Sukses

Pria yang Sering Pamer Otot di Media Sosial Bisa Jadi Tanda Red Flag, Studi Membuktikan

Sebuah penelitian dari University of South Australia mengungkapkan bahwa pria yang sering memamerkan otot mereka di media sosial berisiko mengalami obsesi terhadap tubuh.

Liputan6.com, Jakarta Di era media sosial, berbagi momen sehari-hari hingga pencapaian pribadi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Media sosial seperti Instagram dan TikTok tidak hanya menjadi ruang untuk mengekspresikan diri, tetapi juga ladang validasi sosial melalui jumlah "like" dan komentar yang diterima. Namun, di balik kemudahan berbagi ini, terdapat sisi gelap yang dapat memengaruhi cara seseorang memandang dirinya sendiri, terutama terkait penampilan fisik.

Sebuah penelitian dari University of South Australia mengungkapkan bahwa pria yang sering memamerkan otot mereka di media sosial berisiko mengalami obsesi terhadap tubuh. Kebiasaan ini tidak hanya menjadi bagian dari budaya flexing, tetapi juga menunjukkan potensi adanya gangguan citra tubuh, seperti muscle dysmorphia. Gangguan ini membuat seseorang merasa tubuhnya kurang ideal meskipun terlihat berotot bagi orang lain.

Fenomena ini semakin diperparah oleh standar tubuh ideal yang dibangun di media sosial. Jumlah "like" dan komentar positif sering kali menjadi ukuran kepuasan diri, mendorong individu untuk mengejar validasi sosial dengan cara yang tidak sehat. Penelitian ini menunjukkan bahwa di balik unggahan tubuh kekar yang terlihat percaya diri, ada kerentanan yang perlu diperhatikan, terutama dalam kaitannya dengan kesehatan mental dan perilaku sehari-hari.

2 dari 3 halaman

Apa Itu Muscle Dysmorphia?

Muscle dysmorphia adalah salah satu bentuk gangguan citra tubuh (body image disturbance) yang ditandai dengan obsesi bahwa tubuh seseorang tidak cukup berotot atau ramping. Menurut American Psychiatric Association, gangguan ini dapat mengganggu fungsi sehari-hari, seperti memprioritaskan pola makan ketat dan olahraga berlebihan hingga mengorbankan waktu untuk bersosialisasi.

Penelitian ini menemukan bahwa laki-laki yang sangat peduli pada jumlah "like" dan komentar di postingan mereka lebih rentan terhadap gejala muscle dysmorphia. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya sekadar platform berbagi konten, tetapi juga sumber validasi sosial yang dapat memengaruhi persepsi diri seseorang.

Tekanan Standar Tubuh Online

Dr. Luigi Donnarumma, peneliti utama studi ini, menjelaskan bahwa selama ini perhatian lebih banyak tertuju pada perempuan, tetapi tekanan standar tubuh ideal juga berdampak besar pada laki-laki. "Pria sering terpapar standar tubuh hiper-maskulin secara online, terutama melalui konten kebugaran dan selebriti," ujar Donnarumma.

Postingan dengan jumlah like dan komentar positif yang tinggi memperkuat persepsi bahwa tubuh berotot adalah standar yang harus dicapai. Akibatnya, banyak pria merasa tertekan untuk mengikuti pola hidup yang tidak sehat, seperti olahraga berlebihan, makan yang sangat terbatas, hingga penggunaan steroid.

3 dari 3 halaman

Media Sosial dan Validasi Diri

Penelitian ini juga merujuk pada studi tahun 2020 yang menunjukkan bahwa laki-laki yang sering melakukan latihan angkat beban semakin termotivasi untuk berolahraga saat postingan mereka mendapat lebih banyak like dan komentar. Lebih jauh lagi, mereka tidak hanya memperhatikan respon terhadap postingan mereka sendiri, tetapi juga reaksi positif pada postingan pria lain.

Dr. John Mingoia, salah satu penulis studi ini, menambahkan bahwa ekspektasi sosial yang didorong oleh media sosial memiliki dampak jangka panjang. "Ketika pria melihat penghargaan online terhadap tubuh berotot, hal ini memicu perilaku berbahaya yang terus berlanjut," ujarnya.

Waspadai Red Flag

Bagi banyak orang, memamerkan otot mungkin terlihat sebagai bentuk kebanggaan atas pencapaian kebugaran. Namun, ketika kebiasaan ini didorong oleh kebutuhan validasi dari media sosial, itu bisa menjadi tanda masalah yang lebih mendalam.

Penting untuk diingat bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Jika Anda atau orang terdekat menunjukkan tanda-tanda obsesi berlebihan terhadap penampilan tubuh atau media sosial, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional.

Media sosial adalah alat yang kuat. Gunakan dengan bijak agar menjadi sarana inspirasi, bukan sumber tekanan.