Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri duduk semeja dengan Ketua Umum Hanura Wiranto dalam acara pengukuhan Guru Besar Intelijen kepada Jenderal Purnawirawan TNI AM Hendropriyono. Walau duduk bersebelahan, keduanya terlihat canggung.
Sesekali, keduanya tampak berbincang tapi hanya sebentar. Keduanya melemparkan senyum saat ada tamu yang menyapa. Ketika pendiri Museum Republik Indonesia (Muri) Jaya Suprana menghampiri meja itu dan berbisik, keduanya hanya tersenyum. Tidak diketahui apa bisikan pianis itu kepada kedua petinggi partai itu.
Sementara, tepat di samping meja Mega dan Wiranto, duduk Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi. Ia duduk bersama sejumlah elite PDIP, seperti Sekretaris Jenderal DPP PDIP Tjahjo Kumolo, Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP Pramono Anung, dan Kepala Kejaksaan Agung Basyrif Arief.
Di meja tempat Jokowi duduk, suasana obrolan lebih terlihat akrab ketimbang di meja Mega dan Wiranto. Mega lebih sering mengibaskan kipas ke lehernya, entah merasa gerah di ruangan tersebut atau hanya sekedar mengusir rasa canggung tersebut.
Saat dimintai tanggapan terkait sikap canggungnya dengan Mega, Wiranto hanya menjawab secara diplomatis. "Terjemahkan sendiri saja. Saya komunikasi karena memang sudah kenal dekat pada pemerintah Gus Dur, saya jadi Menkopolhukam," kata Wiranto usai acara yang berlangsung di Balai Kartini, Jakarta itu.
Hanura memang belum menentukan sikap koalisinya. Rapimnas Hanura hanya menetapakan Wiranto agar terus melakukan lobi-lobi politik.
"Forum Rapimnas kemarin beri mandat ketum (ketua umum) untuk melakukan lobi politik dan mengambil keputusan koalisi ke mana. Intinya, Hanura akan ambil bagian pada pemerintahan ke depan," jelas Wiranto.
Mantan Panglima TNI itu menegaskan, sampai saat ini Hanura masih terbuka dengan semua partai manapun. "Sabar saja, belum ada keputusan. Kalau kebijakan pro rakyat kita koalisi, kalau tidak untungkan rakyat kita oposisi," ungkap Wiranto.
Wiranto dan Mega memang beberapa kali berhadapan dalam Pilpres. Seperti pada Pemilu 2004, Wiranto berpasangan dengan Solahudin Wahid, sedangkan Megawati dengan Hasyim Muzadi. Namun pada era itu, pemenangnya adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK).
Kemudian pada Pilpres berikutnya 2009, Mega dan Wiranto kembali bersaing. Saat itu, Megawati berpasangan dengan Prabowo, sedangkan Wiranto menjadi wakil untuk JK. Namun, lagi-lagi Pilpres pada saat itu dimenangkan pasangan SBY bersama Boediono.
Nah, pada Pilpres 2014, Wiranto berpasangan dengan pengusaha kondang Hary Tanoesoedibdjo atau yang lebih dikenal pasangan Win-HT. Namun pada Pilpres kali ini, pasangan ini tampaknya harus bubar. Sebab, Partai Hanura yang mengusung Win-HT hanya meraih suara 6%.
Hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei menunjukkan, PDIP mendulang suara di urutan pertama, dengan perolehan suara berkisar 19%, Disusul Golkar 15%, Gerindra 12%, Demokrat 10%, PKB 10%, PAN 8%, Nasdem 7%, PPP 7%, PKS 7%, Hanura 6%, PBB 2%, dan PKPI 1%.
Padahal ketentuan ambang batas minimal pencalonan presiden dalam Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi, paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam Pileg, sebelum pelaksanaan Pilpres. (Mut)
Advertisement