Liputan6.com, Jakarta Di tengah kontroversi terkait komentar Gus Miftah yang dinilai merendahkan Yati Pesek dalam sebuah pertunjukan wayang kulit bersama Ki Warseno Slank belum lama ini, sosok seniman senior ini justru menunjukkan kearifan dan kedewasaan dalam merespons. Yati Pesek yang dikenal dengan gaya lawakan khasnya, memberikan tanggapan elegan dengan mengingatkan pentingnya etika dan kesantunan dalam bertutur kata.
Kontroversi ini semakin menyoroti eksistensi Yati Pesek sebagai seniman senior yang telah berkiprah lebih dari lima dekade di dunia seni pertunjukan Indonesia. Meski mendapat "candaan" yang dinilai tidak pantas, Yati Pesek tetap menunjukkan sikap bijaksana dengan mengatakan "Sampeyan saiki arepa enom ning dadi guruku lo" (kamu ini meskipun muda jadi guruku, lo).
Baca Juga
Respons elegan ini menegaskan kembali kematangan Yati Pesek sebagai seniman yang tidak hanya piawai dalam menghibur, tetapi juga memahami nilai-nilai kesopanan dalam budaya Jawa. Sosok yang kini menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama ini telah membuktikan diri sebagai seniman multitalenta yang konsisten menjaga etika dan profesionalisme.
Advertisement
Untuk mengenal lebih dalam mengenai siapa sosok Yati Pesek, simak profil selengkapnya berikut ini sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Jumat (6/12/2024).
Awal Perjalanan Karir
Perjalanan Yati Pesek di dunia seni pertunjukan merupakan kisah inspiratif tentang bagaimana bakat, ketekunan, dan ketangguhan dapat mengubah keterbatasan menjadi kekuatan. Terlahir dan dibesarkan dalam lingkungan seniman tradisional, ia telah menunjukkan bakatnya sejak usia yang sangat muda.
Lahir dengan nama asli Suyati pada 8 Agustus 1952 di Yogyakarta, Yati Pesek memiliki darah seni yang mengalir kuat dari kedua orangtuanya. Ayahnya, Sujito, merupakan seorang pengrawit yang memiliki kemampuan dan pemahaman mendalam tentang karawitan Jawa. Sementara ibunya, Sujilah, adalah seorang penari wayang orang yang piawai membawakan berbagai karakter dalam pertunjukan. Bakat seni dalam dirinya semakin diperkuat dengan warisan genetik dari kakeknya, Raki Martadarma, yang dikenal sebagai pelawak tobong ketoprak yang mampu menghibur penonton dengan lawakan-lawakan spontan yang menggelitik.
Lingkungan keluarga yang kental dengan dunia seni pertunjukan ini secara natural membentuk kepribadian dan kemampuan Yati Pesek sejak kecil. Ia sering mengikuti kedua orangtuanya pentas, mengamati, dan belajar secara langsung dari panggung ke panggung. Pengalaman ini memberinya pemahaman mendalam tentang berbagai aspek seni pertunjukan, mulai dari tari, musik, hingga teater tradisional. Meski tidak memiliki kesempatan menempuh pendidikan formal yang tinggi, Yati kecil justru mendapatkan "sekolah" terbaik langsung dari praktik di lapangan.
Namun, takdir menghadirkan ujian berat dalam hidupnya. Di usia yang masih sangat belia, 9 tahun, Yati Pesek harus kehilangan sosok ayah yang menjadi panutannya. Tiga tahun kemudian, ibunya pun menyusul kepergian sang ayah. Menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda tidak mematahkan semangatnya untuk terus berkarya. Justru keadaan ini memaksanya untuk mandiri dan semakin menekuni dunia seni sebagai jalan hidupnya.
Keterbatasan dan kesulitan hidup yang dialami di masa kecil justru menjadi fondasi kuat bagi Yati Pesek dalam membangun karirnya. Pengalaman hidupnya yang tidak mudah membentuknya menjadi seniman yang tangguh, adaptif, dan memiliki kepekaan tinggi terhadap berbagai situasi. Kemampuannya membaca situasi dan mengolah kesedihan menjadi hiburan inilah yang kelak menjadi salah satu kunci kesuksesannya sebagai pelawak dan seniman serba bisa yang dicintai masyarakat.
Advertisement
Masa Kecil dan Pendidikan
Kisah masa kecil dan pendidikan Yati Pesek mencerminkan realitas kehidupan banyak seniman tradisional di masa itu, di mana pendidikan formal sering kali harus dikorbankan demi mengejar passion dan memenuhi kebutuhan hidup. Meski demikian, keterbatasan akses pendidikan formal justru membuka jalan bagi pendidikan karakter dan kesenian yang lebih intensif melalui pengalaman langsung di panggung pertunjukan.
1. Pendidikan Formal yang Terbatas
Seperti kebanyakan anak seniman tobong pada masanya, pendidikan formal Yati Pesek hanya sampai tingkat Sekolah Dasar. Hal ini terjadi bukan karena ketidakmampuan secara intelektual, melainkan karena tuntutan untuk tampil dalam pertunjukan yang sering bentrok dengan jadwal sekolah. Setiap kali ada pertunjukan wayang orang, Yati kecil sering mendapat kesempatan untuk menari sebagai pembuka acara. Aktivitas ini membuatnya sering bolos sekolah hingga akhirnya memutuskan untuk fokus pada dunia seni pertunjukan.
2. Pendidikan Non-Formal dari Panggung ke Panggung
Di balik keterbatasan pendidikan formalnya, Yati Pesek justru mendapatkan pendidikan non-formal yang sangat kaya. Ia belajar tari secara privat dari ibunya sendiri dan juga dari R.M. Joko Daulat, seorang guru tari dari Konservatori Karawitan Surakarta. Selain itu, ia juga mengikuti pembelajaran tari secara kelompok di bawah bimbingan Basuki Koeswaraga, seorang guru tari ternama dari Yogyakarta. Kombinasi pembelajaran dari berbagai guru ini membentuk fondasi yang kuat bagi kemampuan menarinya.
3. Sekolah Kehidupan di Panggung Tobong
Kehilangan kedua orangtua di usia muda memaksa Yati Pesek untuk belajar lebih banyak dari kehidupan itu sendiri. Panggung tobong menjadi "sekolah" sekaligus "rumah" baginya. Di sinilah ia belajar berbagai aspek seni pertunjukan secara langsung, mulai dari teknik menari, akting, hingga memahami selera penonton. Pengalaman ini juga mengajarinya tentang disiplin, kerja keras, dan pentingnya membangun jaringan dalam dunia seni pertunjukan.
4. Pendidikan Karakter dalam Kesenian
Meski tidak memiliki ijazah pendidikan formal yang tinggi, Yati Pesek mendapatkan pendidikan karakter yang sangat berharga dari dunia seni pertunjukan. Ia belajar tentang kesabaran, keuletan, dan profesionalisme dari para seniman senior. Nilai-nilai budaya Jawa seperti unggah-ungguh (tatakrama), tepa slira (tenggang rasa), dan filosofi hidup lainnya ia serap melalui berbagai lakon yang dipentaskan.
Perjalanan pendidikan Yati Pesek menunjukkan bahwa kesuksesan tidak selalu ditentukan oleh tingginya pendidikan formal. Justru, kombinasi antara bakat alam, ketekunan belajar, dan pengalaman langsung di lapangan telah membentuknya menjadi seniman multitalenta yang mampu bertahan dan berkembang hingga saat ini. Pengalamannya menjadi bukti bahwa pendidikan sejati bisa didapatkan dari berbagai sumber, tidak terbatas pada bangku sekolah formal saja.
Perjalanan Karir Profesional
Perjalanan karir profesional Yati Pesek merupakan kisah inspiratif tentang bagaimana seorang seniman bertahan dan berkembang melalui berbagai era. Dari panggung tobong hingga layar kaca, dari era analog hingga digital, Yati Pesek telah membuktikan kemampuannya beradaptasi sambil tetap mempertahankan karakteristik uniknya yang menjadi daya tarik bagi penonton lintas generasi.
1. Era Tobong (1964-1980)
Karir profesional Yati Pesek dimulai pada tahun 1964 ketika ia bergabung dengan Wayang Orang Jati Mulya dari Kebumen. Masa ini menjadi periode pembelajaran intensif baginya dalam memahami seluk-beluk dunia seni pertunjukan. Ia aktif berpindah dari satu kelompok seni ke kelompok lain, termasuk bergabung dengan Panca Murti pimpinan Timbul Srimulat (1966), Darma Mudha Yogyakarta (1967), dan mencapai titik penting ketika bergabung dengan Wayang Orang Ajudan Jendral Komando Resort Militer Madiun (1968). Perpindahan dari satu grup ke grup lain ini bukan hanya tentang mencari penghasilan, tetapi juga proses mengasah kemampuan dan membangun jaringan dalam dunia seni pertunjukan.
2. Era Televisi (1980-1990)
Titik balik karir Yati Pesek terjadi pada tahun 1980 ketika ia direkrut oleh Handhung Kussudiharja untuk bergabung dalam Sandiwara Jenaka KR yang ditayangkan TVRI Yogyakarta. Program yang tayang setiap minggu selama sepuluh tahun ini membuat nama Yati Pesek semakin dikenal di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kesuksesan ini berlanjut dengan tampilnya ia bersama Sumarwoto dan Daryadi dalam acara Trio Jenaka KR, yang semakin memperkuat posisinya sebagai pelawak perempuan yang diperhitungkan di industri hiburan.
3. Era Film dan Sinetron (1982-1990)
Popularitas Yati Pesek di televisi menarik perhatian para sutradara film nasional. Sutradara sekaliber Arifin C. Noer memberikan kesempatan kepadanya untuk bermain dalam film "Serangan Fajar" (1982). Kesempatan ini diikuti dengan peran-peran lain dalam sinetron "Kiprah" dan "Anak Dalang" TVRI Jakarta (1984), serta film "Langitku Rumahku" (1984) arahan Slamet Raharjo. Periode ini menunjukkan kemampuan Yati Pesek untuk beradaptasi dengan medium yang berbeda sambil tetap mempertahankan karakteristik uniknya.
4. Era Wayang dan Ketoprak (1986-2000)
Tahun 1986 menandai era baru dalam karir Yati Pesek ketika ia mulai tampil sebagai bintang tamu dalam pertunjukan wayang kulit Ki Manteb Soedarsono di Taman Ismail Marzuki. Kehadirannya yang spontan dalam pertunjukan tersebut menciptakan chemistry yang luar biasa dengan sang dalang, yang kemudian melahirkan tradisi baru dalam pertunjukan wayang kulit dengan hadirnya bintang tamu pelawak. Era ini juga ditandai dengan keterlibatannya dalam Ketoprak Plesetan Sapta Mandala pada tahun 1991.
5. Era Milenium (2000-sekarang)
Di era milenium, Yati Pesek membuktikan relevansinya dengan menciptakan program Limbuk Cangik yang tayang di Indosiar hingga 67 episode pada tahun 2003. Ia juga aktif mengembangkan seni pertunjukan melalui Padhepokan Seni Endah Suryatiningrum (2005), Ketoprak Kartini Mataram (2007), dan Wayang Orang Tresno Budaya (2009). Sejak 2008 hingga kini, ia dipercaya mengasuh acara reguler Padhepokan Karang Tumaritis di TVRI Yogyakarta.
Perjalanan karir profesional Yati Pesek menunjukkan bahwa kesuksesan berkelanjutan dalam dunia seni pertunjukan membutuhkan lebih dari sekadar bakat. Dibutuhkan kemampuan adaptasi, networking yang kuat, dan konsistensi dalam mengembangkan diri. Yang lebih penting lagi, perjalanannya membuktikan bahwa seniman tradisional bisa tetap relevan di era modern tanpa kehilangan akar budayanya. Kini di usia senjanya, Yati Pesek tidak hanya menjadi ikon pelawak perempuan Indonesia, tetapi juga teladan bagi generasi muda tentang bagaimana bertahan dan berkembang dalam industri hiburan yang terus berubah.
Advertisement
Prestasi dan Penghargaan
Dedikasi dan konsistensi Yati Pesek dalam dunia seni pertunjukan selama lebih dari lima dekade telah mendapat pengakuan dari berbagai pihak. Penghargaan yang diterimanya tidak hanya mencerminkan kemampuannya sebagai seniman, tetapi juga perannya dalam pelestarian dan pengembangan seni budaya tradisional.
1. Penghargaan Adinugraha TATV (2008)
Pada tanggal 10 Oktober 2008, TATV memberikan penghargaan Adinugraha kepada Yati Pesek dalam kategori Supporting Program Budaya. Penghargaan ini mengakui kontribusinya dalam mengembangkan program-program budaya di televisi yang tidak hanya menghibur tetapi juga edukatif. Melalui berbagai program yang dibawakannya, Yati Pesek berhasil menghadirkan nilai-nilai budaya Jawa dalam kemasan yang ringan dan mudah dicerna oleh berbagai kalangan.
2. Women Actulization dari ASMI Santa Maria Yogyakarta (2009)
Pengakuan atas peran Yati Pesek sebagai perempuan yang berhasil mengaktualisasikan dirinya dalam dunia seni pertunjukan datang dari ASMI Santa Maria Yogyakarta pada 30 Mei 2009. Penghargaan ini memiliki makna khusus karena mengakui kiprahnya sebagai seniman perempuan yang mampu bertahan dan berkembang dalam industri hiburan yang saat itu masih didominasi laki-laki.
3. Gelar Kehormatan dari Kraton Surakarta (2009)
Pencapaian tertinggi dalam karirnya datang ketika Kraton Surakarta menganugerahkan gelar Kangjeng Mas Ayu Tumenggung Walitodiningrum kepada Yati Pesek pada 8 Juli 2009. Penganugerahan gelar ini bukan sekadar formalitas, melainkan pengakuan atas jasanya dalam melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional Jawa. Gelar ini juga menegaskan posisinya sebagai seniman yang dihormati dalam lingkup budaya Jawa.
4. Anugerah Budaya dari Gubernur DIY (2013)
Pada 17 Desember 2013, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan Penghargaan Anugerah Budaya kepada Yati Pesek sebagai Seniman Ketoprak. Penghargaan ini mengakui dedikasinya dalam mengembangkan dan melestarikan seni ketoprak, sebuah bentuk teater tradisional Jawa yang sarat nilai-nilai budaya dan pendidikan karakter.
5. Penghargaan Anugrah UNY Kencana (2014)
Universitas Negeri Yogyakarta memberikan penghargaan Anugrah UNY Kencana kepada Yati Pesek sebagai Pegiat Pendidikan yang Produktif, Kreatif, dan Inspiratif. Penghargaan ini mengakui perannya yang tidak hanya sebagai seniman pertunjukan, tetapi juga sebagai pendidik yang mentransmisikan nilai-nilai budaya kepada generasi muda melalui seni.
Rangkaian penghargaan yang diterima Yati Pesek menunjukkan bahwa kontribusinya dalam dunia seni pertunjukan telah diakui oleh berbagai institusi, mulai dari media, lembaga pendidikan, hingga institusi budaya tertinggi seperti keraton. Penghargaan-penghargaan ini bukan hanya menjadi bukti pencapaian pribadinya, tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi muda bahwa dedikasi dan konsistensi dalam berkarya akan mendapat pengakuan yang layak. Yang lebih penting lagi, penghargaan-penghargaan tersebut menjadi motivasi baginya untuk terus berkarya dan memberikan yang terbaik bagi perkembangan seni budaya Indonesia.
Kontribusi dan Warisan
Lebih dari sekadar menghibur, Yati Pesek telah memberikan kontribusi nyata dalam pelestarian dan pengembangan seni budaya tradisional. Kesadarannya akan pentingnya regenerasi seniman membawanya pada berbagai inisiatif yang bertujuan memastikan keberlangsungan seni pertunjukan tradisional di tengah arus modernisasi.
1. Padhepokan Seni Endah Suryatiningrum (2005)
Kesadaran akan pentingnya wadah untuk mewariskan ilmu dan pengalaman kepada generasi muda mendorong Yati Pesek mendirikan Padhepokan Seni Endah Suryatiningrum di Desa Manisrengga, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten pada tahun 2005. Padhepokan ini tidak sekadar tempat belajar seni pertunjukan, tetapi juga menjadi ruang untuk menumbuhkan kecintaan pada budaya tradisional. Di sini, para siswa tidak hanya belajar teknik menari atau bermain teater, tetapi juga diperkenalkan pada nilai-nilai luhur budaya Jawa yang terkandung dalam setiap gerakan dan dialog yang mereka pelajari.
2. Ketoprak Kartini Mataram (2007)
Sebagai seniman perempuan yang berhasil menembus dominasi laki-laki dalam dunia seni pertunjukan, Yati Pesek memiliki kepedulian khusus terhadap pemberdayaan perempuan dalam seni tradisional. Hal ini diwujudkan melalui pendirian Ketoprak Kartini Mataram pada tahun 2007, sebuah kelompok ketoprak yang seluruh pemainnya adalah perempuan. Grup ini pertama kali tampil pada 21 April 2007 di Pura Wisata dalam rangka memperingati Hari Kartini. Inisiatif ini tidak hanya membuka ruang ekspresi bagi seniman perempuan, tetapi juga mendobrak stereotip gender dalam seni pertunjukan tradisional.
3. Wayang Orang Tresno Budaya (2009)
Pada tahun 2009, Yati Pesek mendirikan Wayang Orang Tresno Budaya dengan konsep keanggotaan yang terbuka untuk umum. Gagasan ini lahir dari keinginannya untuk membuat seni wayang orang lebih aksesibel bagi masyarakat luas. Melalui kelompok ini, siapapun yang memiliki minat terhadap wayang orang dapat bergabung dan belajar, tanpa dibatasi latar belakang sosial atau pengalaman berkesenian sebelumnya.
4. Program Reguler Padhepokan Karang Tumaritis
Sejak 2008 hingga kini, Yati Pesek dipercaya mengasuh acara reguler Padhepokan Karang Tumaritis yang tayang di TVRI Yogyakarta setiap Minggu pertama dan ketiga. Program ini menjadi bukti konsistensinya dalam menyebarluaskan pengetahuan dan apresiasi terhadap seni tradisional melalui media massa. Melalui program ini, ia tidak hanya menghibur tetapi juga mengedukasi penonton tentang berbagai aspek seni dan budaya Jawa.
5. Pembinaan Seniman Muda
Di luar institusi formal yang didirikannya, Yati Pesek juga aktif melakukan pembinaan informal terhadap seniman-seniman muda. Pengalamannya yang panjang dalam dunia seni pertunjukan dibagikan melalui berbagai workshop, pelatihan, dan mentoring personal. Ia sering memberikan kesempatan kepada seniman muda untuk tampil bersamanya, sebuah bentuk regenerasi yang efektif dalam dunia seni pertunjukan.
Kontribusi dan warisan Yati Pesek dalam dunia seni pertunjukan Indonesia melampaui pencapaian pribadinya sebagai seniman. Melalui berbagai inisiatif yang dibangunnya, ia telah menciptakan sistem regenerasi yang berkelanjutan untuk seni pertunjukan tradisional. Keberadaan lembaga-lembaga yang ia dirikan tidak hanya menjadi wadah pembelajaran seni, tetapi juga menjadi penghubung antara tradisi masa lalu dengan generasi masa kini. Yang lebih penting lagi, warisan terbesarnya adalah teladan bahwa seniman tradisional harus terus berinovasi dan beradaptasi tanpa kehilangan akar budayanya. Semangat ini menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk terus melestarikan dan mengembangkan seni pertunjukan tradisional Indonesia.
Hingga kini, di usianya yang menginjak 72 tahun, Yati Pesek tetap aktif berkarya dan menginspirasi generasi muda untuk mencintai dan melestarikan seni pertunjukan tradisional Indonesia.
Advertisement