Sukses

Yusril: MK Pernah Tolak Tafsirkan Pasal 6 UUD 1945

Kata Yusril, pasangan capres-cawapres saling berhadapan menghadapi Pilpres 9 Juli, sementara Pasal 6 ayat 3 dan 4 masih jadi perdebatan.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyayangan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak mengabulkan permohonan uji UU Pilpres yang dilayangkanya. Persoalan konstitusionalitas Pilpres pun kini menjadi rumit. Padahal, Pilpres akan menjadi sederhana bila gugatannya terkait setiap parpol atau gabungan parpol perserta Pileg boleh mengajukan pasangan capres dan cawapresnya dikabulkan.

"Maka sifat multitafsir atas norma Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 dapat diakhiri. Parpol atau gabungan parpol mengajukan capres sebelum Pileg. Dengan demikian, koalisi kalau ada, juga lebih murni karena masing-masing parpol belum tahu perolehan suaranya dalam Pileg," ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (11/6/2014).

Ia menilai, bila permohonan uji UU itu dikabulkan maka koalisi parpol tak akan serumit dan tergesa-gesa seolah kawin paksa seperti sekarang ini. Ia mengamati koalisi model sekarang ini berisiko tingggi, bisa jadi potensi konflik antara Presiden dan Wakil Presiden, juga antara menteri dengan Presiden.

"Hal ini juga berpotensi menimbulkan pemerintahan yang tidak efektif. Pemerintah tidak efektif akan merugikan rakyat yang telah memilih mereka. Tapi MK menolak permohonan saya. MK bilang mereka tidak berwenang menafsirkan Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 yang saya mohon," terang dia.

Tidak sampai disitu saja, bila pasangan hanya 2, maka muncul kebingungan apakah norma yang diatur dalam Pasal 6 ayat 3 bahwa pemenang harus menang minimal 20% di 1/2 provinsi itu berlaku atau langsung lompat ke pasal 6 ayat 4 bahwa pasangan tadi langsung jadi pemenang asal memperoleh suara terbanyak.

"Kelihatannya Pasal 6 ayat 3 mengasumsikan jumlah pasangan adalah lebih dari 2. Tidak mengantisipasi kalau pasangan hanya 2. Kalau saja MK kabulkan permohonan saya, persoalan konstitusionalitas Pilpres 2014 terkait Pasal 6 ayat 3 dan 4 tak akan ada, sebab jumlah pasangan capres/cawapres pasti akan lebih dari 2 pasangan seperti sekarang ini."

Kini, lanjut Yusril, pasangan capres-cawapres saling berhadapan menghadapi Pilpres 9 Juli, sementara Pasal 6 ayat 3 dan 4 masih jadi perdebatan. Kalau tafsir atas pasal 6 ayat 3 dan 4 ini belum klir, maka perdebatan pemenang Pilpres 2014 konstitusional atau tidak bisa saja terjadi.

Pakar hukum tata negara itu menyatakan, semua orang boleh saja menafsirkan, tapi tafsir mereka kan sesuai bidangnya, tidak mengikat siapapun. Harusnya MK yang menafsirkan, karena mereka punya otoritas.

"Tapi jangan lupa, MK menolak permohonan saya untuk menafsirkan Pasal 6 ayat 2 dengan alasan tidak berwenang, seperi saya katakan tadi. Maka saya, yang netral dan tidak mau ikut-ikutan dukung mendukung salah satu pasangan dalam Pilpres 2014 ini tinggal tersenyum saja melihatnya."

"Baiknya 2 capres, Prabowo dan Jokowi kita minta menyelesaikan masalah ini. Bukankah keduanya capres salah satunya akan jadi pemimpin kita. Mari kita lihat bagaimana keduanya menyelesaikan persoalan ini sebelum mereka menyelesaikan persoalan rakyat, bangsa dan negara ini," tandas  Yusril.