Liputan6.com, Jakarta - Semua mungkin sepakat kalau dikatakan menjadi presiden itu bukan pekerjaan mudah. Apalagi kalau dengan beban berat sebagai pemimpin negara terselip jabatan lain sebagai ketua umum partai politik. Dampaknya jelas, akan ada benturan kepentingan pada berbagai kesempatan saat seorang presiden menjalankan tugasnya dengan seorang pemimpin parpol melakukan perannya pada saat hampir bersamaan.
Apalagi jika sudah dihubungkan dengan penggunaan fasilitas negara, banyak pertanyaan bisa terlontar. Khususnya ketika kampanye menjelang pemilihan umum sedang digelar yang mau tak mau menuntut pimpinan parpol turun ke lapangan.
Misalnya, apakah ketika sedang berkampanye seorang presiden yang juga pimpinan parpol boleh dikawal Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) atau dia harus menyewa pengawal pribadi? Begitu juga dengan sarana transportasi, apakah sang presiden boleh menggunakan pesawat kepresidenan atau menyewa pesawat lain? Kalau semua fasilitas itu harus disewa, apakah boleh dengan uang negara?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang hari-hari terakhir ini agaknya memenuhi pikiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kebetulan, selain sebagai Presiden RI terpilih, dia juga Ketua Umum Partai Demokrat. Maka, dalam masa kampanye seperti sekarang, SBY mau tak mau harus ikut terjun untuk mendulang suara bagi partainya.
Konsekuensi benturan kepentingan dari rangkap jabatan itulah yang kemudian dilaporkan oleh LSM Lingkar Madani (Lima) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). SBY selalu Presiden menurut Lima telah memanfaatkan fasilitas negara untuk kampanye parpol. Khususnya, saat Partai Demokrat berkampanye di Lampung pada Rabu 26 Maret 2014 dan SBY hadir di sana.
Direktur Eksekutif Lima, Ray Rangkuti mengatakan dalam perjalanan menuju Lampung SBY menyewa pesawat komersial Garuda Indonesia menggunakan uang negara untuk kepentingan kampanye Partai Demokrat.
Â
"Dalam perjalanan ke Lampung, Presiden memang tidak menggunakan pesawat kepresidenan, sehingga tidak dapat dinyatakan menggunakan fasilitas negara. Tetapi, menggunakan fasilitas umum yang disewa dengan uang negara," kata Ray di Gedung Bawaslu, Jakarta, Jumat (28/3/2014).
Pelanggaran itu menurut Lima makin kentara karena saat kunjungan ke Lampung, tidak ada agenda kepresidenan yang dilakukan SBY. Hal itu dibuktikan dengan pengajuan cuti oleh SBY untuk hari kedatangan dia di Lampung.
Lima bukanlah pihak yang pertama kali mempertanyakan kampanye SBY ke Lampung. Sejumlah tokoh parpol dan anggota DPR juga mengkritisi hal ini. Namun, baru Lima yang melaporkan ke Bawaslu dan menjadikan perjalanan SBY ke Lampung sebagai hal yang serius.
Namun, aduan itu dibantah keras pemerintah. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menyatakan SBY tidak menggunakan anggaran negara untuk kepentingan kampanye atau yang tidak dibenarkan oleh undang-undang dan peraturan.
"Mengenai biaya pesawat dan akomodasi telah sesuai dengan aturan yang berlaku. Kalau itu harus menggunakan dana kampanye partai, sepenuhnya dana itu yang digunakan. Tidak ada satu rupiah pun anggaran negara yang digunakan untuk kampanye," ujar Sudi dalam keterangan pers di Hotel JW Marriott, Medan, Sumatera Utara, Jumat.
Bahkan, untuk memastikan tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan anggaran negara, seusai masa kampanye SBY akan mengundang BPK mengaudit dana kampanye atau dana yang digunakan selama kampanye pemilu agar tidak terjadi kesalahan.
"Pelaksanaan kampanye capres dan cawapres tahun 2004 dan 2009 dijadikan rujukan. Presiden mematuhi aturan-aturan tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan. Itu semua sudah teraudit," tegas Sudi.
Penegasan juga datang dari Bawaslu. Muhammad selaku Ketua Bawaslu mengatakan, jika berdasarkan peraturan yang ada, penggunaan pesawat oleh SBY merupakan hak protokoler seorang presiden. Karena itu, hal tersebut tidak masuk kategori pelanggaran.
"Itu kan hak protokoler dia (SBY) untuk menggunakan pesawat itu. Jadi nggak melanggar," jelas Muhammad di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Kamis 27 Maret 2014.
Menurut Muhammad, berdasarkan peraturan tentang pejabat negara, ada 2 hal yang melekat pada seorang presiden, yaitu hak protokoler dan keamanan. Hak itu melekat dalam kondisi apa pun, termasuk ketika sedang tidak bekerja.
"Jadi tidak ada pelanggaran sepanjang ada izin. Intinya memang sudah disampaikan KPU dan Bawaslu. Di undang-undang ada itu, jadi kita tidak bisa menjeratnya," jelasnya.
Ia melanjutkan, hak protokoler menggunakan pesawat itu hanya dimiliki pejabat negara setingkat presiden. Untuk pejabat setingkat menteri, jika melakukannya akan melanggar administrasi pemilu dan harus menggunakan fasilitas pribadi.
"Kalau menteri tidak bisa menggunakan. Jadi ada hak khusus untuk presiden dalam undang-undangnya, kita sudah baca. Kalau di bawah presiden sudah tidak bisa lagi menggunakan itu. Jadi dia harus menggunakan fasilitas pribadi," pungkas Muhammad.
Pendapat Muhammad diamini Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam. Menurutnya, kegiatan SBY dari satu tempat ke tempat lain menggunakan pesawat kepresidenan bukan kegiatan kampanye, tapi masih terkait dengan statusnya yang melekat sebagai Presiden RI.
Menurut Dipo, yang disebut kampanye itu bila sudah ada atribut, ada ajakan-ajakan, ada gambar-gambar, simbol atau seragam partai. Sementara pergerakan SBY dengan pesawat belum termasuk rangkaian kampanye, karena tidak ada satu pun atribut partai di pesawat yang membawa SBY.
Â
"Pergerakan dengan pesawat ke manapun (baik masa bukan kampanye maupun selama kampanye) adalah dalam kapasitas SBY selaku Presiden. Karena itu, semua yang melekat dengan fungsi beliau ada di situ," jelas Dipo di Medan, Sumatera Utara, Jumat.
Namun, pendapat Muhammad dipatahkan koleganya. Pimpinan Bawaslu Nelson Simanjuntak mengatakan di luar urusan negara, presiden hanya mendapat perlakuan istimewa khusus untuk pengamanan. "Dia hanya menerima perlakuan negara untuk pengamanan presiden, martabatnya sebagai kepala negara," ujarnya.
Karena itu, Bawaslu menurut Nelson akan memanggil Partai Demokrat untuk melakukan klarifikasi dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan Ketua Umum Partai Demokrat itu. "Kami tidak akan memanggil itu (presiden), yang harus kita tanya adalah Partai Demokrat dan Sekretariat Negara," katanya.
Kesimpulan itu dikuatkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ferry Kurnia Rizkiyansyah. Menurutnya, dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 juncto Nomor 15 tahun 2013, di antaranya menyebutkan pejabat negara tidak boleh menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye, kecuali kepala negara atau presiden.
"Ya di PKPU-nya disebutkannya begitu, presiden menggunakan fasilitas negara khusus untuk tim pengamanannya saja, bukan uang negara ya," tegas Ferry.
Ketentuan itu sejalan dengan UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 85 ayat (1) UU ini menyatakan kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota tidak boleh menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara.
Larangan tersebut dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 2009 tentang Tata Cara bagi Pejabat Negara dalam Melaksanakan Kampanye Pemilihan Umum.
Pasal 21 ayat (1) PP ini menegaskan bahwa dalam melaksanakan kampanye pemilu, pejabat negara dilarang menggunakan fasilitas negara yang antara lain berupa sarana mobilitas seperti kendaraan dinas yang meliputi kendaraan dinas pejabat negara dan kendaraan dinas pegawai, serta alat transportasi dinas lainnya.
Dilihat dari regulasi yang mengatur, sebenarnya sudah sangat terang tentang pengaturan kampanye bagi pejabat negara hingga setingkat presiden atau wakil presiden yang juga menjadi pengurus parpol. Namun, menerapkan regulasi di lapangan tidak semudah membaca undang-undang.
Lihat saja, meski sudah ada peraturan tertulis, tetap saja muncul dugaan bahwa Presiden SBY memanfaatkan fasilitas negara yang tidak patut digunakannya ketika beralih tugas sebagai pimpinan parpol. Dan ekses ini akan sulit dihindari pada pemilu-pemilu mendatang karena aturan yang ada hanya membatasi, bukan melarang.
Seperti disebutkan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, munculnya dugaan penyalahgunaan wewenang itu lantaran presiden masih aktif berkegiatan di partai politiknya. "Itu akibat presiden aktif di parpol, apalagi dia ketua umum," ujar Busyro menanggapi tudingan terhadap SBY.
Di mata Busyro, tentu tidak etis jika seorang presiden masih menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye partainya. "Menjadi tidak etis dan seperti sulit membedakan mana fasilitas negara dengan yang bukan," katanya di Jakarta, Jumat.
Kondisi ini tentu tidak bisa membuat para pejabat menjadi pihak yang bersalah, karena aturan memang membolehkan mereka untuk berkampanye dengan sejumlah pembatasan. Namun, perlu dipikirkan bagaimana caranya agar masalah serupa tak lagi muncul pada kampanye pemilu di masa mendatang.
Solusinya bukan hal yang terbilang baru. Sejak lama banyak sudah banyak pengamat yang menyarankan agar pejabat negara, mulai dari presiden hingga jajaran menteri sampai pejabat di daerah dilarang untuk rangkap jabatan di partai politik.
Sebagai pejabat negara yang telah disumpah untuk berbuat bagi bangsa dan negara, energi dan fokus pejabat dimaksud mestinya tak terbagi. Ketika dia digaji oleh negara, maka seluruh energinya haruslah untuk semua, bukan untuk segelintir simpatisan parpol.
Langkah ini juga tidak tergolong baru. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah merintisnya. Partai ini punya komitmen, presiden partai harus melepaskan jabatannya ketika dia menjadi pejabat publik. Begitu juga sebaliknya, jabatan publik harus dilepaskan ketika partai membutuhkan.
Semuanya terpulang pada regulator di DPR untuk mengubah regulasi yang ambigu tersebut. Ini penting agar rakyat tidak menjadi pihak yang diabaikan ketika musim kampanye datang dan para pejabat menghilang memenuhi panggung-panggung kampanye.
Kampanye `Halal` SBY
SBY diduga gunakan fasilitas negara saat berkampanye untuk Partai Demokrat. Tak menyalahi regulasi, tapi rawan jadi sasaran tembak.
Advertisement