Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) didesak untuk melakukan proses verifikasi administrasi terhadap bakal calon presiden-wakil presiden untuk Pilpres 2014 dengan transparan dan sesuai aturan.
KPU juga diingatkan agar melakukan tindakan-tindakan yang konkret dan tidak ragu mencoret pencalonan Prabowo Subianto karena dianggap tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan UUD 1945 dan UU Pilpres.
Desakan itu disampaikan Asosiasi Pengacara Pengawal Konstitusi (APPK) yang mengirimkan surat terbuka kepada KPU terkait dengan pencalonan Prabowo di Pilpres 2014.
"Pertama, KPU harus melakukan verifikasi administratif dan faktual terhadap persyaratan calon presiden Prabowo Subianto Djojohadikusumo mengenai kewarganegaraannya. Dengan itu juga tidak meloloskan Prabowo sebagai calon presiden," kata salah satu anggota APPK, Ridwan Darmawan di Jakarta, Sabtu 24 Mei 2014.
Selain terkait masalah kewarganegaraan, APPK juga menuntut KPU meminta surat klarifikasi kepada Komnas HAM terkait status hukum yang bersangkutan. Yang dimaksud adalah terkait keterlibatan Prabowo di dalam kasus pelanggaran HAM berat yang hingga saat ini masih dalam proses.
KPU juga harus meminta klarifikasi dari Mabes TNI yang pernah membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dan merekomendasikan pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliteran. Keputusan itu hingga saat ini tidak pernah dianulir, dievaluasi, ataupun dibatalkan.
Menurut APPK, kewajiban KPU melakukan klarifikasi dimandatkan dalam Pasal 17 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2014. Di situ diatur bahwa dalam proses verifikasi bakal capres-cawapres, KPU melakukan klarifikasi kepada instansi yang berwenang dan menerima masukan masyarakat.
Dia melanjutkan, apabila tidak ada tindakan-tindakan konkret oleh KPU terkait hal itu, APPK akan melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan sengketa pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Selain itu, APPK juga akan melaporkan ketidakprofesionalan KPU ke Bawaslu dan Dewan Kehormatan Pengawas Pemilu atau DKPP," katanya.
Bagi APPK, Prabowo tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden RI. Alasannya, karena yang bersangkutan tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Dasar kami adalah bahwa Prabowo merupakan seorang mantan perwira tinggi TNI AD. Dan dalam perjalanannya, pada tahun 1998 dikabarkan secara luas bahwa yang bersangkutan pernah mendapatkan kewarganegaraan Yordania," katanya.
Hal itu diduga melanggar Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 5 huruf b UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Isinya menyatakan syarat menjadi capres atau cawapres adalah 'Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri'.
Selain itu, sudah diketahui bahwa Prabowo begitu populer sejak peristiwa Mei 1998. Di mana Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliterannya oleh institusi legal yakni DKP yang dibentuk oleh Panglima ABRI.
Alasan pemberhentian adalah karena terbukti melakukan perbuatan yang tercela di seputar periode 1997-1998. Perbuatan tercela dimaksud, menurut para pelaku atau anggota DKP, adalah bahwa Prabowo terlibat dalam kasus penculikan atau penghilangan orang secara paksa.
Korbannya adalah warga negara yang kritis terhadap rezim Orde Baru kala itu. Ridwan menekankan hal itu jelas membuktikan bahwa yang bersangkutan, selain telah melakukan perbuatan tercela, juga tidak patuh terhadap hukum.
Hal itu bertentangan dengan Pasal 5 huruf i Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Yakni yang menyatakan setiap bakal capres dan cawapres, 'tidak pernah melakukan perbuatan tercela'.
KPU Didesak Memverifikasi Proses Administrasi Pencalonan Prabowo
Desakan disampaikan Asosiasi Pengacara Pengawal Konstitusi yang mengirimkan surat ke KPU terkait pencalonan Prabowo di Pilpres 2014.
Advertisement