Liputan6.com, Jakarta Pernikahan merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Sebagai sebuah ikatan suci yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, pernikahan memiliki tujuan mulia untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kematangan fisik dan mental dari kedua mempelai. Inilah yang kemudian memunculkan diskusi tentang batas minimal usia menikah dalam Islam.
Baca Juga
Advertisement
Dalam Al-Qur'an dan hadits, tidak ada ketentuan eksplisit yang menyebutkan batas minimal usia menikah. Hal ini membuka ruang interpretasi bagi para ulama untuk menentukan kapan seseorang dianggap siap untuk menikah. Perbedaan pendapat ini juga tercermin dalam penerapan hukum keluarga di berbagai negara Muslim modern.
Diskusi tentang batas minimal usia menikah menjadi semakin relevan di era modern, di mana kesadaran akan hak anak dan pentingnya pendidikan semakin meningkat. Di sisi lain, fenomena pernikahan dini masih terjadi di berbagai belahan dunia Muslim, sering kali dengan alasan mengikuti sunnah Nabi atau menghindari zina. Bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini? Simak penjelasan selengkapnya berikut ini seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Senin (7/10/2024).
Konsep Baligh dalam Fiqh Islam
Dalam fiqh Islam, konsep baligh (pubertas) sering dijadikan patokan untuk menentukan kapan seseorang dianggap dewasa dan siap untuk menikah. Para ulama memiliki pendapat yang beragam tentang tanda-tanda dan usia baligh.
Tanda-tanda Baligh
Secara umum, tanda-tanda baligh yang disepakati para ulama adalah:
1. Mimpi basah (ihtilam) bagi laki-laki
2. Menstruasi (haid) bagi perempuan
3. Tumbuhnya rambut kemaluan
Selain itu, beberapa ulama juga menambahkan tanda-tanda lain seperti perubahan suara dan tumbuhnya rambut di ketiak.
Perbedaan Pendapat Tentang Usia Baligh
Para ulama mazhab memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang usia minimal baligh:
1. Mazhab Hanafi: 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan
2. Mazhab Maliki: Ditandai dengan tumbuhnya rambut di anggota tubuh
3. Mazhab Syafi'i: 15 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan
4. Mazhab Hanbali: 15 tahun untuk laki-laki dan perempuan
Perbedaan pendapat ini menunjukkan bahwa konsep baligh tidak semata-mata ditentukan oleh usia kronologis, tetapi juga mempertimbangkan perkembangan fisik dan mental seseorang [1].
Advertisement
Hadits Tentang Pernikahan Nabi dengan Aisyah
Salah satu rujukan yang sering digunakan dalam diskusi tentang batas minimal usia menikah adalah hadits tentang pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah r.a. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, disebutkan:
"Rasulullah menikah dengan dia (Aisyah) dalam usia enam tahun, dan beliau memboyongnya ketika ia berusia 9 tahun, dan beliau wafat pada usia delapan belas tahun" [2].
Hadits ini sering dijadikan argumentasi oleh mereka yang membolehkan pernikahan dini. Namun, banyak ulama kontemporer yang menafsirkan hadits ini secara kontekstual, dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya pada masa itu. Mereka berpendapat bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan dasar hukum yang universal untuk membolehkan pernikahan anak di bawah umur.
Pandangan Ulama Kontemporer
Para ulama kontemporer umumnya memiliki pandangan yang berbeda dengan ulama klasik dalam menetapkan batas minimal usia menikah. Mereka cenderung mempertimbangkan aspek kematangan fisik, mental, dan sosial, serta konteks zaman modern.
Yusuf al-Qaradawi
Yusuf al-Qaradawi, seorang ulama kontemporer yang berpengaruh, berpendapat bahwa usia ideal untuk menikah adalah ketika seseorang telah mencapai kematangan fisik dan mental. Ia menekankan pentingnya pendidikan dan kesiapan ekonomi sebelum memasuki jenjang pernikahan [3].
Wahbah az-Zuhaili
Wahbah az-Zuhaili, dalam kitabnya "Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu", menyatakan bahwa meskipun secara fiqh pernikahan anak yang belum baligh diperbolehkan, namun hal ini tidak sesuai dengan maqashid syariah (tujuan syariah) yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan. Ia mendukung adanya pembatasan usia minimal menikah oleh negara untuk melindungi kepentingan anak [4].
Advertisement
Implementasi di Negara-negara Muslim
Berbagai negara Muslim telah mengadopsi undang-undang yang mengatur batas minimal usia menikah. Meskipun demikian, terdapat variasi dalam penetapan usia minimal tersebut:
1. Indonesia: 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan (UU No. 16 Tahun 2019)
2. Malaysia: 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan (Islamic Family Law Act 1984)
3. Mesir: 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan (Child Law 2008)
4. Turki: 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan (Turkish Civil Code 2001)
5. Pakistan: 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan (Child Marriage Restraint Act 1929, diamandemen 2019)
Variasi ini menunjukkan bahwa meskipun berlandaskan syariat Islam, interpretasi dan penerapan hukum dapat berbeda-beda sesuai dengan konteks sosial dan budaya masing-masing negara [5].
Pertimbangan Psikologis dan Medis
Selain pertimbangan fiqh, penentuan batas minimal usia menikah juga perlu memperhatikan aspek psikologis dan medis. Beberapa pertimbangan penting meliputi:
1. Kematangan emosional: Usia remaja adalah masa pembentukan identitas dan perkembangan emosional. Pernikahan dini dapat menghambat proses ini.
2. Risiko kesehatan reproduksi: Kehamilan pada usia terlalu muda dapat meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan persalinan.
3. Pendidikan: Pernikahan dini sering kali mengakibatkan putus sekolah, yang dapat berdampak pada kualitas hidup jangka panjang.
4. Kesiapan ekonomi: Pasangan muda umumnya belum memiliki kestabilan finansial untuk menopang kehidupan rumah tangga.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan usia minimal 18 tahun untuk menikah, dengan mempertimbangkan berbagai faktor di atas [6].
Advertisement
Maqashid Syariah dan Kemaslahatan
Dalam menetapkan hukum, termasuk batas minimal usia menikah, para ulama kontemporer sering merujuk pada konsep maqashid syariah (tujuan syariah). Lima tujuan utama syariah meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Jika ditinjau dari perspektif maqashid syariah, penentuan batas minimal usia menikah dapat dilihat sebagai upaya untuk:
1. Melindungi jiwa: Mencegah risiko kesehatan akibat pernikahan dan kehamilan dini.
2. Melindungi akal: Memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu dan mengembangkan diri.
3. Melindungi keturunan: Memastikan kesiapan pasangan untuk membesarkan anak dengan baik.
4. Melindungi harta: Memberikan waktu bagi pasangan untuk mempersiapkan diri secara ekonomi.
Dengan demikian, penetapan batas minimal usia menikah dapat dilihat sebagai bentuk implementasi maqashid syariah untuk mewujudkan kemaslahatan umat [7].
Diskusi tentang batas minimal usia menikah dalam Islam menunjukkan dinamika antara pemahaman fiqh klasik dan konteks modern. Meskipun tidak ada ketentuan eksplisit dalam Al-Qur'an dan hadits, para ulama kontemporer cenderung mendukung adanya pembatasan usia minimal menikah dengan mempertimbangkan kematangan fisik, mental, dan sosial.
Implementasi di berbagai negara Muslim menunjukkan adanya upaya untuk menyeimbangkan antara prinsip syariah dan kebutuhan masyarakat modern. Penetapan batas minimal usia menikah dapat dilihat sebagai bentuk ijtihad kontemporer yang bertujuan untuk mewujudkan maqashid syariah dan kemaslahatan umat.
Dalam konteks modern, penting untuk memahami bahwa kesiapan menikah tidak hanya ditentukan oleh usia kronologis atau tanda-tanda fisik baligh, tetapi juga melibatkan kematangan emosional, pendidikan, dan kesiapan ekonomi. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek ini, diharapkan pernikahan dapat menjadi fondasi yang kuat untuk membangun keluarga dan masyarakat yang sejahtera.
Referensi:
[1] Shodikin, A. (2015). Pandangan Hukum Islam dan Hukum Nasional Tentang Batas Usia Perkawinan. Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, 9(1).
[2] Muslim. (n.d.). Shahîh Muslim. Jakarta: Dâr Ihya' al-Kutub al-Arabiyyah.
[3] Al-Qaradawi, Y. (1995). Fatawa Mu'asirah. Kuwait: Dar al-Qalam.
[4] Az-Zuhaili, W. (1985). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damascus: Dar al-Fikr.
[5] Nasution, K. (2013). Hukum Perkawinan I. Yogyakarta: ACAdeMIA.
[6] World Health Organization. (2018). Adolescent pregnancy. Retrieved from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-pregnancy
[7] Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.