Liputan6.com, Jakarta Pernahkah Anda bertemu dengan tukang bully dan tukang ejek yang sepertinya tidak pernah berubah meski sudah dewasa? Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa para pelaku bullying memiliki struktur otak yang lebih kecil dibandingkan orang normal. Temuan ini memberikan perspektif baru tentang mengapa beberapa orang tetap mempertahankan perilaku antisosial mereka hingga dewasa.
Para peneliti dari University College London telah melakukan studi komprehensif yang menunjukkan bahwa tukang bully dan tukang ejek memiliki otak kecil, khususnya pada area korteks yang berkaitan dengan fungsi eksekutif, motivasi, dan regulasi emosi. Penelitian ini menjadi terobosan penting dalam memahami perilaku bullying dari sudut pandang neurologis.
Menariknya, penelitian yang diterbitkan di jurnal bergengsi The Lancet ini mengungkapkan bahwa otak kecil hanya ditemukan pada pelaku bullying yang konsisten melakukan perilaku antisosial sepanjang hidup mereka. Sementara itu, individu yang hanya menunjukkan perilaku bullying selama masa remaja tidak menunjukkan abnormalitas struktur otak yang serupa.
Advertisement
Simak penjelasan lengkapnya, dalam rangkuman yang telah Liputan6.com susun berikut ini pada Jumat (6/12).
Metodologi dan Temuan Utama Penelitian
Penelitian ini melibatkan tim internasional neurosains yang menggunakan mesin MRI untuk memeriksa otak dari 652 partisipan. Para peneliti membagi partisipan menjadi tiga kelompok berbeda berdasarkan riwayat perilaku antisosial mereka:
- 441 orang (66%) tidak memiliki riwayat perilaku antisosial
- 151 orang (23%) menunjukkan perilaku antisosial hanya pada masa remaja
- 80 orang (12%) adalah pelaku bullying sepanjang hidup
Dalam pemeriksaan yang dilakukan, tim peneliti menemukan bahwa pelaku bullying seumur hidup memiliki korteks yang lebih tipis dan area permukaan otak yang lebih kecil dibandingkan partisipan lainnya. Dr. Christina Carlisi, peneliti utama dari University College London, menegaskan bahwa temuan ini mendukung teori bahwa sebagian kecil individu dengan perilaku antisosial sepanjang hidup memiliki perbedaan struktur otak yang mempersulit mereka mengembangkan keterampilan sosial.
Meskipun penelitian ini memberikan temuan yang signifikan, para peneliti masih menghadapi pertanyaan besar tentang hubungan sebab-akibat. Prof. Essi Viding dari UCL menyatakan bahwa masih belum jelas apakah perbedaan struktur otak ini merupakan faktor bawaan yang mendahului perilaku antisosial, atau justru merupakan hasil dari gaya hidup antisosial yang berkelanjutan.
Beberapa faktor risiko yang mungkin berpengaruh termasuk penyalahgunaan zat, IQ rendah, dan masalah kesehatan mental. Penelitian ini juga mengingatkan bahwa hasil pemindaian otak tidak boleh digunakan sebagai alat screening untuk mengidentifikasi calon pelaku bullying, karena pemahaman tentang perbedaan struktur otak belum cukup robust untuk diterapkan pada level individu.
Advertisement
Dampak pada Pendekatan Penanganan Bullying
Temuan ini memiliki implikasi penting dalam cara kita memandang dan menangani perilaku bullying. Hukuman konvensional yang selama ini diterapkan pada pelaku bullying mungkin perlu ditinjau ulang mengingat adanya perbedaan neurologis yang mendasar. Namun, para peneliti menekankan bahwa hal ini tidak boleh dijadikan pembenaran atas perilaku antisosial.
Dr. Terrif Moffit dari Duke University menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menginterpretasikan hasil penelitian ini. Meskipun terdapat perbedaan struktur otak yang signifikan, hal ini tidak serta-merta membebaskan pelaku bullying dari tanggung jawab atas perilaku mereka.
Statistik Bullying di Masyarakat
Penelitian ini menjadi semakin relevan mengingat tingginya angka bullying di masyarakat. Data menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 3 atau 1 dari 4 anak pernah menjadi korban bullying. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada masa kanak-kanak atau remaja, tetapi dalam beberapa kasus berlanjut hingga dewasa, mempengaruhi lingkungan kerja dan hubungan sosial yang lebih luas.
Meskipun sebagian besar pelaku bullying akhirnya berubah seiring bertambahnya usia, penelitian menunjukkan bahwa sejumlah kecil individu tetap mempertahankan perilaku antisosial mereka. Hal ini terjadi terlepas dari pencapaian atau kekuasaan yang mereka miliki dalam kehidupan dewasa. Temuan tentang ukuran otak yang lebih kecil pada kelompok ini memberikan perspektif baru dalam memahami persistensi perilaku tersebut.
Para peneliti mengamati 360 region berbeda dalam korteks otak, memberikan pemahaman yang sangat detail tentang area-area yang terdampak. Pengukuran dilakukan terhadap ketebalan materi abu-abu dan area korteks yang tersedia, menghasilkan pemetaan komprehensif tentang perbedaan struktural antara otak pelaku bullying seumur hidup dan individu normal.
Perbedaan Antara Bullying Remaja dan Dewasa
Salah satu temuan paling menarik dari penelitian ini adalah perbedaan signifikan antara pelaku bullying remaja dan pelaku bullying seumur hidup. Dr. Christina Carlisi menekankan bahwa mayoritas individu yang menunjukkan perilaku antisosial pada masa remaja melakukannya sebagai bagian dari proses navigasi tahun-tahun yang secara sosial sulit, dan tidak menunjukkan perbedaan struktur otak yang permanen.
Kelompok yang hanya menunjukkan perilaku antisosial selama masa remaja memang menunjukkan beberapa pengurangan area permukaan dan ketebalan di dua region dalam lobus temporal kanan. Namun, area-area ini tidak secara konsisten terlibat dalam studi-studi sebelumnya tentang perilaku antisosial. Temuan ini menunjukkan bahwa perubahan struktur otak pada pelaku bullying remaja mungkin bersifat sementara atau dapat pulih seiring waktu.
Individu yang berhasil mengatasi fase bullying remaja umumnya mampu melakukan reformasi dan menjadi anggota masyarakat yang berharga. Hal ini memberikan harapan bahwa dengan intervensi yang tepat dan dukungan yang memadai, perilaku bullying pada remaja dapat diatasi secara efektif.
Advertisement