Sukses

Fakta Kenapa Tupperware Bangkrut, Pelajaran Bisnis dari Raksasa Wadah Plastik

Tupperware dikabarkan sedang bersiap untuk mengajukan kebangkrutan paling cepat dalam pekan ini.

Liputan6.com, Jakarta - Kabar mengejutkan datang dari Tupperware, produsen wadah plastik yang telah menjadi ikon rumah tangga selama puluhan tahun. Tupperware dikabarkan sedang bersiap untuk mengajukan kebangkrutan paling cepat dalam pekan ini.

Melansir dari Reuters, Tupperware berencana untuk mendapatkan perlindungan pengadilan setelah melanggar persyaratan utangnya dan meminta bantuan dari penasihat hukum dan keuangan.

Sejumlah fakta terungkap mengenai alasan di balik Tupperware bangkrut. Perusahaan yang didirikan oleh ahli kimia Earl Tupper 78 tahun lalu ini menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Saham perusahaan telah anjlok signifikan sejak tahun lalu dan telah kehilangan kapitalisasi pasar hingga 95% dalam tiga tahun terakhir.

Sejarah panjang Tupperware dimulai pada tahun 1946 ketika Earl Tupper memperkenalkan produk plastiknya kepada publik. Inovasi segel kedap udara yang fleksibel menjadi ciri khas produk Tupperware yang membuat namanya melambung di rumah-rumah Amerika.

Namun, setelah hampir 80 tahun beroperasi, Tupperware kini menghadapi kemungkinan gulung tikar yang mengejutkan banyak pihak.

Berikut Liputan6.com ulas lengkapnya, Rabu (18/9/2024).

 

2 dari 3 halaman

1. Penurunan Penjualan dan Permintaan

Tupperware mengalami penurunan penjualan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Melansir dari Fortune, penjualan Tupperware turun 18% menjadi sekitar US$ 1,3 miliar pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2021. Penurunan permintaan ini terjadi setelah lonjakan singkat selama pandemi COVID-19.

Analis ritel dan direktur pelaksana Global Data Retail, Neil Saunders, mengatakan, "Tupperware mengalami penurunan tajam dari jumlah penjual, penurunan konsumen setelah pandemi, dan dinilai masih belum sepenuhnya terhubung dengan konsumen anak muda."

2. Utang yang Menumpuk

Tupperware bangkrut juga disebabkan oleh beban utang yang besar. Melansir dari Reuters, perusahaan ini memiliki utang lebih dari US$ 700 juta (sekitar Rp 10,85 triliun). Persiapan kebangkrutan menyusul negosiasi yang berlarut-larut antara Tupperware dan pemberi pinjamannya mengenai cara mengelola utang tersebut.

CEO Tupperware, Laurie Ann Goldman, dalam siaran pers menyatakan, "Selama beberapa tahun terakhir, posisi keuangan perusahaan telah sangat terpengaruh oleh lingkungan ekonomi makro yang menantang."

3. Persaingan dan Inovasi yang Tertinggal

Tupperware gagal beradaptasi dengan perubahan pasar dan persaingan yang semakin ketat. Melansir dari The Guardian, perusahaan berjuang menyamai pesaing wadah penyimpanan lain yang lebih inovatif dalam mempromosikan produk mereka kepada konsumen yang lebih muda di TikTok dan Instagram. Sementara itu, model bisnis Tupperware masih sangat bergantung pada pemasaran berjenjang atau MLM (multi-level marketing).

Neil Saunders menambahkan, "Perusahaan ini dulunya paling inovatif seperti 'gadget' canggih di dapur, tetapi sekarang benar-benar kehilangan keunggulannya."

4. Masalah Manajemen dan Pelaporan Keuangan

Tupperware mengalami kesulitan dalam manajemen keuangan dan pelaporan. Melansir dari laporan perusahaan kepada Securities and Exchange Commission (SEC), Tupperware mengaku belum mampu melaporkan kinerja keuangan kuartalan terbaru pada tanggal jatuh tempo yang ditentukan. Perusahaan juga menyatakan tidak akan mampu untuk menyelesaikan dan mengajukan laporan tahunan 2023.

Dalam keterbukaan tersebut, Tupperware menyatakan, "Departemen akuntansi Perusahaan telah mengalami, dan terus mengalami, penurunan kinerja yang signifikan, termasuk kepergian Chief Financial Officer baru-baru ini, yang mengakibatkan kesenjangan sumber daya dan keahlian, keterbatasan sumber daya, dan hilangnya kesinambungan pengetahuan."

3 dari 3 halaman

Sejarah Tupperware Berdiri

Tupperware, merek yang kini terancam bangkrut, memiliki sejarah panjang yang dimulai pada tahun 1946. Earl Silas Tupper, seorang ahli kimia dan penemu asal Amerika Serikat, mendirikan perusahaan ini dengan visi revolusioner untuk industri wadah penyimpanan makanan.

Tupper, yang sebelumnya bekerja di DuPont Chemical Company, memanfaatkan pengetahuannya tentang plastik untuk menciptakan wadah yang inovatif dan tahan lama.

Inspirasi Tupper datang dari tutup botol soda yang memiliki segel kedap udara. Ia mengembangkan konsep ini untuk menciptakan wadah plastik dengan tutup yang bisa "disegel" dengan cara ditekan, menciptakan ruang hampa udara yang menjaga kesegaran makanan lebih lama. Produk pertama yang sukses adalah Wonderlier Bowl, yang diluncurkan pada tahun 1946.

Meskipun produk Tupperware inovatif, pada awalnya penjualan tidak sesuai harapan. Konsumen masih belum terbiasa dengan plastik sebagai bahan wadah makanan dan tidak mengerti cara menggunakan tutup segel khas Tupperware. Perubahan besar terjadi ketika Brownie Wise bergabung dengan perusahaan pada awal 1950-an.

Wise memperkenalkan konsep "Tupperware Party", sebuah metode penjualan langsung yang revolusioner. Para ibu rumah tangga diajak menjadi demonstrator produk, mengadakan pesta di rumah mereka untuk memperkenalkan dan menjual produk Tupperware.

Metode ini tidak hanya meningkatkan penjualan secara dramatis tetapi juga memberikan peluang kerja dan pemberdayaan ekonomi bagi banyak wanita di era pasca-Perang Dunia II.

Awal Mula Kesuksesannya

Kesuksesan Tupperware Party membuat perusahaan berkembang pesat. Pada tahun 1958, Tupperware membuka kantor internasional pertamanya di Eropa. Ekspansi global terus berlanjut, dan pada tahun 1960-an, Tupperware telah menjadi nama rumah tangga di banyak negara. Inovasi produk terus dilakukan, dengan pengenalan berbagai lini produk baru seperti wadah microwave dan peralatan dapur lainnya.

Dekade 1990-an dan 2000-an membawa tantangan baru bagi Tupperware. Perubahan gaya hidup, masuknya pesaing baru, dan pergeseran preferensi konsumen mulai mempengaruhi penjualan. Meskipun demikian, perusahaan terus beradaptasi, memperkenalkan produk-produk baru dan memperluas ke pasar baru seperti Cina dan India.

Namun, tantangan terbesar datang di era digital. Model bisnis tradisional Tupperware, yang sangat bergantung pada penjualan langsung dan "party", mulai kehilangan relevansinya di tengah pertumbuhan e-commerce dan media sosial.

Meskipun perusahaan mencoba beradaptasi dengan memperkenalkan penjualan online dan strategi pemasaran digital, Tupperware bangkrut menjadi ancaman nyata seiring dengan penurunan penjualan yang tajam dan beban utang yang meningkat. Kini, setelah lebih dari 75 tahun beroperasi, Tupperware menghadapi masa depan yang tidak pasti, menandai kemungkinan akhir dari era ikonik dalam sejarah peralatan rumah tangga Amerika.