Liputan6.com, Jakarta - Terjawab sudah siapa yang akan menjadi peserta pemilu presiden 9 Juli mendatang. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla melawan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Semua partai politik peserta pemilu pun sudah menentukan berkoalisi dengan siapa. Saat-saat terakhir sebelum deklarasi pasangan Prabowo-Hatta, Partai Golkar menyatakan diri berkoalisi dengan Partai Gerindra.
Santer disebut, pilihan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie berlabuh ke Gerindra, yang dipimpin Prabowo, membuat suara partai beringin itu terpecah. Sebab salah satu politisi seniornya, Jusuf Kalla, ternyata menjadi calon wakil presiden koalisi yang dipimpin PDI Perjuangan.
Terkait hal ini, Ketua Balitbang DPP Golkar Indra Jaya Piliang mengatakan, "Pilpres itu pemilihan figur, bukan pemilihan partai. Tidak ada suara terpecah. Suara sih bulat."
Meski demikian, kepada Liputan6.com, Selasa (20/5/2014), Indra tak menampik akan ada sebagian suara kader Golkar yang 'terbawa' JK. Sebab, Aburizal tak menjadi capres atau cawapres dalam pilpres tahun ini.
"Kalau ARB maju, pilih ARB. Tapi, yang maju kan bukan ARB. Yang maju Prabowo dan Jokowi," tegas Indra di Jakarta.
Indra juga tak menampik ada larangan dari Aburizal agar kader Golkar tak memberi dukungan pada JK. Menurut Kepala Balitbang Golkar itu, partainya akan memberikan sanksi berupa pemecatan bagi kader yang melanggar.
"Pasti ada larangan. Pasti ada disiplin partai. Tapi kebebasan politik kan ada, dalam arti orang-orang yang berbeda pendapat adalah mereka yang sudah dewasa. Jadi, kalau melanggar aturan main organisasi, ya, risiko tanggung sendiri," pungkas Indra.
Ical Mengancam?
Adanya ancaman ini juga diungkapkan Juru bicara Jusuf Kalla, Poempida Hidayatullah. Dia mengungkapkan, elite DPP Partai Golkar mengeluarkan ancaman berupa sanksi pemecatan kepada kader Golkar yang mendukung Jokowi-JK.
Tapi bagi anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar ini, ancaman tersebut dinilai tidak masuk akal. "Ini berpotensi menjadi preseden buruk dari kepemimpinan Bang Ical (Aburizal Bakrie), dan memicu gejolak internal partai yang tidak diperlukan," kata Poempida dalam pernyataan tertulisnya, Jakarta, Senin (19/5/2014).
Seharusnya, kata Poempida, DPP Partai Golkar memahami situasi yang berkembang saat ini di internal Golkar. Sehingga diperlukan suatu langkah kebijakan yang akomodatif. Menurutnya, ada basis-basis rasionalitas yang harus diperhatikan lebih dulu, sebelum mengeluarkan ancaman sanksi itu.
Basis rasionalitas itu, lanjut Poempida, di antaranya keputusan Rapimnas VI yang memberikan mandat penuh kepada Aburizal dalam membangun koalisi, yang berdasarkan harapan memberikan dukungan kepada PDIP. "Hal tersebut sangat terasa menjadi suasana kebatinan yang ada pada saat Rapimnas kemarin."
Kemudian, sambung Poempida, JK yang dipasangkan dengan cawapres PDIP Jokowi adalah kader Golkar tulen, juga mantan ketua umum Partai Golkar. Selain itu, banyak kekecewaan arus bawah atas keputusan DPP untuk berkoalisi dengan Gerindra mendukung Prabowo-Hatta.
Yang terpenting, menurut Poempida, sesuai AD/ART Partai Golkar, pemecatan kader itu bukan hak prerogatif ketua umum. Tapi harus berbasis prosedural, yang dilandaskan pelanggaran fatal terhadap organisasi partai.
"Jika kemudian terjadi kebijakan pemecatan ini, saya melihat potensi terjadinya gejolak yang akan mengarah kepada musyawarah nasional luar biasa Partai Golkar."
"Saya melihat elite DPP Partai Golkar masih dapat berpikir rasional dan lebih menekankan pada soliditas partai. Karena Partai Golkar diciptakan bukan sekedar dalam konteks berkoalisi, tapi harus berbasis pada pemikiran membangun bangsa ke depan," tandas Poempida. (Yus)
Hadapi Pilpres, Suara Golkar Terbelah?
Indra tak menampik akan ada sebagian suara kader Golkar yang 'terbawa' Jusuf Kalla.
Advertisement