Sukses

Kronologi Darurat Militer Korea Selatan, Dari Deklarasi Hingga Pencabutan

Berikut adalah rangkaian peristiwa lengkap yang menjelaskan bagaimana situasi ini bisa terjadi

Liputan6.com, Jakarta Peristiwa darurat militer Korea Selatan yang terjadi pada awal Desember 2024 telah mengejutkan dunia dan memicu kegemparan politik di kawasan Asia Timur. Presiden Yoon Suk Yeol mendeklarasikan darurat militer Korea Selatan pada Selasa (3/12/2024) malam, sebuah keputusan yang memicu gelombang protes besar dan penolakan dari berbagai pihak, termasuk anggota partainya sendiri.

Penetapan darurat militer Korea Selatan ini dilatarbelakangi oleh berbagai ketegangan politik dalam negeri, termasuk tuduhan Presiden Yoon terhadap oposisi yang dianggap bersimpati dengan Korea Utara. Keputusan kontroversial ini membangkitkan kembali ingatan akan masa lalu Korea Selatan yang pernah berada di bawah pemerintahan otoriter.

Meski darurat militer Korea Selatan hanya berlangsung beberapa jam sebelum akhirnya dicabut, dampak politiknya sangat signifikan bagi pemerintahan Presiden Yoon dan stabilitas politik negara tersebut. 

Berikut adalah rangkaian peristiwa lengkap yang menjelaskan bagaimana situasi ini bisa terjadi, yang telah Liputan6.com rangkum pada Rabu (4/12).

2 dari 6 halaman

Akar Masalah dan Ketegangan Politik

Ketegangan politik yang berujung pada deklarasi darurat militer sebenarnya telah terbangun sejak April 2024. Pada pemilihan anggota Majelis Nasional, partai oposisi berhasil meraih kemenangan telak dengan mengamankan lebih dari 60 persen kursi dari total 300 kursi yang tersedia. Kemenangan ini menjadi awal dari serangkaian konfrontasi politik antara pemerintah dan oposisi.

Sepanjang tahun 2024, berbagai kontroversi terus mengganggu pemerintahan Presiden Yoon. Salah satunya adalah skandal yang melibatkan Ibu Negara Kim Keon-hee terkait penerimaan tas mewah secara tidak sah pada tahun 2022. Presiden Yoon terpaksa menyampaikan permintaan maaf atas insiden tersebut pada Mei 2024.

Situasi semakin memanas ketika pada November 2024, partai oposisi memangkas anggaran pemerintah sebesar 4,1 triliun won (sekitar 2,8 miliar dolar AS). Pemangkasan ini terutama menyasar dana cadangan pemerintah dan anggaran aktivitas untuk kantor Presiden Yoon, kejaksaan, kepolisian, dan badan audit negara.

Puncaknya terjadi pada 2 Desember 2024, ketika Partai Demokrat mengajukan mosi untuk memakzulkan tiga jaksa agung. Langkah ini dianggap oleh kubu konservatif sebagai bentuk balas dendam atas investigasi kriminal terhadap pemimpin Demokrat Lee Jae-myung, yang diprediksi akan menjadi kandidat kuat dalam pemilihan presiden 2027.

3 dari 6 halaman

Deklarasi dan Implementasi Darurat Militer

Pada 3 Desember 2024, Presiden Yoon mengejutkan publik dengan mendeklarasikan darurat militer. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa langkah ini diambil untuk melindungi negara dari "ancaman" Korea Utara dan menghadapi apa yang disebutnya sebagai "kekuatan anti-negara" dari pihak oposisi.

Setelah pengumuman tersebut, militer segera mengumumkan serangkaian kebijakan yang membatasi kebebasan warga. Kebijakan ini mencakup pelarangan semua aktivitas politik dan penempatan seluruh media di bawah kendali Komando Darurat Militer. Tentara mulai bergerak menuju gedung Majelis Nasional, sementara helikopter militer terbang rendah di atas ibu kota Seoul.

Deklarasi darurat militer ini memungkinkan penangkapan tanpa surat perintah, pembatasan kebebasan berkumpul, dan memberikan kontrol penuh kepada militer atas media massa. Selain itu, berdasarkan dekrit militer, segala bentuk pemogokan, penghentian kerja, dan rapat umum yang dianggap dapat menciptakan kekacauan sosial dilarang keras.

Kebijakan ini juga melarang "penyangkalan demokrasi bebas atau upaya subversi," serta mengkriminalisasi "berita palsu" dan "manipulasi opini publik". Para dokter yang sedang melakukan aksi mogok kerja diperintahkan untuk kembali bekerja dalam waktu 48 jam.

4 dari 6 halaman

Reaksi dan Penolakan Terhadap Darurat Militer

Deklarasi darurat militer langsung memicu gelombang protes besar di berbagai wilayah Korea Selatan. Ratusan demonstran berkumpul di luar gedung Majelis Nasional di Seoul, menuntut pencabutan darurat militer sambil meneriakkan slogan-slogan penolakan.

Penolakan tidak hanya datang dari masyarakat umum, tetapi juga dari kalangan politik. Partai Demokrat sebagai oposisi utama segera menggelar sidang darurat. Lee Jae-myung, ketua Partai Demokrat, dalam siaran langsung menyatakan keprihatinannya bahwa negara akan diperintah oleh tank, kendaraan lapis baja, dan tentara bersenjata.

Yang lebih mengejutkan, Han Dong-hoon, ketua Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang merupakan partai Presiden Yoon sendiri, juga menyatakan penolakan. Ia menyebut langkah ini sebagai kesalahan dan berjanji untuk menghentikannya bersama rakyat.

Komunitas internasional juga memberikan reaksi keras. Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Korea Selatan, menyatakan "keprihatinan serius" atas perkembangan situasi ini. Gedung Putih mengonfirmasi bahwa mereka tidak diberitahu sebelumnya mengenai rencana Yoon untuk mendeklarasikan darurat militer.

5 dari 6 halaman

Pencabutan Darurat Militer

Menghadapi tekanan besar dari berbagai pihak, parlemen Korea Selatan bergerak cepat untuk melawan dekrit darurat militer. Dalam pemungutan suara yang digelar di tengah situasi mencekam, 190 dari 300 anggota parlemen memberikan suara menolak pemberlakuan darurat militer.

Presiden Yoon akhirnya mengumumkan pencabutan darurat militer melalui pidato yang disiarkan televisi pada Rabu pagi. Ia menyatakan bahwa kabinet telah menyetujui pencabutan tersebut dan memerintahkan militer untuk kembali ke barak mereka. Pengumuman ini disambut dengan sorak-sorai oleh para demonstran yang masih bertahan di luar gedung parlemen.

Meski darurat militer telah dicabut, dampak politik dari peristiwa ini sangat signifikan. Partai Demokrat mengancam akan memulai proses pemakzulan terhadap Presiden Yoon jika ia tidak mengundurkan diri secara sukarela. Sementara itu, pimpinan partainya sendiri menuntut pemecatan Menteri Pertahanan yang telah merekomendasikan pemberlakuan darurat militer.

Peristiwa ini juga berdampak pada reputasi demokrasi Korea Selatan yang selama ini dianggap stabil sejak era reformasi pada 1980-an. Beberapa pengamat membandingkan langkah Yoon dengan metode otoriter yang pernah digunakan oleh para diktator militer di masa lalu, seperti Park Chung-hee dan Chun Doo-hwan.

Deklarasi darurat militer yang singkat namun kontroversial ini telah meninggalkan bekas mendalam dalam politik Korea Selatan. Tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Yoon, yang sebelumnya sudah rendah di angka 25 persen, diperkirakan akan semakin menurun pasca peristiwa ini.

6 dari 6 halaman

Apa Itu Darurat Militer di Korea Selatan?

Darurat militer merupakan kondisi khusus yang memberikan kekuasaan luar biasa kepada militer untuk mengambil alih kendali pemerintahan dan memberlakukan pembatasan terhadap hak-hak sipil. Di Korea Selatan, pemberlakuan darurat militer memungkinkan dilakukannya penangkapan tanpa surat perintah, pembatasan kebebasan berkumpul, dan penempatan media di bawah kendali pemerintah militer.

Sebelum peristiwa Desember 2024, darurat militer terakhir kali diberlakukan di Korea Selatan pada 27 Oktober 1979 oleh Perdana Menteri Choi Kyu-hah setelah pembunuhan Presiden Park Chung-hee. Pada masa itu, di bawah tekanan sekelompok pemimpin militer yang dipimpin oleh Jenderal Chun Doo-hwan, darurat militer diperpanjang hingga 1980 dan melarang aktivitas partai politik.

Pemberlakuan darurat militer pada tahun 1979-1981 berakhir dengan tragis, menewaskan ratusan orang dalam tindakan keras terhadap gerakan pro-demokrasi. Setelah dicabut pada tahun 1981 melalui referendum, partai-partai politik kembali diizinkan beroperasi, dan pada tahun 1987 hak-hak sipil lainnya dipulihkan sepenuhnya. Sejak saat itu hingga sebelum peristiwa Desember 2024, demokrasi di Korea Selatan telah berkembang dengan baik.

Dalam konteks hukum Korea Selatan, pemberlakuan darurat militer harus mendapat persetujuan parlemen dan memiliki dasar yang kuat terkait ancaman terhadap keamanan nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan seperti yang terjadi di masa lalu, ketika darurat militer digunakan sebagai alat untuk menekan gerakan pro-demokrasi.