Liputan6.com, Jakarta - Suhu politik jelang pemilu semakin panas. Saling sindir dilontarkan oleh para elite politik di negeri ini. Yang terbaru, Prabowo Subianto menyebut saat ini banyak pemimpin yang suka berbohong dan tidak menepati janji.
“Yang menonjol justru sikap-sikap pasang kaki di mana-mana. Sikap bohong. Sikap tidak menepati janji,” kata Prabowo di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Sabtu (22/3/2014).
Menurut Prabowo, pemutarbalikan fakta saat ini seolah sudah lumrah. Yang salah dianggap benar, yang benar dianggap salah. “Inilah mungkin yang disebut zaman edan,” ujar dia.
Advertisement
“Katanya politik Indonesia santun. Benar. Tapi kalau ada pembohong, kita harus bilang, ‘Hei, kau bohong!’” ujar Prabowo. Calon Presiden yang dielus-elus Gerindra ini meminta masyarakat melawan pemimpin yang suka bohong.
Entah untuk siapa pernyataan Prabowo itu ditujukan. Saat dikonfirmasi, mantan Danjen Kopassus yang juga Ketua Dewan Pembina Gerindra ini tak mau menjelaskan siapa pemimpin yang dia maksud suka bohong itu.
“Kamu kayak nggak tahu saja. Hahaha. Mau mancing-mancing saja lu,” kata Prabowo.
Tak hanya kali ini saja Prabowo menyebut soal kejujuran para pemimpin. Saat ditanya sosok calon wakil yang akan mendampingi dalam Pilpres 2014, Prabowo juga menguraikan pentingnya kejujuran.
Sindir Jokowi?
Entah sekadar kebetulan atau tidak, sebelumnya topik serupa pernah disebut oleh Jokowi. Calon presiden PDIP bernama lengkap Joko Widodo meminta para pengkritiknya untuk menyampaikan pendapat secara santun, tidak dengan cara menyerang.
“Lebih baik itu disampaikan secara santun. Sesuai budaya kita, tidak dengan serang menyerang,” ujar Jokowi Senin lalu.
Hubungan Gerindra dan PDIP memang tengah tegang. Politisi Gerindra bahkan secara terbuka menyebut Jokowi ‘boneka’. Pemicunya tegangnya hubungan Gerindra dengan PDIP ini adalah pencalonan Jokowi sebagai capres. Gerindra merasa ‘dikhianati’ dengan pencapresan Gubernur DKI Jakarta itu.
Antara Gerindra dan PDIP disebut-sebut telah membuat perjanjian menjelang Pilpres 2009, sebelum pendaftaran pasangan Mega-Prabowo sebagai calon presiden dan wakil presiden. Kesepakatan itu dikenal dengan Perjanjian Batu Tulis. Salah satu butirnya menyebut Megawati mendukung Prabowo sebagai capres dalam Pemilu 2014.
Beberapa waktu lalu, sebuah dokumen yang disebut-sebut sebagai Perjanjian Batu Tulis beredar. Setelah itu foto Megawati dan Prabowo juga beredar. Foto itu disebut-sebut diambil saat keduanya menandatangani Perjanjian Batu Tulis.
Politisi senior PDIP Sabam Sirait mencurigai Gerindra sebagai penyebar dokumen perjanjian itu. Dia menyebut manuver itu sebagai bentuk penentangan Gerindra atas pencapresan Jokowi.
“Begini, dia baru keluarkan (beberkan Perjanjian Batu Tulis) setelah Jokowi jadi capres. Makanya nggak percaya diri. Dia kan menolak Jokowi, bukan hanya dia,” tutur Sabam.
Bagaimana Jokowi? Mantan Walikota Solo ini tak mau larut dalam polemik Perjanjian Batu Tulis. Bagi dia, masalah ini menjadi urusan urusan petinggi PDIP.
“Batu tulis kok sampai ke saya. Saya ya batu tulis ya ditulis. Saya itu masih jadi walikota waktu itu, nggak tahu menahu. Itu urusan partai. Urusan DPP. Jangan tanya ke saya,” kata Jokowi.
Sementara, meski tak mengungkapkan secara jelas, Prabowo tampak kecewa dengan pencapresan Jokowi ini. "Kalau anda di pihak saya, kira-kira dan kalau Anda di pihak saya, anda kecewa nggak? Gimana rasanya?" tanya Prabowo.
Sudah Usang
Gerindra boleh saja tetap ngotot perjanjian itu benar adanya. Namun bagi PDIP, perjanjian itu sudah tidak berlaku secara moral etika. Perjanjian itu tetap berlaku apabila Megawati dan Prabowo memenangkan Pemilu 2009 dan terpilih menjadi presiden.
“Itu berlaku kalau Ibu Mega menjadi Presiden. Jadi secara moral etika perjanjian itu batal,” ujar politisi senior PDIP Sidharto Danusubroto.
Pendapat serupa juga dikeluarkan politisi PDIP lainnya, Eva Kusuma Sundari. Menurut dia, perjanjian itu berlaku jika Mega-Prabowo terpilih dalam Pilpres 2009. Namun karena gagal, berarti PDIP tidak melanggar perjanjian itu.
“Tapi, masa tiba-tiba sekarang poin nomor 7 ditagih. Kita semua tahu, perjanjian hanya berlaku ketika keduanya berhasil memenangi Pilpres 2009. Jadi, ketika fakta itu tidak terjadi, dengan sendirinya perjanjian gugur dan tidak berlaku,” ujar Eva.
Eva menegaskan, penilaian terhadap isi perjanjian itu harus kontekstual. Apalagi terkait perjanjian politik yang setiap detiknya dapat berganti karena perkembangan dan juga kepentingan yang dinamis.
“PDIP dan Gerindra juga tidak berkoalisi meski sama-sama oposisi selama 2009-2014. PDIP serius bekerja dengan kekuatan sendiri. Ibaratnya bercocok tanam selama 10 tahun, masa tinggal panen raya lalu diserahkan pada pesaing yang lebih kecil. Sebaiknya sekarang siapkan diri untuk bertarung di Pileg dan Pilpres saja,” ujarnya.
Wakil Ketua DPR yang juga mantan Sekjen PDIP Pramono Anung mengatakan, partainya tidak terlalu memikirkan beredarnya dokumen Perjanjian Batu Tulis. PDIP saat ini hanya fokus memenangkan Pemilu Legislatif (Pileg). “Kami melihat ke depan, Pileg dan Pilpres sebentar lagi,” kata Pramono.
Baca juga: