Sukses

Suara Partai Terbelah Dinilai Akibat Elite Politik Haus Kekuasaan

Beberapa faktor lain terbelahnya suara partai adalah, akibat manajemen internal partai tidak terbuka.

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) SyamsudinHaris mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat suara partai terbelah. Namun hal yang paling fatal yang dapat membelokkan suara, adalah ketika saat para elite partai haus kekuasaan.

"Adanya kepentingan jangka pendek dari petinggi atau elite-elite politik. Seperti ingin jabatan menteri utamalah atau yang lain. Sehingga yang saya lihat, elite politik kita tidak tahan dengan kekuasaan," ujar Haris di Kebayoran, Jakarta Selatan, Sabtu (24/5/2014).

Haris menjelaskan, faktor pertama adalah akibat manajemen internal partai tidak terbuka. Ia mencontohkan perpecahan internal Golkar, yang terlihat cukup jelas saat menggelar rapimnas pekan lalu.

Menurut Haris, pada Rapimnas Golkar satu pihak memberi mandat kepada ketua umumnya, Aburizal Bakrie alias Ical. Namun suasana rapimnas justru mendorong ke salah satu calon. Pada akhirnya, Ical menyebutkan hasil rapimnas yang ternyata berbeda dengan aspirasi anggota partai.

Faktor kedua, sambung Haris, suara partai dapat terbelah karena banyaknya kampanye negatif dari lawan politiknya. Dan faktor lainnya adalah peran media. Media berperan penting dan memiliki posisi strategis membuat keadaan kondusif, dan sebaliknya.

"Munculnya kampanye hitam atau negatif, baik dari pasangan calon atau pun pendukungnya. Sehingga sebagian elite terjebak dalam situasi, kubu si A memiliki cacat bawaan, dan seterusnya. Kemudian dibantu media. Media memiliki posisi strategis untuk bisa membuat keadaan kondusif," pungkas Haris.

Menjelang Pilpres 2014, setidaknya ada dua partai yang sempat mengalami perpecahan internal. Yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar).

Perpecahan PPP akibat sang Ketua Umum Suryadharma Ali alias SDA mendukung kepada capres Partai GerindaraPrabowo Subianto. SDA dianggap melanggar aturan partai, karena sesuai hasil Mukernas PPP, SDA-lah yang dicalonkan sebagai capres untuk Pilpres 9 Juli mendatang.

Namun perpecahan di internal PPP akhirnya berujung damai melalui islah. Mendekati pendaftaran capres-cawapres di Komisi Pemilihan Umum, PPP akhirnya mendeklarasikan dukungannya kepada Gerindra.

Sementara perpecahan di internal Golkar disebut-sebut akibat sang ketua umum Aburizal Bakrie alias Ical tak lagi laku sebagai capres. Hasil suara Pileg 9 April lalu, suara Golkar tak sesuai harapan sebelumnya, yakni Golkar hanya meraup 14,75% kursi DPR.

Meskipun suara Golkar berada di urutan kedua setelah PDIP yakni 18,95%, para elite Golkar merasa tak puas. Elektabilitas Ical disebut-sebut sebagai penyebab rendahnya perolehan suara.

Sebagian elite Golkar tetap mendukung pencapresan Ical, sebagian lagi menyokong mantan Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla mendampingi capres PDIP Joko Widodo alias Jokowi. Sebagian elite lain ada juga yang mendekat ke capres lainnya.

Namun seiring waktu, Golkar tak memiliki nilai jual. Golkar tak bisa membentuk poros koalisi meski memperoleh suara terbanyak kedua setelah PDIP. Golkar akhirnya merapat ke Partai Gerindra mendukung pencapresanPrabowo Subianto. Sementara JK mendampingi Jokowi sebagai cawapresnya. (Ans)