Liputan6.com, Jakarta Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang menjadi sorotan publik. Kebijakan ini memicu perdebatan, terutama terkait asal usul usulan dan dampaknya terhadap daya beli masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan siapa pihak pertama yang menggagas aturan tersebut dan apakah kebijakan ini relevan dengan kondisi ekonomi saat ini.
Ketua Umum Rumah Keluarga Bersama (RKB), Wigit Bagoes Prabowo, menyatakan bahwa kebijakan ini adalah produk legislatif era 2019-2024. Hal ini pun menjadi isu yang melibatkan berbagai aktor politik, termasuk partai-partai besar di DPR RI.
Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan, Deddy Yevri Sitorus, membantah bahwa inisiasi kenaikan ini berasal dari partainya. Pernyataan tersebut membuka diskusi lebih lanjut mengenai perjalanan panjang kebijakan ini dari meja legislatif hingga menjadi peraturan resmi.
Advertisement
Awal Mula Pengusulan Kebijakan
Kebijakan PPN 12% pertama kali muncul pada 5 Mei 2021 ketika Presiden Joko Widodo mengirimkan Surat Presiden dengan nomor R-21/Pres/05/2021 ke DPR RI. Surat tersebut menjadi dasar pembahasan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang kemudian dikenal sebagai UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Komisi XI DPR RI segera menindaklanjuti surat tersebut dengan mengadakan rapat pembahasan bersama Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM pada 28 Juni 2021. Agenda utama rapat ini adalah pembentukan Panitia Kerja (Panja) yang bertugas mendalami, membahas, dan menyelaraskan isi RUU.
Langkah awal ini ditandai oleh berbagai diskusi intensif antara pemerintah dan legislatif. Banyak pihak optimis bahwa UU HPP dapat menjadi solusi untuk meningkatkan pendapatan negara, meskipun ada kekhawatiran terkait dampaknya pada masyarakat kecil.
Advertisement
Pembahasan di Komisi XI dan Panja DPR RI
Pada 29 September 2021, hasil pembahasan Panja dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI. Ketua Panja, Dolfie OFP dari Fraksi PDIP, menyebut bahwa delapan fraksi setuju untuk melanjutkan pembahasan ke tahap selanjutnya. Fraksi yang mendukung antara lain PDIP, Gerindra, Golkar, dan NasDem. Namun, Fraksi PKS menyatakan penolakannya dengan alasan kebijakan ini dapat membebani masyarakat.
Keputusan Panja ini menjadi langkah penting dalam perjalanan UU HPP, meskipun mendapat berbagai kritik dari masyarakat. Isu transparansi dan daya beli menjadi sorotan utama dalam diskusi publik kala itu.
Pengesahan UU HPP sebagai Landasan Hukum
Pada 7 Oktober 2021, DPR RI resmi mengesahkan RUU HPP menjadi undang-undang. Keputusan ini disahkan dalam Rapat Paripurna ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022. Proses ini menandai tonggak penting dalam pengaturan perpajakan di Indonesia.
Ketua DPR RI saat itu, Puan Maharani, memimpin jalannya rapat dan memastikan semua prosedur terpenuhi. Meskipun demikian, polemik tetap berlanjut, terutama mengenai implementasi aturan baru ini di tengah pandemi COVID-19.
Advertisement
Respons Publik dan Pemerintah Terkait Kenaikan PPN
Sejak pengesahan UU HPP, kebijakan kenaikan PPN menuai kritik tajam. Banyak masyarakat khawatir kebijakan ini akan menurunkan daya beli, terutama di tengah badai PHK dan inflasi yang meningkat.
Namun, Ketua Umum RKB, Wigit Bagoes Prabowo, menyatakan bahwa Presiden Prabowo telah memastikan PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah. Sementara itu, PDIP melalui Deddy Yevri Sitorus meminta agar kebijakan ini dikaji ulang.
Implikasi Kebijakan dan Harapan ke Depan
Kenaikan PPN 12% diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik. Namun, tantangan utama adalah memastikan kebijakan ini tidak memperburuk kondisi ekonomi masyarakat bawah. Rumah Keluarga Bersama menyoroti pentingnya pengembalian aset negara yang dikorupsi sebagai prioritas pemerintahan saat ini.
Di sisi lain, para pengamat ekonomi mengingatkan bahwa pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang masif agar masyarakat memahami manfaat pajak dan tidak merasa terbebani secara berlebihan.
Advertisement
Apa alasan utama kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%?
Kenaikan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung pembangunan infrastruktur dan layanan publik.
Apakah PPN 12% berlaku untuk semua barang dan jasa?
Tidak, menurut Wigit Bagoes Prabowo, PPN 12% hanya dikenakan pada barang mewah.
Advertisement
Bagaimana respons masyarakat terhadap kebijakan ini?
Banyak pihak khawatir kebijakan ini akan menurunkan daya beli masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit.