Liputan6.com, Jakarta Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2004 Chusnul Maiyah menyatakan dana Rp 21 triliun yang diterima KPU dalam mengawal Pileg 9 April lalu terlalu mahal. Sebab, pada saat Pemilu 2004 untuk mengamankan suara rakyat dalam Informasi Teknologi (IT) KPU hanya membutuhkan dana Rp 7,2 triliun. Mengamankan dari tingkat Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) hingga Komisi Pemilihan Umum Daerah.
"IT data KPU dulu hanya dana Rp 7,2 triliun bisa mengamankan tahapan Pemilu. Mengamankan suara dari TPS sampai KPU tingkat nasional. Tapi malah KPU sekarang tidak bertanggung jawab. Dengan total anggaran 21 T tidak bisa mengamankan suara rakyat karena masih ada pelanggaran pemilu," ujar Chusnul di Lembang, Jawa Barat, Rabu (21/5/2014).
Chusnul menyebutkan, pada saat Pemilu 2004 pengawasan dilakukan dengan biaya paling murah. Yakni dengan meminta mahasiswa dan guru dari tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
"Diawasi. Diawasi dari tingkat PPK. Saya kirim 54.900 mahasiwa dan guru. Karena menurut saya, korupsi paling rendah di mahasiswa. Jadi data aman," katanya.
Menurut Chusnul, jika melihat ke belakang pendataan KPU menimbulkan banyak indikasi besar terjadinya manipulasi politik. Karena itu anggaran yang sebanyak itu seharusnya tidak ada kendala dalam pendataan.
"Di sini letak manipulasi politik. Jumlah penduduk. Data penduduk itu tempat untuk melakukan manipulasi. Penyelenggaraan pemilu tidak bisa dianggap administrasi. Itu politik. Teori manipulasi suara itu mirip yang terjadi di negara afrika tahun 70-an," tandasnya.
Sementara terkait Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Chusnul menyarankan harus memiliki sistem Informasi Teknologi (IT) yang kuat, untuk mencegah transaksi suara dalam pemilihan legislatif (Pileg).
"Bawaslu ya sesuai dengan portfolio nya. Sistem yang paling mudah adalah menjaga suara dari TPS (Tempat Pemungutan Suara) sampai KPU nasional. Sistem IT itu harus kuat. Kami menyatakan siap membantu, dengan anggaran murah," katanya.
Namun sayangnya sebagai pengawas Pemilu, lembaga pimpinan Muhammad ini tidak memiliki keputusan mengikat untuk menentukan keputusan. "Pemilu itu harus dilakukan dengan bebas dan jujur. Di dalam sistem ini Bawaslu diberi kewenangan tapi tidak mengikat. Jadi ya seperti itu saja," katanya.
Maka, kata Chusnul, yang harus diperkuat adalah civil society atau gerakan sosial masyarakat. Menurut dosen Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia (UI) ini, media ini harus ikut bertanggung jawab. "Jadi media sekarang harus bertanggung jawab," tandas Chusnul.
Gagal
Advertisement
Penyelenggaraan Pileg 9 April lalu dinilai banyak terjadi kecurangan. Maka itu, DPR akan memanggil penyelenggara Pemilu sebelum Pilpres 9 Juli mendatang. Jika memang ditemukan indikasi kecurangan, akan dilakukan pergantian.
"Kita akan panggil semua sebelum Pilpres. Bahkan ada beberapa rekomendasi di beberapa daerah kita minta diganti KPU-nyalah. Bahkan kalau ada indikasi KPU dan Bawaslu terlibat, tidak menutup kemungkinan kita minta penggantian KPU dan Bawaslu," ujar Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudarsa di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 12 Mei lalu.
Dalam sisa waktu yang tidak panjang menjelang Pilpres, pemanggilan KPU dan Bawaslu dinilai tidak akan menggangu. Namun dalam rangka penelusuran kecurangan Pemilu, DPR tidak akan membentuk pansus. "Nggak tertarik, soal itu sebenarnya soal mekanisme saja. Pokoknya Pemilu sekarang amburadul. Pemilu terburuk selama saya jadi anggota dewan," pungkas Agun.
Pimpinan Bawaslu Daniel Zuchron mengakui, lembaganya sebagai pengawas Pemilu telah gagal menjalankan tugasnya. "Bawaslu sadar kita gagal. Gagal dalam pidana. Kalau berhasil di masalah pidana, orang-orang pasti takut melakukan pelanggaran," kata Daniel di Jakarta, Sabtu 10 Mei lalu.
Kini, kata Daniel, Bawaslu tak bisa mengubah suara yang sudah direkapitulasi dan disahkan KPU. Namun, Bawaslu akan menindaklanjuti masalah dalam rekapitulasi suara KPU.
Sementara, kejaksaan sedang meneliti puluhan kasus pelanggaran Pileg 2014, limpahan penyidik Polri dari belasan provinsi di Indonesia. Kasus itu berdasarkan laporan Bawaslu dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di daerah.
"Terakhir itu kalau nggak salah 62 (kasus). Itu sudah di beberapa 16 provinsi," kata Jaksa Agung Basrief Arief di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat 9 Mei lalu.
Namun, Basrief mengaku tidak mengetahui jumlah tersangka dalam kasus itu. Ia hanya memastikan hampir seluruh partai diduga melakukan pidana saat Pileg 2014. "Hampir ada semua," singkat Basrief.
Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung Adjat Sudrajat mengatakan, para tersangka mulai dari caleg, simpatisan, sampai penyelenggara Pemilu. Total tersangka hampir sama dengan total kasus yang ditangani, yakni 62 kasus.
"Perkaranya ada 62, tersangkanya ya segitu juga. Kan sudah banyak yang diputus. Ada kepala daerah," ujar Adjat.
Sedangkan kasus pidana yang tengah diteliti kebanyakan yakni money politics atau politik uang dan jadwal kampanye bukan pada waktunya. Sebelumnya kasus yang ditangani Polri sampai pada 5 Mei 2014 dari Bawaslu, mulai dari tingkat pusat sampai daerah berjumlah 283 kasus dengan tersangka 355 orang.
Kasus yang dalam proses penyidikan ada 189 kasus. Untuk tahap 1 ada 12 kasus, kasus yang telah P21 atau berkas lengkap dan masuk tahap 2 ada 62 kasus. Sedangkan kasus yang dihentikan atau SP3 berjumlah 20 kasus.
"Untuk kasus yang dominan selama Pemilu Legislatif 2014 ini memang bervariasi, tetapi untuk money politics berjumlah 76 kasus dan mencoblos lebih dari 1 kali berjumlah ada 44 kasus," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Polri Kombes Pol Agus Riyanto di kantornya, Jakarta, Selasa 6 Mei lalu.
Agus menjelaskan, para tersangka berasal dari latar belakang berbeda. Ada kepala desa, tim sukses caleg, pengurus partai, pihak Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan beberapa calon legislator. Sedangkan untuk kasus lainnya bervariasi, seperti pemalsuan dokumen, kampanye di tempat terlarang serta di luar jadwal.