Liputan6.com, Jakarta Sosok Try Sutrisno belakangan menarik perhatian publik. Penyebabnya adalah potongan video yang memperlihatkan momen ketika Presiden Joko Widodo tidak berjabatan tangan dengan Wakil Presiden ke-6 tersebut saat menghadiri peringatan HUT TNI ke-79 di Monas, Jakarta Pusat.Â
Peristiwa yang terjadi pada Sabtu (5/10/2024) itu memicu beragam spekulasi, namun Istana Kepresidenan segera memberikan klarifikasi. Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Yusuf Permana, menegaskan bahwa Presiden Jokowi sebenarnya telah menyapa dan berjabat tangan dengan Try Sutrisno sebelum acara dimulai, tepatnya di ruang Holding VVIP.
Try Sutrisno merupakan tokoh militer dan politisi yang dikenal luas. Pengalaman panjangnya dalam dunia kemiliteran serta kontribusinya sebagai Wakil Presiden pada era Orde Baru membuat sosoknya dihormati hingga kini. Kisah hidup dan pengabdiannya kepada negara menjadi bagian penting dari sejarah bangsa, yang tak lepas dari sorotan publik. Berikut ulasan lebih lanjut tentang sosok Try Sutrisno yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (7/10/2024).
Advertisement
Latar Belakang Try Sutrisno
Try Sutrisno lahir pada 15 November 1935 di Surabaya, Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga yang sederhana, ayahnya, Subandi, bekerja sebagai sopir ambulans, sementara ibunya, Mardiyah, adalah seorang ibu rumah tangga. Kehidupan Try sejak kecil sudah diwarnai oleh situasi perang, terutama setelah Belanda mencoba kembali menjajah Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan.Â
Keluarganya terpaksa mengungsi ke Mojokerto, di mana ayahnya bekerja sebagai petugas medis untuk Batalyon Angkatan Darat Poncowati. Hal ini membuat Try Sutrisno harus berhenti sekolah dan bekerja sebagai penjual rokok dan koran untuk membantu keluarganya.
Pada usia 13 tahun, di tengah semangat perjuangan yang membara, Try mencoba bergabung dengan Batalyon Poncowati sebagai pejuang, namun usianya yang masih muda membuatnya tidak dianggap serius. Akhirnya, ia bekerja sebagai kurir, mencari informasi di wilayah yang dikuasai Belanda dan mengirimkan obat-obatan untuk pasukan Indonesia. Setelah Belanda mundur pada 1949 dan mengakui kemerdekaan Indonesia, Try dan keluarganya kembali ke Surabaya, di mana ia melanjutkan pendidikannya hingga lulus SMA pada 1956.
Meski sempat gagal dalam pemeriksaan fisik untuk masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD), kegigihan Try Sutrisno menarik perhatian Mayor Jenderal GPH Djatikusumo, yang memberinya kesempatan kedua. Ia akhirnya diterima di ATEKAD setelah lulus dari pemeriksaan psikologis di Bandung. Di sana, ia bersahabat erat dengan Benny Moerdani, yang kelak menjadi salah satu tokoh militer terkemuka Indonesia.
Selain karier militernya yang cemerlang, Try juga dikenal sebagai figur familyman. Ia menikah dengan Tuti Sutiawati pada 5 Februari 1961 dan dikaruniai tujuh anak. Dua di antaranya, Kunto Arief Wibowo dan Firman Santyabudi, mengikuti jejak sang ayah sebagai abdi negara dengan karier yang gemilang. Kunto Arief menjabat sebagai Wakil Komandan Kodiklatad dan pernah menjadi Pangdam III/Siliwangi, sementara Firman Santyabudi kini menjabat sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Polri.
Advertisement
Karier Militer Try Sutrisno
Karier militer Try Sutrisno merupakan bagian penting dan tonggak bersejarah bagi Indonesia. Ia memulai karier militernya pada tahun 1956 sebagai taruna di Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad). Setahun kemudian, Try Sutrisno langsung dihadapkan pada pengalaman tempur pertamanya dalam perang melawan pemberontakan PRRI pada 1957. Momen krusial lainnya datang pada 1962 ketika ia terlibat dalam Operasi Pembebasan Irian Barat, di mana ia berkenalan dengan Soeharto yang saat itu memimpin Komando Mandala. Perkenalan ini kelak memainkan peran penting dalam perkembangan karier Try.
Pada 1974, Try diangkat menjadi ajudan Presiden Soeharto. Penunjukan ini menjadi titik awal kariernya yang meroket. Ia memegang berbagai posisi penting, termasuk sebagai Kepala Komando Daerah Staf di KODAM XVI/Udayana pada 1978, Panglima Daerah KODAM IV/Sriwijaya pada 1979, dan Panglima Daerah KODAM V/Jaya di Jakarta pada 1983.
Pada Agustus 1985, Try Sutrisno dipromosikan menjadi Letnan Jenderal TNI dan diangkat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad), mendampingi Jenderal TNI Rudhini. Hanya dalam waktu sepuluh bulan, ia kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) pada Juni 1986, menggantikan Rudhini. Meskipun masa jabatannya sebagai Kasad relatif singkat, sekitar satu setengah tahun, kariernya terus menanjak ketika ia dipromosikan menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab) pada awal 1988, menggantikan Jenderal TNI LB Moerdani.
Sebagai Pangab, Try Sutrisno memimpin ABRI (TNI AD, TNI AL, TNI AU, dan Polri) hingga 1993, masa di mana Indonesia menghadapi sejumlah peristiwa penting. Salah satu peristiwa yang terjadi adalah pemberontakan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) di Aceh pada 1989, yang merupakan kelanjutan dari perlawanan separatis yang pernah ditumpas pada awal 1980-an. Selain itu, Try juga menghadapi peristiwa penting lainnya, seperti Insiden Santa Cruz di Timor Timur dan kerusuhan Tanjung Priok.
Masa kepemimpinan Try Sutrisno di militer menandai menjadi era yang penuh tantangan. Berbagai gerakan separatis kembali muncul di berbagai daerah. Namun, melalui kepemimpinannya, ABRI tetap menjadi kekuatan utama dalam menjaga stabilitas dan keamanan Indonesia di masa itu.
Kiprah Try Sutrisno Sebagai Wakil Presiden Keenam Indonesia
Try Sutrisno menorehkan kiprah penting dalam sejarah politik tanah air sebagai Wakil Presiden Keenam Indonesia. Ia diangkat menjadi Wakil Presiden RI pada tahun 1993 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), setelah dicalonkan oleh Fraksi ABRI. Penunjukannya mendahului pilihan Presiden Soeharto, yang ketika itu dilaporkan merasa dihadapkan pada keputusan yang sudah bulat (fait accompli), suatu hal yang jarang terjadi di era Orde Baru.
Try Sutrisno dikenal sebagai sosok yang jujur, sederhana, loyal, dan berdedikasi tinggi. Sebagai wakil presiden, ia bukan tipe pejabat yang ambisius atau menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Karier militernya yang cemerlang membuatnya menjadi pilihan logis bagi Soeharto, yang juga berasal dari latar belakang militer. Kepercayaan dan keterikatan yang sama di kalangan militer memudahkan komunikasi antara Presiden dan Wakil Presiden pada masa itu.
Selama masa jabatannya dari 1993 hingga 1998, Try Sutrisno menghadapi berbagai tantangan politik dan ekonomi, terutama di penghujung masa Orde Baru yang penuh gejolak. Meski berakhir pada 1998, menjelang era Reformasi, ia tetap aktif memberikan perhatian terhadap situasi politik nasional.Â
Try bahkan turut membentuk forum Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu bersama tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, yang fokus pada kritik terhadap kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan kenaikan harga BBM. Meski masa jabatannya sebagai wakil presiden berakhir, Try Sutrisno tetap dipandang sebagai figur penting yang terus menjaga semangat kebangsaan dan berkontribusi melalui pandangan serta aksi nyata demi kepentingan bangsa.
Â
Advertisement