Sukses

Hari Disleksia Sedunia 2024 Diperingati Setiap Tanggal 8 Oktober, Yuk Kenali Penyebabnya

Hari Disleksia Sedunia diperingati setiap tanggal 8 Oktober, ketahui gejala dan penyebabnya.

Liputan6.com, Jakarta Hari Disleksia Sedunia diperingati setiap tahun, untuk meningkatkan kesadaran akan disleksia, sebuah kondisi gangguan belajar yang mempengaruhi kemampuan membaca dan menulis seseorang. Pada hari ini, masyarakat di seluruh dunia diingatkan akan pentingnya memahami dan mendukung individu yang menghadapi tantangan disleksia.

Dalam rangka memperingati Hari Disleksia Sedunia pada 8 Okotber 2024, berbagai lembaga pendidikan dan organisasi sosial berupaya menyebarkan informasi tentang metode penanganan disleksia. Peringatan ini juga bertujuan untuk menghilangkan stigma negatif terhadap para penderita disleksia, serta mempromosikan intervensi pendidikan yang tepat agar mereka dapat berkembang dengan baik. 

Hari Disleksia Sedunia juga menyoroti pentingnya dukungan psikologis dan emosional bagi mereka yang mengalami disleksia. Tantangan yang dihadapi oleh para penderita tidak hanya berkaitan dengan akademik, tetapi juga sering kali mempengaruhi rasa percaya diri dan kesehatan mental. Dengan peringatan ini, diharapkan semakin banyak orang yang sadar bahwa penderita disleksia memerlukan dukungan yang konsisten dari lingkungan sekitarnya.

Peringatan Hari Disleksia Sedunia menjadi momentum penting bagi keluarga, pendidik dan masyarakat luas, untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi penderita disleksia. Dengan kesadaran yang terus meningkat, diharapkan stigma sosial terhadap disleksia dapat berkurang, dan penderita dapat hidup lebih percaya diri tanpa merasa terisolasi.

Berikut ini sejarah peringatan Hari Disleksia Sedunia yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (8/10/2024).

2 dari 4 halaman

Sejarah Peringatan Hari Disleksia Sedunia

Disleksia pertama kali diidentifikasi pada tahun 1881 oleh seorang dokter asal Jerman bernama Oswald Berkhan. Dalam penelitiannya, Berkhan menganalisis kasus seorang anak laki-laki yang mengalami kesulitan signifikan dalam belajar membaca dan menulis dengan benar, meskipun secara fisik dan intelektual anak tersebut dalam keadaan sehat. Temuan ini memicu minat Berkhan, karena meskipun anak tersebut menunjukkan kecerdasan yang normal, ia mengalami tantangan luar biasa dalam keterampilan membaca dan menulis yang umumnya dianggap mudah dipelajari. Berkhan menyadari bahwa kasus ini bukanlah hal yang unik atau jarang terjadi. Setelah hasil penelitiannya menyebar, semakin banyak orang yang melaporkan pengalaman serupa, termasuk di kalangan orang dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa disleksia adalah kondisi yang lebih luas dan lebih kompleks daripada yang sebelumnya diperkirakan.

Istilah "Disleksia" sendiri baru diberikan enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1887, oleh seorang dokter spesialis mata bernama Rudolph Berlin. Ia adalah orang pertama yang memberikan nama resmi untuk gangguan ini, setelah melihat adanya hubungan antara masalah membaca yang dialami pasien dan gangguan pada proses pengolahan visual, meskipun disleksia pada dasarnya adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi cara otak memproses simbol-simbol tertulis. Disleksia, seperti banyak gangguan perkembangan lainnya, bukanlah sesuatu yang bisa disembuhkan dengan obat-obatan. Pendekatan yang diperlukan untuk membantu penderita disleksia melibatkan kombinasi metode pendidikan yang inovatif, terapi yang konsisten, serta dukungan yang berkelanjutan dari pengasuh dan guru. Karena gangguan ini memengaruhi kemampuan dasar dalam membaca, menulis dan terkadang berbicara, mereka yang tidak terdiagnosis sering kali dianggap sebagai anak yang malas, lamban belajar, atau bahkan pembuat masalah.

Kesalahpahaman ini menciptakan stigma yang sering kali memperparah kondisi penderita disleksia, membuat mereka merasa rendah diri atau tidak mampu, padahal kenyataannya mereka hanya membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam belajar. Seiring berjalannya waktu, para ahli di bidang kedokteran dan pendidikan terus berupaya untuk memahami lebih dalam tentang disleksia dan mencari cara-cara yang lebih efektif untuk membantu para penderita mengatasi tantangan yang mereka hadapi. Salah satu inovasi yang telah ditemukan adalah pembuatan font khusus yang dirancang untuk memudahkan penderita disleksia dalam membaca. Font ini dibuat sedemikian rupa agar lebih mudah dikenali oleh otak, sehingga dapat mengurangi kebingungan visual yang sering dialami saat membaca teks dalam format biasa. Kesadaran terhadap disleksia juga terus meningkat di seluruh dunia, terutama dengan adanya peringatan Hari Disleksia Sedunia setiap tanggal 8 Oktober. Selain itu, Bulan Kesadaran Disleksia yang diciptakan oleh Asosiasi Disleksia Internasional (International Dyslexia Association) juga dirayakan setiap bulan Oktober. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang disleksia, mengurangi stigma, dan mendorong para pendidik, keluarga, serta masyarakat luas untuk mendukung mereka yang hidup dengan disleksia.

3 dari 4 halaman

Gejala dan Penyebab Disleksia

Setelah mengetahui sejarah dan latar belakang tercetusnya Hari Disleksia Sedunia, maka sangat penting bagi Anda untuk mengetahui seperti apa gejala dan penyebab munculnya penyakit ini.

1. Gejala Disleksia

Gejala disleksia dapat muncul sejak usia sangat dini, bahkan pada anak-anak berusia 1 hingga 2 tahun, dan bisa terus berlanjut hingga dewasa. Pada usia dini sering kali sulit dikenali dengan jelas, tetapi seiring perkembangan anak, terutama saat mereka mulai belajar membaca dan menulis di usia sekolah, tanda-tanda disleksia akan semakin nyata. Bagi para orang tua, sangat disarankan untuk segera membawa anak ke dokter apabila terdapat tanda-tanda disleksia yang muncul, terutama bila anak menunjukkan kesulitan dalam keterampilan dasar belajar seperti membaca dan menulis.

Berikut ini adalah beberapa gejala atau tanda-tanda yang umum dialami oleh penderita disleksia:

- Kesulitan dalam mengingat informasi atau konsep, baik yang baru dipelajari maupun yang telah dipelajari sebelumnya.

- Menghindari aktivitas yang melibatkan membaca dan menulis karena merasa tidak nyaman atau kesulitan dalam melakukannya.

- Kesulitan dalam mengingat huruf, angka, dan warna. Penderita disleksia mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk mengenali dan memahami simbol-simbol dasar tersebut.

- Sering melakukan kesalahan dalam pengucapan kata-kata. Hal ini terjadi karena penderita disleksia mengalami tantangan dalam menghubungkan suara dengan huruf yang mereka lihat.

- Lambat dalam mempelajari bunyi huruf atau abjad, yang merupakan dasar dalam membaca dan menulis.

- Kesulitan dalam memahami apa yang didengar, terutama saat diberikan instruksi verbal yang panjang atau kompleks.

- Tantangan besar dalam mengeja, membaca, menulis, serta berhitung. Aktivitas ini dapat terasa sangat membingungkan bagi penderita disleksia.

- Sering kali menulis huruf atau kata terbalik, seperti menulis "lip" menjadi "pil". Selain itu, penderita juga mengalami kesulitan membedakan huruf-huruf yang mirip seperti "b" dan "d".

- Kesulitan dalam menemukan kata yang tepat ketika menjawab pertanyaan atau menjelaskan sesuatu. Penderita mungkin terlihat bingung atau kesulitan menyusun kalimat dengan benar.

2. Penyebab Disleksia

Penyebab disleksia belum sepenuhnya dipahami, tetapi penelitian telah mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan gangguan ini. Secara garis besar, penyebab disleksia dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu faktor genetik dan kondisi medis lainnya.

  1. Salah satu penyebab disleksia yang paling umum adalah adanya cacat pada gen DCD2. Gen ini bertanggung jawab atas fungsi cerebrum, bagian otak yang mengatur aktivitas berpikir dan gerakan. Ketidakberfungsian bagian otak ini memengaruhi kemampuan belajar dan mengolah informasi.
  2. Disleksia sering kali diturunkan dalam keluarga, sehingga anak yang memiliki riwayat disleksia dalam keluarganya lebih berisiko mengalaminya. Selain itu, faktor-faktor tertentu selama kehamilan, seperti infeksi atau paparan zat berbahaya seperti nikotin, alkohol, dan narkoba, juga dapat meningkatkan risiko bayi lahir dengan kondisi disleksia. Lahir prematur juga dapat menyebabkan kelainan genetik ini terjadi, karena otak bayi belum sepenuhnya berkembang pada saat lahir.
  3. Selain faktor keturunan, disleksia juga dapat disebabkan oleh gangguan yang terjadi setelah kelahiran, seperti cedera otak, stroke, atau trauma fisik lainnya yang memengaruhi perkembangan otak. Cedera atau trauma pada otak dapat mengganggu fungsi normal otak dalam memproses informasi, yang pada akhirnya berdampak pada kemampuan belajar. Faktor risiko lain yang bisa berkontribusi terhadap disleksia adalah gangguan belajar dalam keluarga, di mana bisa memengaruhi cara anak berkembang dalam keterampilan membaca dan menulis.
4 dari 4 halaman

Cara Mengatasi Disleksia

1. Intervensi Pendidikan yang Spesifik

Salah satu langkah utama dalam mengatasi disleksia adalah melalui intervensi pendidikan yang spesifik. Program intervensi ini dirancang khusus untuk mengakomodasi kebutuhan belajar penderita disleksia, dengan fokus pada metode fonik yang intensif. Metode fonik membantu penderita untuk memahami hubungan antara huruf dan suara, yang merupakan dasar dalam kemampuan membaca. Program ini biasanya dilaksanakan oleh guru atau pendidik yang telah terlatih dalam menangani anak-anak dengan disleksia. Selain itu, program pendidikan ini juga mencakup pengajaran yang bersifat berulang dan konsisten, sehingga anak dapat memahami dan mempraktikkan keterampilan baru secara lebih efektif. Dengan bimbingan yang tepat, anak-anak dengan disleksia dapat mengembangkan kemampuan mereka dalam mengenali simbol-simbol tertulis dan mengaitkannya dengan bunyi bahasa.

2. Latihan Membaca yang Terstruktur dan Berulang

Latihan membaca yang terstruktur merupakan kunci dalam membantu penderita disleksia menguasai keterampilan membaca. Karena disleksia membuat proses pengenalan huruf dan kata menjadi lebih sulit, latihan berulang-ulang sangat penting untuk melatih otak agar mampu mengenali pola bahasa dengan lebih baik. Latihan ini harus dilakukan dengan rutin dan menggunakan materi yang disusun secara bertahap, dimulai dari teks yang sederhana hingga yang lebih kompleks. Membaca secara berulang, baik di sekolah maupun di rumah, akan memberikan kesempatan bagi penderita disleksia untuk memperkuat keterampilan membaca mereka. Selain itu, penting untuk memilih teks yang mudah dipahami dan menarik, sehingga penderita tetap termotivasi untuk berlatih membaca.

3. Penggunaan Teknologi Bantuan

Di era teknologi modern, ada berbagai perangkat lunak dan aplikasi yang dapat membantu penderita disleksia dalam proses belajar. Penggunaan teknologi ini dapat meningkatkan kepercayaan diri dan memudahkan mereka dalam mengatasi tantangan membaca dan menulis. Contohnya, perangkat lunak pembaca teks dapat membantu mereka mendengar kata-kata yang sulit dibaca, sehingga mereka lebih mudah memahami isi teks. Aplikasi ejaan juga dapat membantu dalam mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan penulisan, sementara alat perekam suara memungkinkan mereka mencatat informasi verbal tanpa harus bergantung sepenuhnya pada catatan tulisan tangan. Penggunaan teknologi ini membuat proses belajar menjadi lebih fleksibel dan adaptif, sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu.

4. Pendekatan Multisensori

Pendekatan multisensori adalah metode yang melibatkan penggunaan berbagai indera dalam proses belajar, seperti indera penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan ucapan. Metode ini terbukti efektif dalam membantu penderita disleksia memahami dan mengingat konsep bahasa dengan lebih baik. Misalnya, dalam belajar membaca, anak dapat melihat huruf, meraba bentuknya, dan mengucapkan bunyinya secara bersamaan. Pendekatan ini melibatkan otak dalam berbagai cara, sehingga membantu memperkuat memori dan pemahaman. Anak-anak dengan disleksia cenderung merespons positif metode pembelajaran yang interaktif dan multisensori, karena mereka dapat terlibat secara langsung dalam proses belajar dan memperoleh pengalaman yang lebih kaya.

5. Dukungan Psikologis dan Emosional

Disleksia tidak hanya berdampak pada kemampuan akademis, tetapi juga dapat mempengaruhi kesehatan mental dan emosional penderita. Anak-anak yang mengalami kesulitan belajar sering kali merasa frustasi, rendah diri, atau cemas, terutama jika mereka merasa tertinggal dari teman-teman sebayanya. Oleh karena itu, dukungan psikologis dan emosional sangat penting dalam mengatasi disleksia. Konseling dan terapi dapat membantu penderita mengatasi perasaan negatif yang mungkin muncul akibat kesulitan belajar yang mereka alami. Selain itu, dukungan dari orang tua, guru, dan teman sangat penting untuk memberikan dorongan dan memastikan mereka merasa dihargai dan didukung. Penerimaan dan motivasi dari lingkungan sekitar akan membantu mereka merasa lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan.