Sukses

Koalisi Pelangi untuk Jokowi

Koalisi PDIP bersama partai Nasdem, PKB dan Golkar diyakini akan membuka peluang Pilpres satu putaran.

Liputan6.com, Jakarta Oleh: Taufiqurrahman, Silvanus Alvin, Widji Ananta, Luqman Permadi

Tak seperti biasanya, suasana Pasar Gembrong petang itu tiba-tiba menjadi ramai. Padahal, biasanya para pedagang mainan sudah mulai menutup tokonya.

Rupanya, Selasa 13 Mei malam, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo berkunjung ke pasar mainan yang berlokasi di Jakarta Timur itu. Pria yang lebih akrab disapa Jokowi itu disebut-sebut akan bertemu dengan capres Partai Golkar Aburizal Bakrie.

Namun saat itu, pria yang lebih dikenal bernama Ical itu belum juga hadir mendampingi Jokowi di Pasar Gembrong. Pertemuan dua capres itu konon dikait-kaitkan dengan rencana koalisi antara PDIP dan Golkar.

Jokowi tiba lebih dulu di Pasar Gembrong sekitar pukul 17.50 WIB. Sembari menunggu Ical tiba, Jokowi berkeliling pasar dan menyapa para pedagang pasar yang hendak menutup tokonya.

Sekitar 15 menit berkeliling pasar, Jokowi kemudian menunaikan salat maghrib di musala yang berada di sisi barat pasar. Usai shalat, Ical belum juga tiba. Pria asal Solo, Jawa Tengah itu menunggu di depan pintu masuk pasar.

Setelah 15 menit menunggu, Ical akhirnya tiba. Pengusaha ternama itu didamping sejumlah elite Golkar, di antaranya Sekjen Partai Golkar Idrus Marham, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Luhut Panjaitan, dan Ketua Fraksi Golkar Satya Novanto.

"Saya bertemu di Pasar Gembrong dengan Bapak Aburizal Bakrie, kenapa tempatnya di sini? Karena ini adalah tempat rakyat, tempatnya pedagang sayur, ikan, semuanya ada di dalam pasar. Sehingga pertemuannya memang di tempat kerakyatan di sini," ucap Jokowi di hadapan ratusan pedagang dan belasan awak media.

Jokowi mempertegas, pertemuannya dengan pemilik stasiun televisi ternama itu merupakan pertanda dua partai tersebut telah berkoalisi. "Ini sudah bertemu di titik yang sama, di pasar tradisional, titik yang sama. Kalau bertemu artinya apa?" tanya Jokowi.

"Koalisi...?" jawab warga dan para pedagang, kompak.

Mendengar ucapan warga tersebut, Jokowi dan Ical tak menyangkalnya. Keduanya mesam-mesem. Jokowi memberikan isyarat bahasa tubuhnya dengan menganggukkan kepalanya.

Sementara Ical mengaku pertemuannya dengan Jokowi kali ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan sebelumnya, terkait koalisi Golkar-PDIP. "Ini penjajakan lanjutan untuk koalisi, kalau kita bisa koalisi kita akan dukung koalisi."

"Nanti kita bicarakan dengan Pak Jokowi, Golkar kan partai besar, nanti kita akan bicara dengan Jokowi dan ketua PDIP," sambung Ical seraya tersenyum.

Meski secara lugas keduanya belum menyatakan koalisi, namun kuat dugaan koalisi PDIP-Golkar diperkirakan bakal terjadi. Karena pilihan Golkar hanya ada 2, PDIP atau Gerindra. Membentuk poros baru pun tampaknya terlalu sulit bagi Golkar, karena tak ada calon yang mampu menyaingi elektabilitas Jokowi.

Gerindra sendiri sudah menyatakan soal kegagalannya membangun koalisi dengan partai berlambang pohon beringin itu. Alasannya, Golkar tidak sesuai dengan pola kerja sama.

"Mereka tak sesuai pola kerja sama atau akhirnya memilih PDIP," kata Ketua Partai Gerindra Suhardi saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Selasa 13 Mei malam.

Namun berpalingnya Golkar ke partai wong cilik itu dianggapnya bagian dari dinamika politik. Untuk itu, Gerindra pun menghargai hak setiap partai menentukan kawan berkoalisinya.

Sedikit cemburu, Suhardi menyatakan pertemuan Jokowi dengan Ical di Pasar Gembrong bukan berarti koalisi PDIP dan Golkar langsung terjalin. Menurutnya, bisa saja hal itu hanya pertemuan biasa layaknya Ical dengan Prabowo.

"Itu kan belum resmi berkoalisi. Bisa jadi itu saling berkunjung seperti Pak Ical ketemu Pak Prabowo," tukas Suhardi.

Kurang Pede

Jika melihat tekad sebelumnya, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu tidak tertarik membentuk koalisi gemuk. PDIP lebih memilih koalisi ramping. Tak ingin tersandera kepentingan politik atau kontrak-kontrak politik dengan partai koalisi, menjadi alasan bagi PDIP memilih koalisi ramping.

Apalagi, sebuah koalisi selama ini kerap dipandang identik dengan bagi-bagi kue kursi kabinet. Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, koalisi ramping yang akan dilakukan partainya di pemerintahan Jokowi semata-mata untuk membangun pemerintahan yang efektif.

"Koalisi ramping berupaya menghindarkan politik dagang sapi. PDI Perjuangan dan capres Joko Widodo belajar dari kelemahan koalisi yang dibangun pada masa lalu," ujar Hasto, di Jakarta, Kamis 1 Mei lalu.

Dengan koalisi ramping, PDIP berharap pemerintahan Jokowi kelak jika terpilih tidak tersandera kepentingan banyak partai politik yang ikut dalam koalisi tersebut.

Sehingga bisa menjalankan skala prioritas dalam membuat Indonesia berdaulat, berdikari, dan berkepribadian sesuai perjuangan bersama.

Pada kenyataannya, seiring konstelasi politik menjelang Pilpres 9 Juli mendatang, PDIP tampaknya kurang percaya diri alias kurang pede membangun koalisi ramping. PDIP rupanya khawatir kalah saing dengan Gerindra yang kini gencar melebarkan sayap koalisinya.

PDIP pun terpaksa harus menjilat ludahnya sendiri. Partai berideologi nasional itu kini menerima proposal sejumlah partai menengah, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Tak apalah menutup muka sendiri, ketimbang malu menerima kekalahan pada Pilpres 9 Mei mendatang.

Tak hanya itu, andai pun suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bulat mendukung Jokowi pada beberapa pekan lalu, PDIP juga kemungkinan menerima lamaran partai pimpinan Suryadharma Ali itu. Sayang, kubu Romahurmuziy yang sebelumnya mendukung Jokowi, harus rela mendukung Prabowo setelah konflik internal dengan kubu Suryadharma meredam.

Satu Putaran

Jika memang koalisi antara PDIP dengan Nasdem, Golkar dan PKB terjalin hingga Pilpres mendatang, `koalisi pelangi` ini akan kokoh. Partai PKB yang identik dengan warna hijau akan dikuatkan dengan massa Nahdlatul Ulama-nya (NU). Partai Nasdem sebagai partai baru yang memiliki bendera warna biru itu, diyakini memiliki pendukung dari kalangan muda.

Sementara Golkar yang identik dengan warna kuning itu telah memiliki kader-kader yang tidak diragukan lagi. Jaringan kalangan bawah hingga atas cukup kuat, maklum sebagai salah satu partai tertua di Indonesia. Pengalaman berpolitik pun tak diragukan lagi mengingat jam terbang yang cukup tinggi.

PDIP kini sudah melewati zona aman. Tak perlu lagi mengeluarkan keringat mencari suara dukungan sebagai syarat sah mencalonkan capres-cawapresnya. Maklum, perolehan suara hasil rekapitulasi KPU mencapai angka tertinggi yakni 18,95%.

Artinya, jika digabungkan dengan suara koalisi dengan Golkar 14,75% dan PKB 9,04%, PDIP sudah jauh melebihi syarat pencalonan capres-cawapres. Sebab, pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pemilu serentak baru dimulai di 2019, Pilpres 2014 tetap berpegang kepada UU Pilpres yang mensyaratkan 20% perolehan kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional untuk mengusung capres-cawapres.

PDIP pun kini menepuk dan membusungkan dada setelah melewati zona aman itu. Setelah dilamar Nasdem, PDIP tampaknya sedikit lega dan sedikit meledek Gerindra yang kini masih sibuk mengumpulkan suara dukungan, meskipun telah mendapat dukungan dari PPP dan PKS.

"Jadi kita (PDIP) tidak terlalu stres seperti Prabowo yang masih nyari-nyari. PDIP tenang saja," kata Juru bicara PDIP Eva Kusuma Sundari usai diskusi politik di Universitas Bakrie, Jakarta Selatan, Kamis 8 Mei lalu.

Kalau pun ada partai lain memutuskan berkoalisi dengan partai berlambang banteng moncong putih itu, hal itu bagi PDIP dianggap sebagai bonus. Seperti PPP atau pun Hanura yang kini rajin mendekat. Isu cawapres dan penambahan koalisi saat ini bukanlah juga bukanlah hal utama bagi PDIP.

"Kalau misalnya Hanura atau PPP akhirnya ke kita, itu bonus yang luar biasa. Tapi tidak kayak Gerindra yang saat ini nilai cawapres itu penting," sindir anggota Komisi III DPR itu.

PDIP juga optimistis hanya akan ada satu putaran pada pilpres mendatang, jika hanya ada 2 pasangan calon, yakni pasangan yang diusung poros PDIP dan poros Gerindra. "Kalau 2 pasangan yang maju itu jauh lebih baik dari pada 3 pasangan. Dua pasangan akan terbuka untuk 1 putaran saja," ungkap Ketua DPP PDIP Bidang Kepemudaan Maruarar Sirait di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa 13 Mei 2014.

Pemenangan Jokowi satu putaran pun telah mendapat respons positif dari partai pendukungnya, PKB. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyatakan, mulai hari ini mesin partainya telah bergerak dan melakukan konsolidasi kepada tiap jaringan yang dimiliki PKB dan Nahdlatul Ulama di seluruh Indonesia.

‎"Besok insya Allah 57 hari (waktu jelang Pilpres 9 Juli 2014), kita akan menangkan Jokowi, satu putaran. Mesin harus sudah dipanaskan," ujar Muhaimin di Kantor DPP PKB, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa 13 Mei kemarin.

Pria yang akrab disapa Cak Imin menyatakan, seluruh DPW PKB se Indonesia telah bulat mendukung Jokowi sebagai capres. Karena itu, dengan jaringan dan massa PKB yang mayoritas merupakan pengikut NU, pihaknya yakin dapat memberikan kotribusi suara yang besar bagi Jokowi.

Soal cawapres yang akan mendampingi Jokowi nanti, PDIP pun sepertinya sudah menyiapkan sejumlah nama yang pas dan ideal. Bahkan, kini tampaknya sudah mengerucut dalam pilihannya. Ical yang mulai terlihat mundur dari pencapresannya, seolah menunjukkan sinyal positifnya dengan mengusung nama lainnya.

Ada 3 nama yang sudah disiapkan Golkar untuk bersanding dengan Jokowi sebagai cawapres nanti. Mereka yakni Jusuf Kalla, Luhut Pandjaitan dan Akbar Tandjung. "Ketiga nama itu yakni, Jusuf Kalla, Luhut Pandjaitan, dan saya sendiri," kata Akbar Tanjdung saat berkunjung ke Kantor DPP Partai Nasdem, Jakarta, Selasa 13 Mei sore.

Bergabungnya Golkar dengan PDIP bisa disebut seperti keluarga di dalam koalisi, sebab hampir bisa dipastikan Jokowi akan disandingkan dengan Jusuf Kalla alias JK yang juga merupakan tokoh senior Golkar. Golkar tidak merasa turun harga dirinya, karena PDIP adalah pemenang pertama Pemilu Legislatif 2014 yang memiliki suara dan kursi parlemen lebih banyak dari Golkar.

Pada bagian lain, pilihan Golkar ke Jokowi ini turut memastikan Pilpres 2014 hanya akan diikuti dua pasangan calon saja, yaitu Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Dengan asumsi PKS pasti berkoalisi dengan Gerindra. Dengan demikian, kemungkinan pilpres satu putaran akan terbuka lebar.

"Maka sudah tidak mungkin lagi bagi Demokrat membuat poros baru, sekalipun mereka harus berkoalisi dengan Hanura. Tidak cukup bagi kedua partai itu memenuhi syarat perolehan suara maupun kursi presidential threshold," peneliti Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin kepada Liputan6.com, Selasa 13 Mei malam. (Ans)