Liputan6.com, Jakarta - Masa kampanye pemilu legislatif usai sudah. Spanduk dan poster sudah dicabut, panggung-panggung dan stadion sudah sepi dari kerumunan massa. Tapi, banyak catatan yang tertinggal dari keramaian sejak 16 Maret sampai 5 April 2014. Ada yang positif dan ada pula yang tak berubah dari kampanye-kampanye pemilu sebelumnya.
Misalnya soal politik uang. Meski tidak lagi masif seperti pemilu-pemilu terdahulu, aksi bagi-bagi uang ini masih ada, kendati dibungkus dengan berbagai alasan pembenar. Itu terbukti dari laporan yang diterima kepolisian hingga berakhirnya masa kampanye.
Polri merilis sedikitnya telah menerima 36 laporan kasus dugaan tindak pidana pemilu selama kampanye. Dugaan kasus politik uang merupakan laporan terbanyak yang diterima Polri di seluruh Indonesia.
"Jumlah terbanyak, money politics dengan 12 laporan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar di kantornya, Minggu (6/4/2014). Bahkan, satu di antaranya sudah P21 atau berkas lengkap dan siap disidangkan.
Dari catatan Liputan6,com, sejumlah kampanye memang jelas-jelas menjadikan uang sebagai daya tarik bagi simpatisan. Misalnya caleg dari PDI Perjuangan, TB Bayu Murdani yang juga Wakil Ketua DPRD Kota Tangsel. Dia dipanggil Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Tangerang Selatan, Banten, terkait dugaan politik uang.
Bayu melakukan itu pada kampanye terbuka di Lapangan Cilenggang, Serpong, Kota Tangsel, Kamis 21 Maret lalu. Saat itu, Bayu tertangkap tangan membagikan uang dengan nominal Rp 50-100 ribu kepada simpatisan PDIP.
Namun, Bayu berdalih, pemberian uang itu karena kebanggaannya terhadap para pemuda yang mampu menjawab pertanyaannya mengenai isi Pancasila. "Itu bentuk kebanggaan saya. Padahal kan saat ini banyak anak muda lebih suka menyanyikan lagu masa kini dibandingan Pancasila," ungkapnya.
Hal yang sama juga terjadi pada caleg PDIP lainnya untuk Kota Serang, Banten. Saat kampanye PDIP pada Kamis 20 Maret lalu, Ali Surochman melakukan sawer uang kepada simpatisan PDIP saat kampanye di lapangan eks Terminal Kepandean, Kota Serang.
"Kegiatannya sudah memenuhi unsur. Meski sudah memenuhi unsur, kita masih melengkapi barang bukti," ujar Ketua Divisi Penanganan Pelanggaran Panwaslu Kota Serang, Faridi.
Demikian pula dengan kasus Bayu, Ketua Panwaslu Kota Tangsel, Engelhartia Bhayangkara menegaskan, praktik yang dilakukan caleg PDIP itu sudah termasuk kategori politik uang.
"Akan kami dalami, ini termasuk pelanggaran politik uang. Setelah kami dalami, nantinya kami akan segera memanggil yang bersangkutan beserta tim kampanyenya," tegasnya.
Tak hanya PDIP, dalam kampanye Partai Hanura di Alun-alun Barat, Kota Serang, Rabu 26 Maret 2014, juga terlihat aksi sawer uang kepada pemain atraksi debus selaku pengisi acara. Namun belum dapat dipastikan, apakah aksi itu termasuk dalam palanggaran saat kampanye.
"Sebagai bagian dari pengisi acara, tentu tergantung dari proses kreativitas pada panitia. Pemberian uang kepada pengisi acara merupakan proses pendidikan politik yang tidak baik. Baik pemberian kepada peserta kampanye atau pun pengisi acara," terang Eka Satia Laksmana, Komisioner Bawaslu Provinsi Banten.
Selain politik uang, pelanggaran paling menonjol lainnya adalah pembiaran atas ikut sertanya anak-anak dalam sejumlah kampanye parpol. Lihat saja catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menemukan semua parpol peserta pemilu masih melakukan pelanggaran kampanye dengan melibatkan anak-anak.
Menurut KPAI, Total ada 248 kasus pelanggaran yang melibatkan anak-anak dalam pelaksanaan kampanye di seluruh Indonesia. Yang paling banyak melibatkan anak-anak dalam berkampanye ialah PDIP dengan jumlah 33 pelanggaran.
"Sampai 2 hari sebelum masa kampanye berakhir, kita temukan PDIP paling banyak melakukan pelanggaran dengan melibatkan anak-anak," kata Komisioner KPAI Rita Pranawati di kantor KPAI, Jumat 4 April 2014.
Rita menjelaskan, jenis pelanggaran yang dilakukan parpol peserta pemilu adalah dengan memobilisasi massa anak ke area kampanye. "Ada juga anak yang dipaksa untuk memakai dan memasang atribut-atribut parpol. Selain itu, ada juga anak berusia di bawah 7 tahun berada di arena kampanye," jelasnya.
KPU sendiri sudah bertindak, antara lain terhadap Partai Keadilan Sejahtera. KPU akhirnya memberikan sanksi bagi PKS terkait kampanye rapat umum terbuka yang digelar di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, pada 16 Maret lalu.
Kampanye akbar itu menjadi sorotan banyak pihak dan berbuntut pelanggaran karena menyertakan anak-anak di bawah umur serta mereka yang belum mendapatkan hak pilih.
Berdasarkan rekomendasi dari Bawaslu, PKS dinyatakan KPU terbukti melakukan pelanggaran dengan melibatkan anak-anak di bawah umur saat berkampanye. "Sanksi administrasinya, KPU ambil putusan yaitu peringatan terhadap PKS," tegas Ketua KPU Husni Kamil Manik.
Setelah pemberitaan tentang ikut sertanya anak-anak dalam kampanye marak, sejumlah parpol memang mulai menghindari terjadinya pelanggaran. Misalnya PKS.
Tak mau lagi mendapat peringatan dari KPU, dalam kampanye akbar di Lapangan Purna MTQ Pekanbaru, PKS Riau menyediakan tempat penitipan anak.
Ketua Pelaksana Kampanye PKS Yusriadi mengatakan, partainya tidak mau menyalahi peraturan dari KPU. Apalagi di sejumlah daerah, dalam pelaksanaan kampanyenya PKS mulai menyediakan tempat penitipan anak.
"Makanya disediakan tempat penitipan anak yang tidak jauh dari tempat panggung kampanye," katanya di Pekanbaru.
Demikian pula dengan Partai Gerindra. Pada kampanye nasional yang digelar Partai Gerindra di Stadion Tambaksari, Surabaya, Jawa Timur, kehadiran anak-anak di lokasi kampanye membuat panitia pelaksana khawatir takut disemprot pengawas pemilu.
Maka, pihak panitia pun meminta simpatisan yang membawa serta anaknya untuk membawa mereka keluar dari arena kampanye. "Kita minta simpatisan untuk membawa anak kecil berada di arena lapangan. Silakan keluar," kata panitia dari atas mimbar.
Namun, ada juga yang tidak kapok, sehingga Panwaslu Kota Solo menyemprit tindakan Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum (Bapilu) PDIP Puan Maharani. Hal itu terkait dengan kampanye Puan di Alun-alun Selatan Keraton Surakarta, yang mengajak belasan murid SD untuk naik ke atas panggung.
Ketua Panwaslu Solo, Sri Sumanta mengatakan kegiatan yang dilakukan Puan Maharani dengan melibatkan anak-anak tetap dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Alasannya, anak-anak masuk kategori sebagai warga negara yang belum masuk syarat untuk mencoblos.
"Adanya pelibatan anak-anak itu sebagai bentuk pelanggaran. Ini telah melanggar PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) No.15 Tahun 2013," kata dia di Solo, Jawa Tengah, Sabtu 5 April 2014.
Kabar lainnya yang tak kalah hangat dari panggung kampanye adalah soal penggunaan fasilitas negara oleh pejabat saat berkampanye untuk parpolnya. Adalah LSM Lingkar Madani (Lima) yang melapor ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Susilo Bambang Yudhoyono selalu Presiden menurut Lima telah memanfaatkan fasilitas negara untuk kampanye parpol. Khususnya, saat Partai Demokrat berkampanye di Lampung pada Rabu 26 Maret 2014 dan SBY hadir di sana.
Direktur Eksekutif Lima, Ray Rangkuti mengatakan dalam perjalanan menuju Lampung SBY menyewa pesawat komersial Garuda Indonesia menggunakan uang negara untuk kepentingan kampanye Partai Demokrat.
"Dalam perjalanan ke Lampung, Presiden memang tidak menggunakan pesawat kepresidenan, sehingga tidak dapat dinyatakan menggunakan fasilitas negara. Tetapi, menggunakan fasilitas umum yang disewa dengan uang negara," kata Ray di Gedung Bawaslu, Jakarta, Jumat 28 Maret 2014.
Namun, aduan itu dibantah keras pemerintah. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menyatakan SBY tidak menggunakan anggaran negara untuk kepentingan kampanye atau yang tidak dibenarkan oleh undang-undang dan peraturan.
"Mengenai biaya pesawat dan akomodasi telah sesuai dengan aturan yang berlaku. Kalau itu harus menggunakan dana kampanye partai, sepenuhnya dana itu yang digunakan. Tidak ada satu rupiah pun anggaran negara yang digunakan untuk kampanye," ujar Sudi dalam keterangan pers di Hotel JW Marriott, Medan, Sumatera Utara.
Catatan terakhir yang paling menonjol adalah orasi dalam kampanye yang saling menjatuhkan serta menampilkan citra buruk tokoh atau parpol lain. Pelanggaran jenis ini diakui agak sulit untuk dideteksi karena tidak disampaikan secara terang-terangan, namun dengan perumpamaan, kalimat bersayap dan sindiran.
Yang paling panas tentu saja saling sindir antara kubu Partai Gerindra dan PDIP. Kendati tak menyebut nama partai atau sosok tertentu, kuat dugaan ucapan Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto dan petinggi Gerindra lainnya ditujukan ke PDIP.
Misalnya ucapan Prabowo yang menyebut saat ini banyak pemimpin yang suka berbohong dan tidak menepati janji. "Yang menonjol justru sikap-sikap pasang kaki di mana-mana. Sikap bohong. Sikap tidak menepati janji," kata Prabowo di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Sabtu 22 Maret 2014.
Ucapan ini lantas dihubungkan dengan perjanjian Batutulis yang kerap disebut-sebut Prabowo sebagai perjanjian atas dukungan PDIP untuk dirinya menjadi presiden pada Pilpres 2014 yang kemudian tak ditepati.
Yang paling banyak mendapat serangan tentu saja Partai Demokrat sebagai partai penguasa. Bagaimanapun partai ini mengklaim keberhasilan, sebagian besar parpol tetap mengatakan dalam kampanyenya bahwa pemerintahan Demokrat jauh dari berhasil.
Dan galibnya, di balik semua serangan terhadap Demokrat itu, partai yang tengah berkampanye selalu menjanjikan kondisi yang lebih baik jika partainya yang berkuasa. Klaim-klaim serta serangan terhadap parpol ini pun akan sangat sulit untuk dianggap sebagai pelanggaran karena tidak jelas parameternya.
Di luar itu, pelanggaran yang terjadi umumnya tak banyak dan bukan kasus serius. Dari catatan Polri, kasus lain yang masuk daftar laporan adalah kasus pemalsuan dokumen atau ijazah, kampanye menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan, kasus perusakan alat peraga, kasus kampanye di luar jadwal, dan 16 kasus lainnya.
Dari semua itu, yang paling terlihat berbeda adalah minimnya pelanggaran yang berupa tindak kriminal seperti bentrokan antarkader atau simpatisan parpol. Kalau pada kampanye pemilu di masa lalu, ini biasa terjadi, tidak demikian dengan kampanye Pileg 2014.
Bentrok massa hanya terjadi menjelang akhir masa kampanye di Yogyakarta. Itu pun lebih karena isu yang tidak benar. Massa dari simpatisan 2 partai tiba-tiba ribut dan saling serang, karena beredar isu salah satu anggotanya diserang.
Dengan semua catatan itu, bisa dikatakan bahwa kampanye oleh parpol peserta pemilu masih belum berubah dari masa lalu. Tak ada proses untuk mendewasakan pemilih. Parpol masih mendewakan pengumpulan massa sebanyak-banyaknya, menabur uang dan menjual kepopuleran artis di atas panggung.
Di lain sisi, pendidikan politik tentang pemilu bersih dan pemilih cerdas jadi terabaikan. Pemilih hanya disodori nomor parpol beserta janji-janji yang tak jelas parameternya.
Kabar baiknya adalah, pemilih kita ternyata sudah dewasa dengan sendirinya tanpa bantuan parpol. Terbukti tak ada lagi bentrok antarkader atau aksi gagah-gagahan simpatisan di jalanan. Jadi, kini saatnya kita menagih kedewasaan parpol yang masih terlihat seperti 'kanak-kanak' dalam kampanyenya. (Anri Syaiful)