Liputan6.com, Jakarta Bashar Al-Assad, presiden Suriah yang baru saja tumbang pada Desember 2024, merupakan sosok yang kontroversial dalam sejarah politik Timur Tengah. Awalnya dipandang sebagai pembawa harapan pembaruan bagi Suriah, ia justru mengikuti jejak ayahnya sebagai pemimpin otoriter yang brutal. Selama 24 tahun berkuasa, Assad menghadapi berbagai tantangan, dari protes internal hingga perang saudara yang menghancurkan negaranya.
Baca Juga
Advertisement
Kejatuhannya yang dramatis pada Desember 2024 menandai berakhirnya era kepemimpinan keluarga Assad yang telah berlangsung selama lebih dari lima dekade di Suriah. Kekalahannya dari pasukan pemberontak dalam waktu singkat mengejutkan banyak pihak, mengingat ia sebelumnya berhasil bertahan dari berbagai krisis selama bertahun-tahun.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam perjalanan hidup Bashar Al-Assad, dari masa mudanya sebagai dokter mata hingga kejatuhannya yang dramatis sebagai presiden Suriah. Mari kita telusuri bagaimana seorang profesional medis yang terdidik di Barat bisa berubah menjadi salah satu diktator paling brutal di era modern, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Selasa (10/12/2024).
Masa Muda dan Pendidikan
Masa muda Bashar Al-Assad sangat berbeda dari kebanyakan pemimpin otoriter di Timur Tengah. Tidak seperti ayahnya yang membangun karier melalui jalur militer, Bashar memilih jalan yang sangat berbeda, mengejar pendidikan di bidang kedokteran. Latar belakang pendidikannya yang unik ini awalnya memunculkan harapan akan kepemimpinan yang lebih modern dan reformis bagi Suriah.
Lahir pada 11 September 1965 di Damaskus, Bashar merupakan putra ketiga dari Hafez Al-Assad, yang saat itu masih menjabat sebagai perwira militer dan tokoh penting Partai Ba'ath. Keluarga Assad berasal dari komunitas Alawite, sebuah kelompok minoritas dalam Islam yang hanya mencakup sekitar 10% dari total populasi Suriah. Meski berasal dari kelompok minoritas, keluarga Assad berhasil membangun dan mempertahankan kekuasaan melalui jaringan politik dan militer yang kuat.
Pendidikan awal Bashar berlangsung di sekolah-sekolah elite di Damaskus. Ia dikenal sebagai siswa yang cerdas dan pendiam, lebih tertarik pada bidang sains daripada politik atau militer. Keputusannya untuk menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Damaskus menunjukkan keinginannya untuk mengejar karier profesional di luar bayang-bayang politik ayahnya. Setelah lulus sebagai dokter mata pada tahun 1988, ia bekerja di rumah sakit militer Damaskus, sebuah pengalaman yang memberinya pemahaman tentang sistem kesehatan dan birokrasi negara.
Tahun 1992 menjadi titik balik penting dalam kehidupan Bashar ketika ia melanjutkan studinya ke London. Di kota metropolis ini, ia mendapat exposure terhadap budaya Barat dan sistem demokrasi liberal. Pengalamannya di London, termasuk pertemuannya dengan calon istrinya Asma, yang ketika itu bekerja sebagai banker investasi di JP Morgan, membentuk pandangan dunianya yang lebih kosmopolitan. Ia bahkan bergabung dengan Western Eye Hospital di London untuk spesialisasi mata.
Namun, takdir memiliki rencana lain. Kematian tragis kakaknya Basil dalam kecelakaan mobil pada tahun 1994 mengubah seluruh arah hidupnya. Sebagai putra tertua yang tersisa, ia dipanggil pulang ke Suriah untuk dipersiapkan sebagai penerus kekuasaan. Program spesialisasinya di London harus ditinggalkan, dan ia mulai menjalani pelatihan militer intensif di akademi militer Suriah. Dalam waktu singkat, dokter mata yang pendiam ini harus bertransformasi menjadi calon pemimpin negara.
Masa pendidikan dan kehidupan awal Bashar Al-Assad mencerminkan kontras yang tajam dengan perannya di kemudian hari sebagai pemimpin otoriter. Pendidikannya di Barat dan latar belakangnya sebagai dokter awalnya memunculkan harapan akan pendekatan yang lebih humanis dan modern dalam kepemimpinan. Namun, seperti yang kemudian terbukti, warisan politik ayahnya dan sistem kekuasaan yang diwarisinya ternyata lebih kuat dalam membentuk gaya kepemimpinannya di masa depan.
Advertisement
Perjalanan Menuju Kekuasaan
Perjalanan Bashar Al-Assad menuju kursi kepresidenan Suriah merupakan kisah yang penuh dengan kejutan dan manuver politik yang kompleks. Tak seorang pun, termasuk Bashar sendiri, membayangkan bahwa dokter mata yang sedang menjalani spesialisasi di London ini akan menjadi penerus dinasti Assad yang berkuasa di Suriah. Namun, serangkaian peristiwa tak terduga dan perencanaan politik yang matang mengubah takdirnya secara dramatis.
Titik balik dalam hidup Bashar terjadi pada tahun 1994 ketika kakaknya, Basil Al-Assad, meninggal dalam kecelakaan mobil tragis di jalan menuju Bandara Damaskus. Basil, yang telah lama dipersiapkan sebagai penerus kepemimpinan, adalah sosok yang dipandang memiliki karisma dan kemampuan kepemimpinan yang kuat.
Kematiannya memaksa Hafez Al-Assad untuk merevisi seluruh rencana suksesi yang telah disusun selama bertahun-tahun. Sebagai putra tertua yang tersisa, pilihan jatuh pada Bashar yang saat itu sedang mengejar karier medis di London.
Proses transformasi Bashar dari seorang dokter menjadi calon pemimpin negara berlangsung dengan intensif dan sistematis. Segera setelah kepulangannya ke Suriah, ia menjalani program pelatihan militer di Akademi Militer Homs.
Dalam waktu singkat, ia berhasil naik pangkat menjadi kolonel dalam unit elit Garda Republik. Paralel dengan pelatihan militernya, Bashar juga mendapat pendidikan politik langsung dari ayahnya. Hafez secara pribadi membimbingnya dalam memahami kompleksitas politik Suriah dan dinamika kekuasaan regional.
Pembangunan citra publik Bashar dilakukan dengan sangat terencana. Ia ditempatkan sebagai ketua Perhimpunan Komputer Suriah, sebuah posisi yang memperkuat citranya sebagai pemimpin muda yang modern dan terdidik. Kampanye anti-korupsi yang dipimpinnya, meski terbatas dalam cakupan, berhasil membangun popularitasnya di kalangan masyarakat umum. Media pemerintah secara konsisten menggambarkannya sebagai sosok pembaharu yang akan membawa perubahan positif bagi Suriah.
Ketika Hafez Al-Assad meninggal pada 10 Juni 2000, mesin politik Suriah bergerak dengan kecepatan dan presisi yang menakjubkan. Dalam hitungan jam setelah kematian ayahnya, parlemen Suriah mengamandemen konstitusi untuk menurunkan batas usia minimum presiden dari 40 menjadi 34 tahun, menyesuaikan dengan usia Bashar saat itu. Pada 18 Juni, ia diangkat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Ba'ath, dan dua hari kemudian kongres partai secara resmi mencalonkannya sebagai presiden.
Proses formal pengangkatan Bashar sebagai presiden dilaksanakan melalui referendum pada 10 Juli 2000. Sebagai satu-satunya kandidat, ia memenangkan 97% suara, sebuah hasil yang mencerminkan karakteristik pemilihan di bawah sistem otoriter. Meski banyak pihak mengkritik proses ini sebagai tidak demokratis, legitimasi formal telah diperoleh untuk memulai era baru kepemimpinan Assad.
Perjalanan Bashar Al-Assad menuju kekuasaan menggambarkan dengan jelas bagaimana sistem politik otoriter bekerja untuk mempertahankan kontrolnya. Transisi kekuasaan yang tampaknya mulus ini sebenarnya merupakan hasil dari perencanaan yang matang dan manipulasi sistematis terhadap institusi-institusi negara. Pengalaman ini juga membentuk gaya kepemimpinannya di kemudian hari, di mana ia memilih untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat sistem otoriter yang diwarisinya, alih-alih melakukan reformasi substantif seperti yang diharapkan banyak pihak.
Era Kepemimpinan
Era kepresidenan Bashar Al-Assad menandai sebuah periode yang penuh paradoks dalam sejarah Suriah modern. Ketika ia naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2000, banyak pihak di dalam dan luar negeri menaruh harapan besar bahwa pemimpin muda yang berpendidikan Barat ini akan membawa angin segar perubahan bagi Suriah. Namun, perjalanan 24 tahun kepemimpinannya justru menunjukkan bagaimana harapan akan reformasi dan modernisasi perlahan berubah menjadi mimpi buruk otoritarianisme yang lebih kejam dari era ayahnya.
Awal masa kepemimpinan Assad ditandai dengan apa yang kemudian dikenal sebagai "Musim Semi Damaskus". Ia melonggarkan beberapa pembatasan kebebasan berekspresi dan pers, serta membebaskan sejumlah tahanan politik. Forum-forum diskusi publik bermunculan di berbagai tempat, membahas isu-isu politik dan sosial yang sebelumnya tabu. Pidato pelantikannya menyiratkan komitmen untuk modernisasi dan reformasi, meski dengan tegas menolak model demokrasi Barat sebagai jalan yang akan ditempuh Suriah.
Namun, fase keterbukaan ini ternyata sangat singkat. Dalam waktu kurang dari setahun, rezim Assad mulai menunjukkan wajah aslinya. Forum-forum diskusi publik dibubarkan, aktivis pro-demokrasi ditangkap, dan kontrol terhadap media diperketat kembali. Assad beralasan bahwa reformasi ekonomi harus didahulukan sebelum reformasi politik, namun dalam praktiknya, reformasi ekonomi yang dilakukan lebih menguntungkan sekelompok kecil elit yang dekat dengan rezim.
Di bawah kepemimpinannya, Suriah mengalami modernisasi terbatas di sektor ekonomi. Beberapa monopoli negara dihapuskan, sektor perbankan swasta mulai diizinkan beroperasi, dan beberapa kebijakan liberalisasi ekonomi diterapkan. Namun, manfaat dari kebijakan ini lebih banyak dinikmati oleh lingkaran dalam rezim dan para kroni bisnis mereka, sementara mayoritas rakyat Suriah tetap bergantung pada sektor publik yang makin memburuk.
Era Assad juga ditandai dengan kebijakan luar negeri yang semakin menantang Barat. Ia mempertahankan aliansi dengan Iran, mendukung Hizbullah di Lebanon, dan menjalin hubungan yang lebih erat dengan Rusia. Sikapnya yang keras terhadap Israel dan dukungannya pada kelompok-kelompok militant anti-Israel membuatnya populer di kalangan tertentu di dunia Arab, namun juga semakin mengisolasi Suriah di panggung internasional.
Titik balik terbesar dalam kepresidenan Assad terjadi pada tahun 2011, ketika gelombang protes Arab Spring mencapai Suriah. Alih-alih menanggapi tuntutan reformasi dengan dialog dan konsesi politik, Assad memilih pendekatan keras. Keputusannya untuk menggunakan kekerasan terhadap demonstran damai memicu spiral kekerasan yang akhirnya berkembang menjadi perang saudara berdarah yang berlangsung selama 13 tahun.
Era kepresidenan Assad berakhir dengan cara yang dramatis pada Desember 2024, ketika rezimnya akhirnya tumbang di tangan pasukan pemberontak. Kejatuhannya yang cepat, hanya dalam waktu 10 hari setelah offensive final dimulai, menunjukkan betapa rapuhnya fondasi kekuasaan yang ia bangun. Meski berhasil bertahan selama lebih dari dua dekade, kepresidenannya akan dikenang sebagai periode kelam dalam sejarah Suriah, ditandai dengan penindasan brutal, perang saudara berdarah, dan kehancuran sebuah negara yang dulunya menjadi pusat peradaban di Timur Tengah.
Advertisement
Masa Perang Saudara
Perang saudara Suriah merupakan babak paling kelam dalam sejarah modern negara tersebut, sekaligus menjadi ujian terberat bagi kepemimpinan Bashar Al-Assad. Konflik yang berlangsung selama 13 tahun ini tidak hanya menghancurkan infrastruktur fisik negara, tetapi juga merobek-robek tatanan sosial masyarakat Suriah. Diperkirakan lebih dari 500.000 orang tewas dan sekitar 12 juta lainnya terpaksa mengungsi, menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terburuk di abad ke-21.
Akar konflik bermula pada Maret 2011, ketika gelombang protes Arab Spring yang telah menggulingkan rezim-rezim otoriter di Tunisia dan Mesir akhirnya mencapai Suriah. Demonstrasi damai awalnya menuntut reformasi demokratis, pembebasan tahanan politik, dan penghapusan undang-undang darurat yang telah berlaku selama hampir 50 tahun. Assad menanggapi protes ini dengan sikap keras, menuduh para demonstran sebagai bagian dari konspirasi asing untuk menghancurkan Suriah.
Penggunaan kekerasan terhadap demonstran damai justru memicu eskalasi konflik. Pada September 2011, desersi dari militer Suriah mulai terjadi, dan kelompok-kelompok oposisi bersenjata bermunculan. Upaya mediasi internasional oleh Liga Arab dan PBB gagal mencapai kesepakatan gencatan senjata yang berarti. Pada pertengahan 2012, situasi telah berkembang menjadi perang saudara penuh, dengan berbagai faksi yang saling berhadapan di medan pertempuran.
Rezim Assad menghadapi pukulan berat pada Juli 2012 ketika sebuah bom meledak di gedung keamanan nasional di Damaskus, menewaskan sejumlah pejabat senior termasuk Menteri Pertahanan Daoud Rajiha dan Assef Shawkat, ipar Assad yang menjadi salah satu penasehat terdekatnya. Peristiwa ini menandai penetrasi pemberontak ke jantung kekuasaan Assad dan mengubah dinamika konflik secara signifikan.
Salah satu aspek paling kontroversial dalam perang ini adalah penggunaan senjata kimia. Serangan kimia di pinggiran Damaskus pada Agustus 2013 menewaskan ratusan warga sipil dan memicu kecaman internasional yang keras. Meski Assad membantah keterlibatan rezimnya, bukti-bukti intelijen dari AS, Inggris, dan Prancis menunjukkan sebaliknya. Ancaman intervensi militer Barat akhirnya berhasil dihindari melalui kesepakatan yang memaksa Suriah menyerahkan persediaan senjata kimianya untuk dimusnahkan.
Konflik ini semakin rumit dengan keterlibatan berbagai kekuatan regional dan internasional. Rusia dan Iran memberikan dukungan penuh kepada Assad, sementara Amerika Serikat, Turki, dan negara-negara Teluk mendukung kelompok oposisi. Kemunculan ISIS pada tahun 2013 menambah dimensi baru dalam konflik, memaksa beberapa negara yang tadinya menentang Assad untuk mengalihkan fokus mereka pada pemberantasan kelompok teroris ini.
Intervensi militer Rusia pada 2015 menjadi titik balik yang menguntungkan Assad. Dengan dukungan udara Rusia dan bantuan darat dari Iran serta Hizbullah, rezim Assad berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah yang dikuasai pemberontak. Pada akhir 2017, ISIS telah dikalahkan, dan pemberontak terpojok di kantong-kantong terisolasi, terutama di wilayah Idlib.
Namun, kemenangan Assad ternyata tidak lengkap dan tidak permanen. Ketika dukungan internasionalnya mulai goyah pada 2024 - Rusia sibuk dengan perang di Ukraina, Iran melemah akibat konflik dengan Israel, dan Hizbullah terpaksa mundur dari Suriah - kelemahan fundamental rezimnya tersingkap. Dalam waktu singkat, offensive yang dilancarkan Hayat Tahrir al-Sham dari Idlib berhasil menumbangkan kekuasaannya yang telah bertahan selama 24 tahun.
Perang saudara Suriah menjadi bukti bagaimana kekerasan dan represi yang dilakukan sebuah rezim terhadap rakyatnya sendiri dapat memicu spiral kekerasan yang tak terkendali. Konflik ini tidak hanya menghancurkan Suriah secara fisik, tetapi juga meninggalkan luka mendalam dalam struktur sosial masyarakat yang akan membutuhkan waktu bergenerasi untuk pulih.
Dukungan Internasional dan Bertahannya Rezim
Kemampuan rezim Assad untuk bertahan selama lebih dari satu dekade perang saudara tidak bisa dilepaskan dari peran dukungan internasional yang diterimanya. Aliansi strategis dengan Rusia dan Iran, serta dukungan dari kelompok militan Hizbullah, menjadi faktor kunci yang memungkinkan Assad mempertahankan kekuasaannya bahkan di saat-saat paling kritis. Jaringan dukungan internasional ini tidak hanya menyediakan bantuan militer, tetapi juga dukungan diplomatik dan ekonomi yang vital.
Rusia memainkan peran terpenting dalam mempertahankan rezim Assad. Intervensi militer Moskow pada September 2015 menjadi titik balik dalam perang saudara Suriah. Dengan kekuatan udara yang superior, Rusia melancarkan kampanye pemboman intensif terhadap posisi-posisi pemberontak.
Serangan udara ini dikombinasikan dengan kehadiran pasukan khusus Rusia di lapangan, yang memberikan pelatihan dan dukungan taktis kepada pasukan Assad. Selain itu, Rusia juga memberikan perlindungan diplomatik di Dewan Keamanan PBB, berkali-kali menggunakan hak vetonya untuk memblokir resolusi yang merugikan Assad.
Iran, sekutu tradisional Suriah sejak era Hafez Al-Assad, memberikan dukungan yang tidak kalah pentingnya. Tehran mengirimkan penasihat militer, pasukan elit Garda Revolusi, dan bantuan finansial yang substansial. Melalui jaringan proksinya, Iran juga memfasilitasi pengiriman ribuan pejuang dari berbagai negara untuk bertempur membela rezim Assad. Dukungan Iran tidak hanya bermotif solidaritas politik, tetapi juga strategis, karena Suriah menjadi jembatan penting dalam "Axis of Resistance" yang menghubungkan Iran dengan Hizbullah di Lebanon.
Hizbullah, kelompok militan Lebanon yang didukung Iran, menerjunkan ribuan pejuang berpengalamannya ke Suriah. Keterlibatan Hizbullah sangat signifikan dalam beberapa pertempuran kunci, termasuk perebutan kembali kota strategis Al-Qusayr pada 2013 dan pengamanan wilayah perbatasan Suriah-Lebanon. Pengalaman tempur Hizbullah dalam perang gerilya urban terbukti sangat berharga bagi pasukan Assad.
Dukungan internasional ini memungkinkan Assad untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di wilayah-wilayah yang dikuasai pemerintah dan secara bertahap merebut kembali teritorial yang hilang. Pada akhir 2017, dengan bantuan sekutu-sekutunya, rezim Assad telah menguasai kembali sebagian besar wilayah urban utama Suriah, termasuk Aleppo, Homs, dan pinggiran Damaskus. Pemberontak terpaksa mundur ke kantong-kantong terisolasi, terutama di provinsi Idlib.
Namun, fondasi dukungan internasional ini ternyata rapuh dan bergantung pada faktor-faktor di luar kendali Assad. Ketika Rusia terseret dalam perang Ukraina pada 2022, kemampuannya untuk mendukung Assad menurun drastis. Iran juga menghadapi tekanan berat akibat konfliknya dengan Israel selama Perang Hamas-Israel 2024. Penarikan mundur pasukan Hizbullah dari Suriah pada Oktober 2024, ketika kelompok tersebut harus mempertahankan wilayahnya sendiri di Lebanon, menjadi pukulan terakhir yang menentukan nasib rezim Assad.
Kolapsnya sistem dukungan internasional ini mengungkapkan kelemahan fundamental rezim Assad yang sebenarnya. Tanpa bantuan sekutu-sekutunya, rezim yang tampak kuat ternyata tidak mampu mempertahankan diri dari serangan pemberontak yang terorganisir. Kejatuhan cepat Assad setelah hilangnya dukungan internasional menunjukkan bahwa kekuasaannya selama ini lebih bergantung pada bantuan asing daripada legitimasi domestik atau kekuatan militer sendiri.
Advertisement
Kejatuhan Rezim
Kejatuhan rezim Bashar Al-Assad pada Desember 2024 mengejutkan dunia dengan kecepatannya. Setelah bertahan lebih dari satu dekade menghadapi pemberontakan dan perang saudara, rezim yang tampak tak tergoyahkan ini akhirnya runtuh hanya dalam waktu 10 hari. Peristiwa ini menandai akhir dari era kepemimpinan keluarga Assad yang telah berlangsung lebih dari lima dekade di Suriah, sekaligus mengubah peta geopolitik Timur Tengah secara dramatis.
Akar kejatuhan Assad dapat ditelusuri dari melemahnya dukungan internasional yang selama ini menjadi tulang punggung kekuasaannya. Rusia, sekutu utama Assad, menghadapi kesulitan serius dalam perang Ukraina yang telah berlangsung sejak 2022.
Keterlibatan mendalam Moskow di Ukraina secara signifikan mengurangi kemampuannya untuk memberikan dukungan militer dan logistik kepada rezim Suriah. Pasukan dan peralatan militer Rusia yang sebelumnya ditempatkan di Suriah sebagian besar telah ditarik untuk memperkuat front Ukraina.
Iran, pendukung setia lainnya, juga menghadapi tantangan besar akibat keterlibatannya dalam konflik Israel-Hamas yang dimulai pada Oktober 2023. Tekanan internasional dan serangan Israel terhadap aset-aset Iran di Suriah memaksa Tehran untuk mengurangi kehadirannya di negara tersebut. Pukulan terberat datang ketika Hizbullah, yang selama ini menjadi kekuatan tempur andalan rezim Assad, terpaksa menarik pasukannya dari Suriah pada Oktober 2024 untuk mempertahankan wilayahnya sendiri di Lebanon dari serangan Israel.
Momentum perubahan terjadi pada 27 November 2024, ketika kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS) melancarkan offensive besar-besaran dari basis mereka di Idlib. Serangan ini dilancarkan tepat pada saat rezim Assad berada dalam posisi terlemahnya, kehilangan dukungan dari sekutu-sekutu utamanya. Dalam waktu singkat, pasukan HTS berhasil merebut kota Aleppo, yang pernah menjadi pusat ekonomi Suriah, dan segera setelahnya menguasai kota strategis Hama.
Kecepatan dan efektivitas serangan pemberontak mengungkapkan kelemahan fundamental pasukan Assad yang selama ini tersembunyi di balik dukungan sekutu-sekutunya. Moral pasukan pemerintah yang rendah, kelelahan setelah 13 tahun perang, dan hilangnya dukungan udara Rusia membuat mereka tidak mampu memberikan perlawanan berarti. Dalam waktu hanya 10 hari, pasukan pemberontak berhasil mengisolasi dan memasuki Damaskus.
Pada 8 Desember 2024, Damaskus dinyatakan "dibebaskan" oleh pasukan oposisi, sementara Assad dilaporkan telah melarikan diri ke Rusia. Kerumunan warga memenuhi jalanan ibu kota, merayakan kejatuhan rezim dengan nyanyian dan doa. Tembakan perayaan terdengar dari pasukan oposisi yang merayakan kemenangan mereka, menandai akhir dari era kegelapan dalam sejarah Suriah.
Kejatuhan rezim Assad memberikan pelajaran penting tentang rapuhnya kekuasaan yang bergantung pada dukungan asing dan represi domestik. Meski berhasil bertahan selama lebih dari dua dekade, fondasi kekuasaan Assad ternyata tidak cukup kuat untuk bertahan ketika dukungan internasionalnya hilang. Kejatuhannya yang cepat juga menunjukkan bahwa legitimasi politik yang dibangun melalui kekerasan dan penindasan pada akhirnya tidak dapat menggantikan dukungan rakyat yang sejati.
Suriah kini memasuki babak baru dalam sejarahnya, menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali negara yang hancur akibat perang saudara berkepanjangan. Warisan kepemimpinan Assad - setengah juta nyawa melayang, jutaan pengungsi, dan kehancuran infrastruktur masif - akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dipulihkan. Namun, kejatuhan rezimnya membuka peluang bagi Suriah untuk membangun masa depan yang lebih demokratis dan inklusif.
Warisan dan Dampak
Kepemimpinan Bashar Al-Assad meninggalkan jejak yang mendalam tidak hanya bagi Suriah tetapi juga bagi seluruh kawasan Timur Tengah. Setelah berkuasa selama 24 tahun, warisannya mencakup kehancuran fisik yang masif, trauma sosial yang mendalam, dan perubahan fundamental dalam dinamika geopolitik regional. Dampak dari keputusan-keputusan politiknya akan terus terasa selama bertahun-tahun bahkan dekade mendatang.
Suriah yang ditinggalkan Assad adalah negara yang hancur secara fisik dan terpecah secara sosial. Lebih dari 500.000 warga Suriah tewas selama konflik, dan sekitar 12 juta lainnya terpaksa mengungsi dari rumah mereka, menciptakan salah satu krisis pengungsi terbesar sejak Perang Dunia II. Kota-kota bersejarah seperti Aleppo, Homs, dan bagian-bagian Damaskus mengalami kehancuran masif. Infrastruktur vital seperti rumah sakit, sekolah, dan fasilitas publik lainnya rata dengan tanah akibat pemboman yang tak henti-henti.
Secara ekonomi, warisan Assad adalah kehancuran total sistem yang pernah berfungsi. Mata uang Suriah kehilangan lebih dari 90% nilainya, industri hancur, dan sebagian besar tenaga kerja terampil telah meninggalkan negara. Kebijakan ekonominya yang menguntungkan segelintir elit dan mengabaikan kesejahteraan rakyat banyak telah menciptakan kesenjangan sosial yang ekstrem. Program rekonstruksi yang dicanangkan di akhir masa kekuasaannya, seperti Undang-Undang No. 10, justru semakin memperburuk ketidakadilan dengan merampas hak properti para pengungsi.
Di bidang sosial-politik, Assad mewariskan masyarakat yang terpecah belah secara mendalam. Konflik yang awalnya bermotif politik berubah menjadi pertikaian sektarian yang membelah masyarakat Suriah berdasarkan garis etnis dan agama. Kelompok minoritas Alawite, yang selama ini menjadi basis dukungan rezim Assad, kini menghadapi masa depan yang tidak pasti. Sementara itu, ketegangan antara berbagai kelompok etnis dan agama lainnya masih menyimpan potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa meledak kembali.
Dalam konteks regional, kejatuhan Assad mengubah peta geopolitik Timur Tengah secara signifikan. Aliansi strategis antara Suriah, Iran, dan Hizbullah yang dikenal sebagai "Axis of Resistance" mengalami pukulan berat. Pengaruh Iran di kawasan Levant berkurang drastis, sementara Rusia kehilangan basis militernya yang vital di Mediterania. Perubahan ini membuka peluang bagi rekonfigurasi aliansi regional dan kemungkinan pendekatan baru dalam menangani berbagai konflik di kawasan.
Dampak kemanusiaan dari kepemimpinan Assad juga akan terasa dalam jangka panjang. Generasi muda Suriah tumbuh dalam bayangan perang, dengan akses terbatas pada pendidikan dan trauma psikologis yang mendalam. Jutaan pengungsi Suriah yang tersebar di berbagai negara menghadapi masa depan yang tidak pasti, sementara negara-negara penerima pengungsi harus mengatasi tantangan integrasi sosial dan ekonomi dalam skala besar.
Meski Assad telah jatuh, tantangan membangun kembali Suriah sangatlah besar. Proses rekonsiliasi nasional, pembangunan kembali infrastruktur, pemulihan ekonomi, dan penyembuhan luka sosial akan membutuhkan upaya besar dari seluruh elemen masyarakat Suriah dan dukungan komunitas internasional. Yang lebih penting lagi, Suriah harus menemukan cara untuk membangun sistem politik yang lebih inklusif dan demokratis untuk mencegah terulangnya kekerasan massal di masa depan.
Warisan Assad akan menjadi pengingat penting tentang bagaimana kekuasaan otoriter dan penggunaan kekerasan sistematis terhadap rakyat sendiri pada akhirnya akan membawa kehancuran bagi sebuah negara. Kisahnya menjadi pelajaran berharga bagi pemimpin-pemimpin di kawasan dan dunia tentang pentingnya mendengarkan aspirasi rakyat dan menghindari penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik politik.
Bashar Al-Assad akan dikenang dalam sejarah sebagai pemimpin yang mengkhianati harapan reformasi dan membawa kehancuran bagi negaranya sendiri. Dari seorang dokter mata yang menjanjikan pembaruan, ia berubah menjadi diktator yang menggunakan kekerasan brutal untuk mempertahankan kekuasaan, hingga akhirnya tumbang di tangan rakyatnya sendiri.
Advertisement