk merundung seseorang secara online, atau menyebarkan foto atau rekaman pribadi yang bersifat seksual tanpa izin. Tuduhan palsu yang disebarkan secara online juga termasuk dalam kekerasan berbasis digital, yang dapat merusak reputasi dan kesehatan mental korban.

5. Kekerasan Seksual 

Kekerasan seksual meliputi berbagai tindakan yang tidak diinginkan dan merendahkan secara seksual. Ini termasuk rayuan seksual yang tidak diinginkan, sentuhan yang tidak pantas, lelucon bernuansa seksual, serta pembagian media pornografi. Mengirim pesan seksual atau meminta hubungan seksual sebagai imbalan untuk promosi pekerjaan adalah bentuk kekerasan seksual yang serius, termasuk pemerkosaan dan kegiatan seksual yang dilakukan dengan paksaan.

4 dari 5 halaman

Kenapa Kekerasan di Tempat Kerja Terjadi

Kekerasan di tempat kerja merupakan masalah kompleks yang tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu, tetapi juga pada atmosfer di lingkungan kerja. Di Indonesia, kekerasan di tempat kerja sering kali dipicu oleh beberapa faktor utama yang berkaitan dengan dinamika kekuasaan, budaya senioritas, dan dukungan yang minim terhadap korban. Berikut adalah ulasan tentang penyebab utama kekerasan di tempat kerja yang masih terjadi di negara ini.

1. Relasi Kuasa dan Penyalahgunaan Jabatan

Salah satu penyebab utama kekerasan di tempat kerja adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang berada di posisi jabatan lebih tinggi. Menurut survei terbaru, sekitar 54,81 persen kekerasan di tempat kerja dilakukan oleh atasan. Contohnya, seorang manajer mungkin mengancam karyawan untuk lembur tanpa kompensasi tambahan, memanfaatkan posisinya untuk memaksa bawahannya bekerja melebihi batas wajar. 

Dalam situasi seperti ini, karyawan yang berada dalam posisi lebih rendah merasa tertekan dan tidak memiliki banyak pilihan selain menuruti perintah tersebut. Banyak pemimpin belum sepenuhnya menyadari bahwa tindakan seperti memaksa karyawan bekerja di luar jam kerja tanpa insentif adalah bentuk kekerasan. Fenomena ini semakin diperparah dengan budaya kerja "hustle" yang berkembang di kalangan pekerja, terutama generasi Z, yang sering kali memaksa mereka untuk terus-menerus berusaha tanpa mempertimbangkan kesejahteraan mereka.

2. Budaya Senioritas

Budaya senioritas di Indonesia juga berkontribusi besar terhadap kekerasan di tempat kerja. Di banyak organisasi, pegawai baru sering kali menjadi korban perundungan atau perlakuan tidak adil dari pekerja senior. Budaya ini sering kali dianggap sebagai cara untuk mengakrabkan diri dengan pegawai baru, tetapi sering kali berujung pada tindakan yang merugikan. 

Alih-alih memberikan bimbingan yang konstruktif, pekerja senior sering kali menggunakan candaan yang tidak pantas atau menuntut pegawai baru melakukan tugas-tugas yang merendahkan. Ketika pegawai baru merasa tidak nyaman, mereka sering kali dikritik sebagai tidak “asik” atau “baper”. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak mendukung dan menambah tekanan pada pekerja baru untuk menerima perlakuan yang tidak adil.

3. Minimnya Dukungan dan Mekanisme Pelaporan

Kurangnya dukungan dari perusahaan terhadap karyawan yang mengalami kekerasan adalah masalah serius lainnya. Banyak perusahaan tidak memiliki mekanisme pelaporan yang jelas atau sistem pendukung yang memadai bagi korban kekerasan. Berdasarkan survei, sekitar 42,55 persen responden memilih untuk diam karena tidak tahu harus berbuat apa. 

Ketidakpastian mengenai proses pelaporan dan ketakutan bahwa laporan mereka tidak akan diterima atau mereka justru akan disalahkan, terutama ketika pelaku memiliki posisi lebih tinggi, membuat korban merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Minimnya bukti dan ketidakadilan dalam penegakan hukum internal perusahaan menambah ketidaknyamanan dan rasa takut bagi korban untuk melaporkan kejadian kekerasan.

5 dari 5 halaman

Cara Mengatasi Kekerasan di Tempat Kerja

Mengatasi kekerasan di tempat kerja memerlukan pendekatan yang terstruktur dan penuh perhatian. Untuk memutus rantai kekerasan dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, ada beberapa langkah yang bisa diambil. Berikut adalah panduan tentang cara mengatasi kekerasan di tempat kerja secara efektif.

1. Menegur Langsung

Langkah pertama adalah menegur langsung pelaku kekerasan, baik itu atasan maupun rekan kerja, jika situasi memungkinkan. Sampaikan ketidaknyamanan Anda dengan tegas namun sopan. Misalnya, Anda bisa mengatakan, "Saya merasa tidak nyaman dengan cara Anda berbicara kepada saya. Mohon untuk tidak melakukan itu lagi." Kadang-kadang, pelaku kekerasan mungkin tidak menyadari dampak dari tindakan mereka, dan teguran langsung bisa menjadi langkah awal untuk menghentikan perilaku tersebut.

2. Melaporkan ke Team Leader

Jika teguran verbal tidak berhasil dan kekerasan terus berlanjut, langkah selanjutnya adalah melapor ke team leader atau supervisor. Sebelum melapor, pastikan Anda mengumpulkan bukti-bukti kekerasan, seperti foto, rekaman, atau catatan detail tentang kejadian tersebut. Bukti-bukti ini akan memperkuat laporan Anda dan membantu team leader dalam menangani masalah tersebut secara efektif. Team leader kemudian akan meneruskan keluhan Anda ke HRD (Human Resources Department) untuk ditindaklanjuti.

3. Melaporkan ke HRD

Jika pelaku kekerasan adalah team leader itu sendiri, atau jika pelaporan melalui team leader tidak menghasilkan perubahan, langsung laporkan ke HRD. Pastikan untuk membawa semua bukti yang telah Anda kumpulkan. HRD memiliki tanggung jawab untuk menangani keluhan semacam ini dan dapat menyediakan dukungan yang diperlukan, termasuk penanganan formal dan penyelidikan terhadap kasus kekerasan. Mereka juga dapat memfasilitasi mediasi atau langkah-langkah disipliner sesuai dengan kebijakan perusahaan.

4. Dukungan Hukum dan Fisik

Selain melapor ke HRD, penting untuk mendapatkan dukungan hukum dan fisik. HRD harus memastikan bahwa Anda mendapatkan perlindungan dari kekerasan lebih lanjut dan menyediakan bantuan yang diperlukan, seperti konseling atau dukungan medis jika diperlukan. Dalam kasus yang lebih serius, Anda juga bisa mencari bantuan dari lembaga hukum untuk mendapatkan perlindungan hukum atau melakukan tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan.

5. Peran Serikat Pekerja

Serikat pekerja juga dapat memainkan peran penting dalam mengatasi kekerasan di tempat kerja. Mereka dapat mengusulkan kepada perusahaan untuk membuat dan menerapkan peraturan khusus tentang pencegahan dan penanganan kekerasan dan pelecehan. Serikat pekerja dapat membantu dalam merancang kebijakan yang jelas, mengadakan pelatihan untuk seluruh karyawan, dan memastikan bahwa mekanisme pelaporan berfungsi dengan baik.