Liputan6.com, Jakarta Seperti rekam jejak sebelumnya, Partai Golkar tak pernah berada di oposisi pemerintahanan. Maka itu, Golkar tetap memilih berkoalisi dengan partai yang dianggap bisa merebut kekuasaan pada Pilpres 9 Juli mendatang.
Kendati, hingga kini partai berlambang pohon beringin itu belum menentukan sikapnya, apakah akan berkoalisi dengan PDIP atau Partai Gerindra. Atau akan membentuk poros baru berkoalisi dengan Partai Demokrat.
"Partai politik itu butuh kekuasaan. Dan kekuasaan itu digunakan untuk memperjuangkan gagasan-gagasannya. Itu logika kita dalam berpartai. Coba tunjukkan saya partai mana itu yang hanya mau beroposisi?" kata Sekjend Golkar Idrus Marham di kediaman Aburizal Bakrie, Menteng, Jakarta, Sabtu (17/5/2014) malam.
Idrus yakin partai mana pun di dunia tidak ada yang dibentuk untuk oposisi. Maka itu, koalisi mana pun yang dipilih Golkar, harus ada kalkulasinya untuk memenangkan Pilpres 9 Juli 2014.
"Ke mana pun kalkulasi arus yang akan diikuti, yang akan memenangkan Partai Golkar. Bilamana ada kelompok yang ingin mengelola sendiri, maka akan rusak bangsa ini. Partai Golkar dengan prinsip dasar itu, sangat cair untuk berkoalisi denga partai-partai lain," jelas Idrus.
Idrus menegaskan, Golkar sebagai partai besar yang memperoleh suara terbesar kedua pada Pileg 9 April lalu --dengan 91 kursi di DPR-- selalu bergantung kepada fakta-fakta real yang ada, dan tidak pernah berdasarkan isu-isu yang berkembang.
"Itulah dasar Golkar menentukan kebijakan," ujarnya.
Terkait komunikasi politik yang dilakukan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, semua telah dilakukan dengan para elite partai. "Ada arus Jokowi, ada arus Prabowo, dan ada arus baru yang akan dibahas di Rapimnas besok," imbuh Idrus.
Partai Penguasa
Dalam sejarahnya Golkar selalu berada di pemerintahan. Bahkan, Golkar kerap disebut sebagai partai penguasa. Golkar bermula dengan berdirinya Sekber Golkar pada masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya 1964 oleh Angkatan Darat untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kehidupan politik.
Advertisement
Pada perjalanannya, Sekber Golkar berubah menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu. Pada Pemilu 1971 --Pemilu pertama Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, salah satu pesertanya adalah Golongan Karya yang akhirnya tampil sebagai pemenang.
Kemenangan ini diulangi pada Pemilu-Pemilu pemerintahan Orde Baru lainnya, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kemenangan ini dapat dimungkinkan, karena Pemerintahan Soeharto membuat kebijakan yang sangat mendukung kemenangan Golkar, seperti peraturan monoloyalitas PNS, dan sebagainya.
Setelah pemerintahan Soeharto berakhir dan reformasi bergulir, Golkar berubah menjadi Partai Golkar, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan yang berarti --seperti sebelumnya pada masa Pemerintahan Soeharto.
Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai Golkar turun menjadi peringkat kedua setelah PDIP.
Ketidakpuasan terhadap Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, menjadi salah satu penyebab para pemilih pada Pileg 2004 kembali memilih Partai Golkar, selain partai lainnya seperti Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan lainnya. Partai Golkar pun menjadi pemenang Pileg 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara sah.
Kemenangan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai Golkar. Karena pada Pileg 1999, PDIP mendominasi perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai Golkar menduduki peringkat kedua dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah. Sekilas Partai Golkar mendapat peningkatan 738.999 suara, tapi dari prosentase turun 0,86%.