Sukses

Mengenal Fase Relapse Setelah Putus Cinta, Bisa Hambat Proses Move On Seseorang

Fase relapse adalah kondisi ketika seseorang merasa terjebak dalam ingatan untuk menghidupkan kembali hubungan yang sudah usai.

Liputan6.com, Jakarta Siapa yang mengatakan bahwa mengakhiri hubungan itu sederhana? Banyak orang merasa sulit untuk benar-benar bergerak maju setelah sebuah hubungan berakhir. Setelah putus cinta, masih ada banyak rintangan yang harus dihadapi.

Pada dasarnya, manusia tidak diciptakan untuk bisa sepenuhnya melupakan kenangan tertentu. Fase relapse sering kali muncul setelah perpisahan, dan ini bisa sangat meresahkan, bukan? K Fase relapse adalah kondisi ketika seseorang merasa terjebak dalam ingatan untuk menghidupkan kembali hubungan yang sudah usai.

Fase ini tentu saja dapat menghambat proses penyembuhan emosional. Di bawah ini akan dipaparkan mengenai pengertian hingga mengapa relapse bisa terjadi. Simak penjelasan selengkapnya sebagaimana dihimpun Liputan6.com dari berbagai sumber pada Sabtu (12/10/2024).

2 dari 5 halaman

1. Apa Itu Fase Relapse Setelah Putus Cinta?

Menurut Machdy dalam bukunya yang berjudul Loving Wounded Soul (2019), relapse didefinisikan sebagai kembalinya gejala-gejala utama ketika seseorang hampir sembuh. Pada saat ini, kenangan dan harapan muncul kembali ketika kamu hampir melupakan mantan. Sering kali, perasaan ini disertai dengan keinginan untuk memperbaiki hubungan yang telah rusak. Sayangnya, banyak orang malah cenderung menyalahkan diri sendiri atas berakhirnya hubungan tersebut. 

Walaupun sudah berusaha untuk melepaskan dan merasa telah move on sepenuhnya, fase ini muncul ketika kerinduan memuncak. Bayangan kenangan masa lalu kembali hadir, dan ada keinginan untuk mengulanginya. Relapse ini dapat membuat seseorang kembali ke pola lama seperti mencoba menghubungi mantan, menjalin komunikasi, dan mengulangi hubungan yang tidak sehat meskipun mereka telah berusaha menjauh.  

3 dari 5 halaman

2. Penyebab Fase Relapse Terjadi?

Ada banyak alasan mengapa fase relapse dapat terjadi setelah berakhirnya sebuah hubungan. Kesepian sering kali menjadi faktor utama yang memicu perasaan tersebut. Seseorang mungkin merindukan keberadaan mantan pasangan sebagai sumber kenyamanan emosional, meskipun menyadari bahwa hubungan itu tidak sehat. 

Mengenang momen-momen indah di masa lalu juga dapat memicu fase relapse. Ini sering kali mengaburkan ingatan tentang konflik dan alasan perpisahan. Ketidakpastian masa depan serta tekanan dari lingkungan sosial dapat menjadi faktor yang memperparah situasi. Selain itu, dorongan dari teman atau keluarga bisa membuat seseorang merasa perlu mempertimbangkan kesempatan kedua. 

4 dari 5 halaman

3. Tanda Kamu Sedang di Fase Relapse

Ciri utama dari berada di fase ini adalah seringnya mantan muncul dalam pikiranmu. Apapun kesibukan atau kegiatan yang dilakukan, mantan akan terus menghantui pikiran. Ini disertai dengan dorongan kuat untuk menghubungi dia.

Awalnya mungkin hanya sekadar melihat media sosialnya, namun seiring waktu, kamu akan berani menghubunginya lebih dahulu. Sayangnya, pada tahap ini, kamu cenderung meromantisasi hubungan masa lalu, memperkuat fase relapse tersebut. 

5 dari 5 halaman

4. Cara Mengatasi Fase Relapse

Mengatasi fase relapse memerlukan tekad yang kuat dari dalam dirimu sendiri. Batasi interaksi dengan mantan pasangan. Menghapus pertemanan atau berhenti mengikuti dia di media sosial bukanlah tindakan kekanak-kanakan jika itu membantu proses penyembuhanmu. Alihkan perhatianmu dengan aktivitas positif agar tidak terus memikirkannya.

Selalu ingat alasan kalian berpisah dan tanyakan pada dirimu apakah ingin merasakan kembali rasa sakit tersebut. Proses menuju kesembuhan dan penerimaan tidaklah mudah, jadi carilah dukungan emosional. Dukungan ini bisa datang dari keluarga, teman, atau orang lain yang dapat memahami situasimu dari sudut pandangmu.

Fase relapse adalah hal yang umum dalam perjalanan pemulihan emosional, ingatlah bahwa luka batin membutuhkan waktu untuk sembuh. Tetaplah berkomitmen untuk maju dan hindari kembali ke pola hubungan yang tidak sehat.

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence