Liputan6.com, Jakarta Pola asuh yang sehat memainkan peran krusial dalam perkembangan anak. Sayangnya, tidak semua metode pengasuhan memberikan dampak positif.
Istilah toxic parenting merujuk pada perilaku orang tua yang dapat merusak kesehatan mental dan emosional anak. Gejala-gejala dari pola asuh ini sering kali muncul dalam interaksi sehari-hari.
Baca Juga
Memahami tanda-tanda toxic parenting adalah langkah penting bagi orang tua dan pengasuh untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Dengan mengenali perilaku yang merugikan, orang tua dapat bekerja untuk memperbaiki hubungan dengan anak dan mendukung pertumbuhan mereka dengan lebih efektif.
Advertisement
Dilansir dari Liputan6.com pada Sabtu (28/9/2024), berikut adalah pembahasan mengenai beberapa ciri toxic parenting yang perlu dihindari.
1. Komunikasi yang negatif
Toxic parenting seringkali ditandai dengan komunikasi yang merugikan, seperti kritik yang berlebihan atau cemoohan. Menurut Psych Central, pola asuh negatif ini dapat memicu agresi pada anak, karena mereka merasa tidak dihargai dan terus menerus disalahkan. Hal ini membuat anak merasa tertekan dan bisa berdampak buruk pada perkembangan emosional mereka.
Selain itu, komunikasi yang tidak mendukung membuat anak sulit mengekspresikan diri. BuzzFeed juga menyoroti bahwa orang tua yang sering kali mengabaikan perasaan anaknya cenderung menghasilkan anak yang merasa kesepian. Anak-anak perlu merasakan dukungan dan pemahaman dari orang tua agar dapat tumbuh dengan sehat secara emosional.
Oleh karena itu, penting untuk menerapkan komunikasi yang positif dan terbuka. Memberikan pujian dan mendengarkan anak dapat membantu membangun kepercayaan diri mereka, serta menciptakan hubungan yang lebih kuat antara orang tua dan anak.
Advertisement
2. Terlalu ikut campur
Salah satu tanda dari toxic parenting adalah keterlibatan yang berlebihan dalam kehidupan anak. Orang tua yang mengendalikan semua aspek kehidupan anak, mulai dari aktivitas sehari-hari hingga pemilihan teman, dapat menyebabkan anak merasa tertekan. Menurut BuzzFeed, hal ini bisa menimbulkan ketergantungan emosional yang tidak sehat.
Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk membuat keputusan sendiri, mereka mungkin merasa tidak kompeten dan kurang percaya diri. Anak-anak perlu belajar dari pengalaman mereka, baik itu sukses maupun kegagalan. Dengan memberikan mereka kebebasan, orang tua membantu anak untuk berkembang menjadi individu yang mandiri.
Mendukung anak dalam pengambilan keputusan, tanpa terlalu mengontrol, dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka. Ini membantu anak belajar tanggung jawab, serta cara menghadapi konsekuensi dari pilihan yang mereka buat.
3. Minimnya rasa empati
Pola asuh yang beracun juga ditandai dengan kurangnya empati terhadap perasaan anak. Ketika orang tua tidak bisa memahami atau menghargai emosi anak, hal ini dapat menimbulkan rasa keterasingan. Seperti yang dijelaskan dalam artikel BuzzFeed, anak-anak yang tidak merasakan empati dari orang tua seringkali mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.
Anak-anak perlu merasa bahwa perasaan mereka dihargai dan dipahami. Ketidakmampuan orang tua untuk menunjukkan empati dapat menciptakan jarak emosional yang menghalangi perkembangan ikatan yang kuat antara orang tua dan anak.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk belajar mengenali dan menghargai perasaan anak. Dengan menunjukkan empati, orang tua dapat membangun kepercayaan dan memberikan dukungan yang dibutuhkan anak untuk berkembang dengan baik.Â
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence
Advertisement