Sukses

Beritahu Anak-anak Sinterklas Tidak Nyata, Seorang Pastor Dipaksa Minta Maaf

Sinterklas terinspirasi dari Santo Nicholas, seorang uskup yang dikenal dengan kebaikannya terhadap anak-anak dan orang miskin pada abad ke-4.

Liputan6.com, Jakarta Sosok Santa Claus atau Sinterklas telah lama menjadi ikon yang tak terpisahkan dari perayaan Natal. Dengan janggut putih, pakaian merah yang khas, dan kereta yang penuh hadiah, Sinterklas menjadi simbol kebahagiaan yang dinanti-nanti oleh anak-anak di seluruh dunia. 

Sinterklas terinspirasi dari Santo Nicholas, seorang uskup yang dikenal dengan kebaikannya terhadap anak-anak dan orang miskin pada abad ke-4. Kisah Santo Nicholas kemudian berkembang dari Eropa Utara hingga Amerika menjadi Sinterklas yang kita kenal sekarang. Seiring berjalannya waktu, cerita tentang Sinterklas mengalami berbagai perubahan, menjadikannya bagian penting dari tradisi Natal di berbagai belahan dunia.

Meski demikian, sosok Sinterklas yang kita kenal kini bukanlah bagian dari perayaan kerohanian Natal, dan jauh dari gambaran asli Santo Nicholas. Namun, baru-baru ini, seorang pastor asal Inggris justru menuai kecaman setelah ia mengungkapkan kenyataan tersebut kepada sekelompok anak-anak. Kejadian ini memunculkan kontroversi, mengingat banyaknya anak-anak yang merasa terganggu dengan pengungkapan itu. Berikut ini adalah kisah lengkapnya, yang dihimpun dari laman odditycentral.com oleh Liputan6.com, Kamis (26/12/2024).

2 dari 3 halaman

Dipaksa Minta Maaf

Rev Dr Paul Chamberlain, seorang pastor asal Inggris, baru-baru ini dipaksa meminta maaf setelah memberikan pengungkapan yang mengejutkan bagi sekelompok anak-anak kelas Enam. Dalam sebuah pertemuan yang seharusnya membahas kelahiran Yesus, Chamberlain malah memberitahukan para siswa bahwa Sinterklas tidak ada dan bahwa orang tua merekalah yang menaruh hadiah di bawah pohon Natal serta memakan kue yang ditinggalkan untuk Santa.

Peristiwa ini terjadi pekan lalu di Lee-on-the-Solent Junior School, Hampshire, Inggris. Chamberlain diundang untuk berbicara tentang kisah kelahiran Yesus di depan siswa kelas Enam yang berusia antara 10 hingga 11 tahun. Namun, tanpa diduga, pembicaraannya beralih ke topik eksistensi Sinterklas, sebuah topik yang ternyata belum siap diterima oleh banyak anak-anak tersebut.

Chamberlain dengan santai mengatakan, "Kalian semua sudah kelas Enam, sekarang mari kita jujur, Santa tidak nyata." Banyak anak yang terkejut dengan pengungkapan ini, bahkan beberapa di antaranya menangis. Setelah pelajaran, mereka menceritakan pengalaman ini kepada orangtua mereka sebagai sebuah kejadian yang mengecewakan.

3 dari 3 halaman

Tuai Kecaman

Tindakannya memicu kemarahan di kalangan orangtua, yang merasa bahwa pernyataan tersebut merusak semangat Natal anak-anak mereka. Beberapa orangtua menyebutkan apa yang dilakukan Chamberlain sebagai "salah" dan "menjijikkan", sementara yang lain berusaha "menambah banyak keajaiban" di musim liburan agar anak-anak mereka bisa melupakan pengalaman traumatis tersebut.

Pihak Gereja kemudian mengakui bahwa pengungkapan itu adalah kesalahan penilaian dan telah meminta maaf secara terbuka kepada sekolah, orangtua, dan anak-anak yang terlibat. Kepala sekolah juga mengirimkan surat kepada semua orangtua untuk menjelaskan kejadian tersebut.

Ironisnya, bagi seorang pria beragama, membahas eksistensi Sinterklas dengan anak-anak bisa dianggap sedikit bertentangan, mengingat ketidakpastian yang sama bisa ditemukan dalam keyakinan mereka terhadap hal-hal yang tidak terlihat.