Liputan6.com, Banda Aceh - Jaringan Pemilu Aceh (JPA) mencatat selama bulan Maret 2014, terjadi 54 kasus kekerasan pemilu di berbagai daerah di Aceh. Daerah yang menempati peringkat tertinggi terjadi aksi kekerasan terkait politik ini menempatkan Aceh Utara di posisi teratas dengan 26 kasus. Dari 26 kasus, 16 kasus dilakukan oleh OTK, 8 kasus dilakukan pendukung partai lokal dalam bentuk pengrusakan material, serta satu kasus dilakukan caleg partai lokal dan partai nasional.
"Kekerasan secara fisik maupun verbal pun menjadi hal lumrah dalam dinamika pemilu di Aceh tahun 2014 ini, Beberapa partai politik bahkan secara nyata menjadikan media kampanye terbuka sebagai ajang untuk menakuti pemilih," kata Direktur Aceh Institute Chairul Fahmi saat konferensi pers di Media Center KIP Aceh, Banda Aceh, Kamis (3/4/2014).
Pihaknya menemukan tindak kekerasan serta berbagai pelanggaran menjelang Pemilu 2014 di Aceh, paling banyak dilakukan oleh orang tidak dikenal (OTK).
Tim pemantauan JPA yang merupakan gabungan dari sejumlah LSM, yaitu The Aceh Institute, Forum LSM Aceh dan ACSTF, merincikan berdasarkan data yang dikumpulkan dari berbagai media massa, baik lokal maupun nasional, menunjukkan OTK menempati rangking tertinggi sebagai pelaku kekerasan pemilu di Aceh, yang mencapai 32 kasus, selama Maret 2014.
"Selama OTK masih belum terungkap, berarti polisi belum dikategorikan berhasil," kata Direktur Aceh Institute, Chairul Fahmi, dalam konferensi pers, di Media Center KIP Aceh, di Banda Aceh, Kamis (3/4/2014).
Pihaknya mendesak aparat kepolisian segera mengungkapkan aktor di balik terjadinya kekerasan di Aceh menjelang pemilu 2014 ini.
Sebab, menurut dia, pola-pola dan peta kekerasan yang terjadi, dilakukan oleh profesional, terlatih, terencana dan brutal. Kekerasan ini, juga diyakini sangat erat hubungannya dengan perebutan kekuasaan para politisi menuju kursi legislatif 9 April mendatang.
"Karena korban umumnya terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dengan partai politik tertentu," ungkap Chairul Fahmi.
Dia menambahkan, polisi selaku penegak hukum harus mampu membongkar struktur pelaku kekerasan di Aceh sampai ke aktor intelektualnya, tidak hanya terputus pada eksekutor di lapangan.
Apalagi, menurut dia, beberapa kasus terorisme pihak kepolisian mampu mengungkapnya secara menyeluruh. "Maka kita berkeyakinan sama, bahwa tidak menjadi persoalan besar bagi polisi untuk membongkar semua simpul-simpul pelaku kekerasan politik di Aceh, hanya pertanyaannya, sejauh mana political will kepolisian dalam mengungkapkan kasus ini sampai keakar-akarnya," katanya.
Selain mendesak kepolisian untuk mengungkapkan para pelaku, seluruh elemen pemerintahan di Aceh, juga diminta dapat bersifat netral dalam menyelesaikan kasus kekerasan yang selama ini menghantui masyarakat di Aceh.
Selain itu, MPU serta ulama di Aceh juga diminta berperan aktif dalam mengontrol terhadap para peserta pemilu, agar tidak saling menyalahkan. Begitu pula dengan penyelenggara pemilu, baik Komisi Independen Pemilihan (KIP) maupun Badan pengawas pemilu (Bawaslu) tidak saling jalan sendiri dalam melakukan pengawasan.
Baca juga:
Korban Penembakan Mobil Kader Partai Aceh Dirujuk ke RSUD
Penembakan Maut di Aceh, Polisi: Unsur Politis Masih Didalami
4 Korban Penembakan di Bireuen Warga Biasa, Bukan Caleg