Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan dengan menghapus ketentuan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Keputusan ini menyatakan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, yang selama ini menjadi dasar hukum pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Putusan ini diharapkan membawa perubahan besar dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden.
Langkah ini dilakukan setelah MK mencermati sejumlah gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden. Gugatan tersebut diajukan oleh berbagai pihak, termasuk mahasiswa, dosen, dan organisasi masyarakat sipil yang menilai bahwa ketentuan ini menghambat hak politik rakyat. Menurut MK, ambang batas tersebut berpotensi membatasi pilihan pemilih serta menciptakan polarisasi di masyarakat.
Baca Juga
Sidang pengucapan putusan digelar pada Kamis (2/1/2025) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa penghapusan presidential threshold bertujuan untuk menjamin hak politik rakyat serta memperluas partisipasi publik dalam demokrasi.
Advertisement
Latar Belakang Gugatan Presidential Threshold
Pasal 222 UU Pemilu telah lama menjadi polemik di kalangan akademisi, politisi, dan masyarakat umum. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional. Persyaratan ini dianggap tidak adil karena membatasi partisipasi partai kecil dalam pencalonan.
Sejumlah pihak telah mengajukan gugatan terhadap pasal ini sejak 2017. Gugatan terakhir diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Mereka menyatakan bahwa aturan ini melanggar prinsip "one man one vote one value" karena suara rakyat tidak sepenuhnya terwakili dalam sistem ini. Selain itu, pengaturan ini dinilai menciptakan dominasi partai besar dalam sistem demokrasi Indonesia.
Pada Februari 2024, MK mencatat bahwa pasal ini telah diuji sebanyak 27 kali. Sebagian besar gugatan ditolak, namun perubahan pandangan MK pada perkara ini menunjukkan adanya evaluasi mendalam terhadap implikasi pasal tersebut.
Advertisement
Alasan MK Menghapus Presidential Threshold
MK memutuskan bahwa presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945. Menurut MK, aturan ini membatasi kedaulatan rakyat dan merugikan hak politik warga negara untuk mendapatkan pilihan pasangan calon presiden yang beragam.
Dalam sidang pembacaan putusan, hakim konstitusi Saldi Isra menegaskan bahwa ambang batas minimal menciptakan polarisasi dan potensi calon tunggal dalam pemilu. Mahkamah juga melihat adanya risiko pengurangan partisipasi politik masyarakat akibat terbatasnya jumlah calon.
"Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra dikutip dari mkri.id pada Jumat (3/1/2025).
Penghapusan ini juga dilandasi oleh fakta bahwa sistem ini menciptakan ketidakseimbangan dalam demokrasi Indonesia. Kondisi ini juga berpotensi mengancam kebhinekaan dan integritas bangsa.
Dampak Keputusan MK terhadap Sistem Pemilu
Dengan penghapusan presidential threshold, partai politik peserta pemilu memiliki kebebasan untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden tanpa batasan persentase. Hal ini berpotensi meningkatkan jumlah kandidat dalam pemilu mendatang.
Namun, Mahkamah mengingatkan bahwa terlalu banyak calon juga dapat membawa tantangan baru. Dalam pertimbangannya, MK menyarankan pembuat undang-undang untuk mengatur mekanisme pencalonan yang tetap menjaga kualitas demokrasi.
Advertisement
Respons Publik dan Pakar terhadap Putusan MK
Putusan MK ini menuai beragam respons dari berbagai kalangan. Akademisi dan organisasi masyarakat sipil menyambut baik keputusan ini sebagai langkah maju bagi demokrasi Indonesia. Mereka menilai bahwa keputusan ini dapat mengurangi dominasi partai besar dalam sistem politik.
Namun, sejumlah pihak mengkhawatirkan potensi fragmentasi politik akibat banyaknya calon yang diajukan. Beberapa pengamat juga menyarankan perlunya pendidikan politik bagi masyarakat agar dapat memilih calon terbaik secara rasional.
Rekomendasi MK untuk Pengaturan Pemilu Selanjutnya
MK memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang untuk menyusun rekayasa konstitusional yang memastikan keseimbangan antara jumlah calon dan kualitas demokrasi. Beberapa rekomendasi yang diajukan MK meliputi:
- Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan calon tanpa batasan persentase.
- Pengusulan calon tidak boleh menciptakan dominasi partai tertentu.
- Partai politik yang tidak mengusulkan calon diberi sanksi larangan mengikuti pemilu berikutnya.
Langkah ini diharapkan dapat menciptakan sistem pemilu yang adil dan mencerminkan kedaulatan rakyat secara utuh.
Advertisement
Q: Apa itu presidential threshold?
A: Presidential threshold adalah ambang batas minimal yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Q: Mengapa MK menghapus presidential threshold?
A: MK menghapus presidential threshold karena dinilai bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, membatasi hak politik rakyat, dan menciptakan polarisasi politik.
Advertisement
Q: Apa dampak penghapusan presidential threshold?
A: Penghapusan ini memungkinkan lebih banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden, namun perlu diimbangi dengan pengaturan untuk menjaga kualitas demokrasi.