Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rapat pleno rekapitulasi suara terus dihujani keberatan, baik dari saksi partai maupun dari panwaslu tingkat daerah. Menurut Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad, hal itu akibat tidak selesaianya masalah di tingkat daerah.
Akhirnya, kata Muhammad, mereka yang memiliki keberatan meluapkan masalah tersebut di rapat pleno KPU pusat. Hal ini pula yang membuat proses rekapitulasi terus tertunda alias molor.
"Penyelenggara Pemilu di bawah tidak maksimal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Sehingga, sepertinya kasus-kasus yang ada di daerah dilimpahkan ke tingkat nasional," kata Muhammad di Kantor KPU, Jakarta, Minggu (4/5/2014).
Hal ini, kata Muhammad, membuktikan penyelenggara pemilu di tingkat bawah belum menjalankan tugas dengan baik. Seharusnya, penyelenggara pemilu di tingkat bawah bisa menghargai keberatan saksi partai dalam rapat sesuai jenjang. Sehingga masalah bisa diselesaikan, bukan malah diserahkan ke KPU pusat.
"Makannya kita membahas masalah dari tingkat kecamatan, bahkan TPS (Tempat Pemungutan Suara). Ini disebabkan penyelenggara teknis, yakni KPU provinsi sebagai penanggung jawab utama daerah, tidak melakukan supervisi dengan baik pada jajarannya," jelasnya.
Menurut Muhammad, agar rapat pleno tidak lagi molor, KPU bisa saja menggelontorkan data kepada saksi partai yang merasa keberatan. Sebab sejak awal, keberatan mereka terletak pada perbedaan data yang mereka miliki, dengan yang dilaporkan dalam rapat pleno.
"Kita berharap, KPU bisa optimal menjawab dengan data. Kenapa soal data? Karena ada ketertutupan KPU yang tidak menyerahkan hak-hak partai pada 9 April dan pasca 9 April," tandas Muhammad.
KPU pusat saat ini tengah merekapitulasi hasil pemilu legislatif 2014, mulai 26 April hingga 6 Mei mendatang. Hingga saat ini KPU baru menetapkan hasil suara di 7 provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Bangka Belitung, Jambi, Sumatera Barat dan Bali.
Selain itu, KPU juga masih menunda penetapan di beberapa provinsi seperti Banten, Jawa Barat, Bengkulu, DKI Jakarta (Dapil I, II, III), Riau dan Lampung.
Keributan saat rapat pleno rekapitulasi terjadi di sejumlah daerah seperti di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Kamis malam, 2 Mei.
Diduga, keributan akibat banyak kecurangan penggelembungan suara di tingkat desa. Termasuk adanya sejumlah kejanggalan, seperti tidak disegelnya kotak suara, serta banyaknya berkas C1 dan D1 yang tidak disampul amplop.
Kericuhan juga terjadi saat pelaksanaan pleno rekapitulasi suara di Raja Ampat, Papua Barat. Penyebabnya juga diduga akibat banyaknya kecurangan.
KPU sendiri mengakui, proses rekapitulasi hasil Pileg 2014 lambat. Itu disebabkan beberapa hal, di antaranya banyaknya perdebatan. "Pertama rekap yang ke sananya lambat, memang pada hari pertama itu menentukan pola rekap, memang banyak perdebatan," kata Komisioner KPU Juri Ardiantoro di kantornya, Jakarta, Selasa 29 April lalu.
Sementara Bawaslu sebelumnya mengingatkan, apabila nanti rapat molor hingga melebihi batas yang ditentukan pada 9 Mei 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) terancam pidana.
"Mau tidak mau KPU harus mengambil keputusan. Kalau lewat 9 Mei, jelas sekali delik pidananya sudah menunggu. KPU harus mengambil risiko itu, menyelesaikan sebelum 9 Mei," kata Muhammad di Gedung KPU, Jakarta Pusat, Sabtu 3 Mei lalu. Lantaran itulah, Bawaslu mendorong KPU bisa menetapkan hasil rekapitulasi suara tepat waktu.
Bawaslu: Penyelenggara Pemilu Tingkat Bawah Tidak Maksimal
Seharusnya, penyelenggara pemilu di tingkat bawah bisa menghargai keberatan saksi partai dalam rapat sesuai jenjang.
Advertisement