Sukses

Nepotisme Adalah Bentuk Penyalahgunaan Kekuasaan, Ketahui Tindakan Hukum Bagi Pelaku

Nepotisme adalah isu yang juga mengundang perhatian dalam konteks hukum dan regulasi.

Liputan6.com, Jakarta Nepotisme adalah praktik yang kerap menjadi sorotan dalam berbagai organisasi dan lembaga, baik di sektor publik maupun swasta. Istilah ini merujuk pada kecenderungan untuk memberikan keuntungan atau perlakuan istimewa kepada kerabat, teman, atau orang-orang terdekat dalam pengisian posisi, penugasan, atau pengambilan keputusan.

Nepotisme adalah fenomena yang tidak hanya berdampak pada efektivitas suatu organisasi, tetapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistem yang ada. Dalam konteks ini, penting untuk memahami dampak yang ditimbulkan oleh praktik nepotisme dalam kehidupan sehari-hari.

Nepotisme adalah salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan, di mana bisa menciptakan ketidakadilan dalam lingkungan kerja. Ketika individu yang tidak kompeten atau kurang berkualitas diberikan posisi penting hanya karena hubungan keluarga atau kedekatan personal, hal ini bisa mengakibatkan penurunan moral di kalangan karyawan lainnya.

Banyak negara telah menetapkan undang-undang untuk mengatasi praktik ini, mengingat dampak negatifnya terhadap pemerintahan dan masyarakat. Sebagai contoh, di Indonesia, terdapat undang-undang yang secara tegas melarang praktik nepotisme dalam penyelenggaraan negara, dengan konsekuensi hukum yang jelas bagi pelanggar.

Berikut ini penyebab dan contoh kasus nepotisme yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, (11/10/2024).

2 dari 4 halaman

Nepotisme dan Dasar Hukumnya

Nepotisme adalah praktik yang terjadi ketika seseorang memanfaatkan kedudukan atau posisinya, untuk memberikan prioritas kepada teman atau keluarganya di atas kepentingan umum. Tindakan ini dilakukan semata-mata berdasarkan hubungan kedekatan atau hubungan keluarga, tanpa mempertimbangkan kompetensi dan kemampuan individu yang terlibat. Dengan kata lain, nepotisme mengarah pada keputusan yang tidak adil, di mana orang-orang terpilih bukanlah mereka yang paling memenuhi syarat atau kompeten, tetapi mereka yang memiliki ikatan pribadi dengan pihak yang berkuasa.

Istilah "nepotisme" sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu "Nepos," yang berarti keponakan atau cucu. Makna dari nepotisme itu sendiri mencerminkan tindakan memilih individu tidak berdasarkan kemampuan atau prestasi, tetapi semata-mata berdasarkan hubungan keluarga atau kedekatan personal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nepotisme didefinisikan sebagai perilaku yang menunjukkan kesukaan berlebihan kepada kerabat dekat, atau kecenderungan untuk mengutamakan dan menguntungkan sanak saudara, terutama dalam hal jabatan atau pangkat di lingkungan pemerintahan.

Praktik ini seringkali menyebabkan kerugian bagi individu yang lebih kompeten dan berpotensi, karena kesempatan mereka untuk mendapatkan posisi yang layak menjadi terhalang oleh kepentingan keluarga. Dalam upaya untuk memberantas praktik nepotisme, hukum di Indonesia telah mengatur masalah ini secara tegas. Salah satu landasan hukumnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa nepotisme merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, jelas bahwa praktik nepotisme tidak hanya melanggar norma etika, tetapi juga dapat berimplikasi pada hukum, yang berpotensi merugikan masyarakat luas.

3 dari 4 halaman

Penyebab Munculnya Nepotisme dan Contohnya

1. Keterbatasan Informasi

Keterbatasan informasi merujuk pada situasi di mana pimpinan atau penyelenggara negara tidak memiliki akses yang memadai, untuk menilai kompetensi calon kandidat. Dalam banyak kasus, mereka mungkin tidak mengetahui secara mendalam kualifikasi atau pengalaman yang dimiliki oleh individu yang tidak dikenal secara pribadi. Sebagai solusi, mereka lebih cenderung merekrut atau mempromosikan orang-orang terdekat, seperti keluarga atau teman, yang mereka anggap lebih mudah untuk diajak bekerja sama.

Contoh: Dalam suatu organisasi pemerintahan, seorang pejabat tinggi mungkin kurang familiar dengan banyak pegawai baru, sehingga ia memilih untuk mengangkat sepupunya yang sudah dikenal baik sebagai asisten. Meskipun sepupunya tidak memiliki kualifikasi yang tepat, rasa aman dari kedekatan pribadi menjadi alasan utama dalam pengambilan keputusan tersebut.

2. Kebutuhan untuk Membangun Kepercayaan

Kebutuhan untuk membangun kepercayaan menunjukkan, bahwa pemimpin atau penyelenggara negara merasa lebih nyaman dengan orang-orang yang sudah dikenal baik. Mereka beranggapan individu yang dekat secara personal, akan lebih loyal dan bersedia membantu mencapai tujuan organisasi.

Contoh: Seorang kepala daerah mungkin lebih memilih untuk mengangkat sahabatnya sebagai kepala dinas karena percaya bahwa sahabatnya akan mendukung semua kebijakan dan keputusan yang diambilnya, dibandingkan jika memilih orang luar yang belum dikenal.

3. Kekuasaan

Praktik nepotisme seringkali juga dipicu oleh keinginan agar memperkuat kekuasaan dan pengaruh. Orang-orang yang berada di posisi kekuasaan dalam suatu organisasi bisa menggunakan jabatan mereka untuk memberikan keuntungan kepada kerabat atau teman dekat, yang pada gilirannya akan memperkuat posisinya sendiri di dalam organisasi.

Contoh: Dalam sebuah perusahaan, seorang direktur mungkin mengangkat anaknya sebagai manajer tanpa mempertimbangkan kualifikasi yang tepat. Dengan mengangkat orang yang dekat, direktur tersebut dapat memastikan bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan kepentingan pribadinya, menciptakan kekuasaan yang lebih besar dalam lingkaran yang lebih sempit.

4. Kebijakan yang Buru

Kebijakan yang buruk, seperti kurangnya transparansi dalam proses rekrutmen dan promosi, dapat menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh individu untuk memprioritaskan orang terdekat mereka. Ketidakjelasan dalam prosedur ini seringkali menyebabkan favoritisme, di mana orang-orang yang dekat dengan pengambil keputusan mendapatkan keuntungan meskipun tidak memenuhi syarat yang diperlukan.

Contoh: Dalam sebuah lembaga pemerintah, jika proses rekrutmen tidak memiliki standar yang jelas dan terbuka, maka orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan pimpinan bisa mendapatkan posisi strategis, sementara kandidat lain yang lebih berkualitas tidak memiliki kesempatan yang sama.

5. Budaya

Budaya di mana nepotisme dianggap wajar dapat berkontribusi pada praktik ini. Dalam banyak masyarakat, terdapat norma atau tradisi yang mendorong individu untuk mempromosikan anggota keluarga atau teman dekat ke posisi tertentu. Hal ini bisa menciptakan lingkungan di mana nepotisme bukan hanya diterima, tetapi juga dianggap sebagai bagian dari cara berfungsi sosial yang normal.

Contoh: Di beberapa negara, adalah hal yang biasa bagi seorang pengusaha untuk merekrut anggota keluarganya untuk posisi di perusahaan, bukan berdasarkan keterampilan atau pengalaman, tetapi karena ikatan darah dan tradisi keluarga yang kuat. Praktik ini sering kali dianggap sebagai cara untuk menjaga kepercayaan dan stabilitas dalam bisnis keluarga.

4 dari 4 halaman

Tindakan Hukum Bagi Pelaku Nepotisme

Nepotisme, sebagaimana diatur dalam undang-undang, merupakan praktik yang bertentangan dengan hukum karena mengutamakan kepentingan pribadi, golongan, dan individu terdekat daripada kepentingan umum, masyarakat, bangsa, dan negara. Praktik ini merugikan integritas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, di mana menghambat proses pengambilan keputusan yang seharusnya dilakukan secara adil dan objektif. Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan bahwa setiap penyelenggara negara memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk bertindak demi kepentingan publik, bukan hanya demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Sebagai langkah pencegahan dan penegakan hukum terhadap praktik nepotisme, undang-undang telah menetapkan konsekuensi hukum yang jelas bagi para pelaku. Terdapat dua jenis konsekuensi hukum yang akan dihadapi oleh mereka yang terbukti terlibat dalam praktik ini. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera serta menjaga integritas dalam penyelenggaraan negara.

Menurut Pasal 22 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, setiap penyelenggara yang terlibat dalam praktik nepotisme akan dikenakan sanksi yang cukup berat. Sanksi tersebut meliputi hukuman penjara yang berkisar antara dua tahun hingga dua belas tahun, serta denda yang cukup signifikan. Denda yang dijatuhkan berkisar dari minimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) hingga maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Penjatuhan sanksi ini menunjukkan keseriusan pemerintah, dalam menangani praktik nepotisme yang dapat merugikan masyarakat luas.

Sebagai rujukan, berikut adalah bunyi lengkap Pasal 22 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999: "Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun serta denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)." Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan praktik nepotisme dapat diminimalisir, dan integritas serta kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara dapat terjaga.Â