Liputan6.com, Jakarta Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi. Melalui pemilu, rakyat dapat menyalurkan aspirasi politiknya dan memilih wakil-wakil yang akan memimpin negara. Namun, di tengah gegap gempita pesta demokrasi, selalu ada fenomena yang tak pernah absen: golput.
Baca Juga
Advertisement
Golput, atau golongan putih, adalah istilah yang sering kita dengar menjelang pemilu. Fenomena ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah politik Indonesia sejak era Orde Baru hingga saat ini. Meski demikian, masih banyak masyarakat yang belum memahami secara utuh apa itu golput, apa penyebabnya, dan bagaimana dampaknya terhadap kualitas demokrasi di negeri ini.
Artikel ini akan mengupas tuntas tentang golput, mulai dari definisi, sejarah kemunculannya, jenis-jenis golput, hingga dampaknya terhadap sistem politik Indonesia. Kita juga akan membahas kontroversi seputar golput dan bagaimana fenomena ini dipandang dari sudut hukum dan hak asasi manusia. Dengan memahami golput secara komprehensif, diharapkan kita sebagai warga negara dapat mengambil sikap yang bijak dalam menggunakan hak pilih kita.
Simak penjelasan selengkapnya tentang golput berikut ini, seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu (9/10/2024).
Apa Itu Golput?
Golput adalah singkatan dari "golongan putih". Istilah ini mengacu pada sikap seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum atau tidak menggunakan hak pilihnya. Golput dapat termanifestasi dalam beberapa bentuk:
- Tidak hadir di tempat pemungutan suara (TPS)
- Hadir di TPS tetapi tidak mencoblos
- Mencoblos bagian putih pada surat suara di luar gambar parpol atau calon
Secara formal, golput adalah istilah politik yang merujuk pada peserta pemilu yang tidak memberikan suara atau tidak memilih satupun calon pemimpin. Fenomena ini bisa terjadi karena berbagai alasan, mulai dari ketidaktahuan, ketidakpedulian, hingga bentuk protes terhadap sistem politik yang berlaku.
Advertisement
Sejarah Kemunculan Golput di Indonesia
Golput bukan fenomena baru dalam lanskap politik Indonesia. Kemunculannya dapat ditelusuri kembali ke masa-masa awal Orde Baru. Berikut adalah tonggak-tonggak penting dalam sejarah golput di Indonesia:
1. Cikal Bakal Gerakan Golput (1971)
Istilah golput pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971, yang merupakan pemilu pertama era Orde Baru. Pada 3 Juni 1971, sekelompok mahasiswa, pemuda, dan pelajar berkumpul di Balai Budaya Jakarta untuk memproklamirkan berdirinya "Golongan Putih" sebagai gerakan moral.
Tokoh-tokoh seperti Arief Budiman dan Adnan Buyung Nasution menjadi motor penggerak gerakan ini. Mereka merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah politik formal yang ada saat itu. Gerakan ini menyerukan kepada masyarakat untuk menusuk bagian putih (kosong) di antara tanda gambar partai yang ada pada surat suara.
2. Respons Pemerintah Orde Baru
Gerakan golput segera mendapat respons keras dari pemerintah Orde Baru. Pangkopkamtibda Jakarta menyatakan golput sebagai organisasi terlarang. Pamflet-pamflet kampanye golput diperintahkan untuk dibersihkan. Bahkan, Menteri Luar Negeri Adam Malik menyebut golput sebagai "golongan setan".
3. Perkembangan Pasca-Reformasi
Setelah era reformasi, fenomena golput tetap ada namun dengan konteks yang berbeda. Golput tidak lagi hanya sebagai gerakan moral atau protes politik, tetapi juga muncul karena faktor-faktor teknis dan pragmatis. Angka golput cenderung meningkat dari pemilu ke pemilu, meskipun pada Pemilu 2019 terjadi penurunan dibandingkan pemilu sebelumnya.
Jenis-Jenis Golput
Untuk memahami fenomena golput secara lebih mendalam, penting untuk mengetahui bahwa ada beberapa jenis golput. Menurut Nyarwi Ahmad, setidaknya ada lima jenis golput yang umum ditemui di Indonesia:
1. Golput Teknis
Golput teknis terjadi ketika seseorang gagal menyalurkan hak pilihnya karena alasan-alasan teknis. Contohnya:
- Tidak bisa datang ke TPS karena berada di luar domisili
- Keliru dalam mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah
- Namanya tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) akibat kesalahan administrasi
2. Golput Pemilih Hantu
Jenis golput ini mengacu pada nama-nama yang tercantum dalam DPT tetapi sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai pemilih. Misalnya:
- Nama pemilih yang sudah meninggal dunia tetapi masih terdaftar
- Pemilih yang terdaftar ganda dan sudah mencoblos di tempat lain
3. Golput Ideologis
Golput ideologis adalah mereka yang sengaja tidak mencoblos karena tidak percaya pada sistem ketatanegaraan yang berlaku. Kelompok ini biasanya:
- Menganggap negara sebagai korporat yang dikuasai segelintir elit
- Merasa kedaulatan rakyat tidak dipegang secara mutlak
- Bagian dari gerakan anti-state yang menolak kekuasaan negara
4. Golput Pragmatis
Golput pragmatis terjadi ketika seseorang memilih untuk tidak mencoblos karena menganggap pemilu tidak memberi keuntungan langsung bagi dirinya. Karakteristik golput jenis ini:
- Memandang bahwa mencoblos atau tidak tidak akan membawa perubahan signifikan
- Melihat proses politik seperti pemilu secara setengah-setengah
- Cenderung meningkat ketika pemilu berdekatan dengan libur panjang
5. Golput Politis
Golput politis adalah sikap yang diambil oleh orang-orang yang sebenarnya percaya pada negara dan pemilu, namun memilih untuk tidak mencoblos karena:
- Merasa kandidat-kandidat dalam pemilu tidak mampu mewadahi kepentingan mereka
- Tidak menemukan figur atau partai yang sesuai dengan preferensi politik mereka
Advertisement
Statistik Golput di Indonesia
Untuk memahami seberapa signifikan fenomena golput di Indonesia, mari kita lihat statistik golput dari beberapa pemilu terakhir:
Pemilu Legislatif:
- 1999: 7.3%
- 2004: 15.9%
- 2009: 29.1%
- 2014: 24.89%
Pemilu Presiden:
- 2004 (Putaran I): 21.8%
- 2004 (Putaran II): 23.4%
- 2009: 28.3%
- 2014: 29.01%
- 2019: 18.03%
Data ini menunjukkan bahwa angka golput cenderung fluktuatif, dengan puncaknya terjadi pada Pemilu 2009 dan 2014. Namun, pada Pemilu 2019 terjadi penurunan yang cukup signifikan, menunjukkan adanya peningkatan partisipasi pemilih.
Dampak Golput Terhadap Demokrasi
Fenomena golput memiliki dampak yang tidak bisa diabaikan terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Beberapa dampak negatif dari tingginya angka golput antara lain:
1. Terganggunya Program Kerja Pemerintah
Tingginya angka golput dapat mengurangi legitimasi pemerintah terpilih. Meskipun secara hukum sah, pemerintah yang terpilih dengan partisipasi pemilih yang rendah akan menghadapi tantangan dalam menjalankan program kerjanya. Hal ini karena:
- Kurangnya dukungan dan kepercayaan publik
- Potensi resistensi yang lebih besar terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil
2. Gangguan Terhadap Sistem Demokrasi
Golput dalam jumlah besar dapat mengancam esensi demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari warganya. Ketika banyak warga memilih untuk tidak berpartisipasi:
- Keputusan-keputusan penting negara hanya ditentukan oleh sebagian kecil populasi
- Representasi kepentingan masyarakat menjadi tidak menyeluruh
3. Peluang Bagi Kelompok Terorganisir
Ketika banyak pemilih memutuskan untuk golput, hal ini memberi kesempatan lebih besar bagi kelompok-kelompok yang terorganisir dengan baik untuk memenangkan pemilu. Implikasinya:
- Partai atau kandidat dengan basis massa loyal memiliki peluang lebih besar untuk menang
- Kualitas calon terpilih mungkin tidak menjadi pertimbangan utama
4. Menghambat Regenerasi Politik
Golput yang tinggi, terutama di kalangan pemilih muda, dapat menghambat proses regenerasi politik. Ketika generasi muda tidak terlibat dalam proses demokrasi:
- Suara dan aspirasi mereka tidak terakomodasi dalam kebijakan publik
- Munculnya pemimpin-pemimpin muda yang berkualitas menjadi terhambat
Advertisement
Kontroversi Seputar Golput
Fenomena golput selalu memicu perdebatan di kalangan masyarakat, politisi, dan akademisi. Beberapa pandangan kontroversial seputar golput antara lain:
1. Golput sebagai Hak atau Pelanggaran?
Ada perbedaan pendapat mengenai status hukum golput:
- Sebagian pihak menganggap golput adalah hak politik yang dilindungi konstitusi
- Pihak lain berpendapat golput adalah bentuk pengabaian tanggung jawab sebagai warga negara
2. Kampanye Golput: Legal atau Ilegal?
Kontroversi juga muncul terkait legalitas kampanye golput:
- Beberapa aktivis berpendapat bahwa mengajak orang untuk golput adalah bagian dari kebebasan berekspresi
- Pihak berwenang sering menganggap kampanye golput sebagai tindakan yang dapat mengganggu pelaksanaan pemilu
3. Golput: Bentuk Protes atau Apatisme?
Motivasi di balik golput juga menjadi bahan perdebatan:
- Ada yang melihat golput sebagai bentuk protes politik yang legitimate
- Pihak lain menganggap golput sebagai bentuk apatisme dan ketidakpedulian terhadap masa depan bangsa
Golput dalam Perspektif Hukum dan HAM
Untuk memahami status golput secara lebih komprehensif, penting untuk melihatnya dari perspektif hukum dan hak asasi manusia (HAM).
1. Dasar Hukum
Beberapa landasan hukum yang sering dijadikan rujukan dalam diskusi tentang golput:
- UU No. 39/1999 tentang HAM Pasal 43
- UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 25
- UU No. 10/2008 tentang Pemilu Pasal 19 ayat 1
Semua aturan ini menekankan bahwa memilih dalam pemilu adalah "hak" bukan "kewajiban" warga negara.
2. Pandangan Hukum
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa golput adalah bagian dari hak politik warga negara, bukan tindak pidana. Menurut ICJR:
- Baik memilih maupun tidak memilih, keduanya merupakan hak politik yang dilindungi konstitusi
- Tidak ada aturan hukum yang dilanggar ketika seseorang memilih untuk golput
3. Batasan Hukum
Meski golput sendiri bukan tindak pidana, ada batasan hukum yang perlu diperhatikan:
- Pasal 515 UU Pemilu melarang tindakan menjanjikan atau memberikan uang/materi kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya
- Menggerakkan orang lain untuk golput tanpa imbalan materi tidak dapat dipidana
Golput adalah fenomena kompleks yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika politik Indonesia. Sebagai warga negara, penting bagi kita untuk memahami apa itu golput, jenis-jenisnya, serta dampaknya terhadap kualitas demokrasi.
Meski golput diakui sebagai hak politik yang dilindungi konstitusi, kita perlu mempertimbangkan dengan bijak apakah sikap ini adalah pilihan terbaik. Partisipasi aktif dalam pemilu adalah salah satu cara kita berkontribusi dalam menentukan arah bangsa.
Namun, di sisi lain, tingginya angka golput juga bisa menjadi cermin bagi para politisi dan penyelenggara pemilu. Ini bisa menjadi indikator bahwa masih ada banyak pekerjaan rumah dalam meningkatkan kualitas demokrasi kita, mulai dari sistem pemilu, kualitas kandidat, hingga pendidikan politik bagi masyarakat.
Pada akhirnya, keputusan untuk menggunakan hak pilih atau golput kembali kepada masing-masing individu. Yang terpenting adalah keputusan tersebut diambil secara sadar, kritis, dan bertanggung jawab demi masa depan bangsa yang lebih baik.
Advertisement