Liputan6.com, Jakarta - Tak ada jaminan bahwa masa tenang Pilpres 2014 akan berjalan dengan tenang sesuai namanya. Tapi, jangan berburuk sangka dulu. Tak ada kampanye negatif atau kampanye hitam dari timses kedua pasangan capres. Tak ada pula tabloid baru yang terbit menghantam kandidat presiden. Justru, ketenangan menjelang hari pencoblosan diganggu kabar yang datang dari nun jauh di sana, Hong Kong.
Konon, akibat tidak dapat menggunakan hak suaranya pada saat Pilpres 2014, ratusan WNI yang umumnya buruh migran memprotes petugas Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Hong Kong. Bahkan mereka menjebol penutupan pagar antrean. Meski demikian, para buruh tetap tak bisa menggunakan hak pilihnya.
Kabar ini langsung menyeruak dan menjadi konsumsi publik, termasuk jadi bahan kampanye baru bagi timses pasangan capres-cawapres. Karena terjadi di negeri orang, informasi yang valid memang sulit didapat, selain dari mereka yang hadir saat pencoblosan pada Minggu 6 Mei 2014 di Victoria Park, Hong Kong.
Informasi yang bisa dipastikan kebenarannya adalah, tempat pemungutan suara di Victoria Park itu sudah dibuka sejak pukul 9 pagi waktu setempat. Ketika pencoblosan dimulai, para pemilih yang mayoritas adalah para buruh migran itu sudah antre. Satu per satu pemilih mencoblos sesuai hati nurani mereka. Tak ada kabar tentang intimidasi atau pelanggaran lainnya. Semua berjalan lancar.
Masalah baru muncul ketika tenggat pencoblosan yaitu sampai pukul 5 petang akan berakhir. Ketika itu masih banyak pemilih yang belum menyalurkan suaranya, sementara izin yang didapat dari pihak otoritas Hong Kong hanya sampai pukul 5 petang.
Bisa ditebak, ketika TPS ditutup, protes pun datang dari ratusan buruh migran yang telah antre namun tak bisa mencoblos. Teriakan tidak puas bermunculan hingga menyerupai sebuah unjuk rasa. Kejadian ini pun terekam kamera yang kemudian diunggah di situs YouTube dan menjadikannya sebagai isu nasional.
Beragam Reaksi Bermunculan
Komisi II DPR langsung berteriak dan menyesalkan kisruh yang terjadi. Ricuh dinilai karena Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) tidak mempersiapkan diri dengan baik.
"Saya dan teman-teman DPR Komisi II sangat menyesalkan penyelenggara, apa yang terjadi di Hong Kong, bukti nyata penyelenggara luar negeri tidak mempersiapkan dengan matang," kata anggota Komisi II Jazuli Juwaini di Gedung DPR, Jakarta, Senin (7/7/2014).
Dia meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengakomodir keinginan para tenaga kerja Indonesia di Hong Kong yang tidak bisa menggunakan hak politiknya agar tak ada 1 suara pun tercecer.
"Harusnya dicari solusi yang terbaik, suara rakyat tak tersalurkan jangan karena persoalan teknis, karena ketidaksiapan penyelenggara," tegas Jazuli.
Hal senada disuarakan Ketua DPR Marzuki Alie yang mengatakan telah menyerahkan masalah tersebut pada KPU, tapi ia mengimbau agar hak suara pemilih tak dihilangkan.
"Kita serahkan ke KPU agar hak suara tidak hilang karena keteledoran penyelenggara Pemilu," tegasnya di tempat yang sama.
Marzuki juga menyesalkan kasus TKI mencoblos di Hong Kong terulang. Sebab, kasus serupa pernah terjadi dan antisipasi penyelenggara Pemilu dinilainya kurang.
"Ya tempo hari kasusnya hampir sama, para TKI hanya diizinkan untuk memberikan suara 1 hari saja, waktu itu tidak diselesaikan karena pencoblosan tidak cukup, itu seharusnya menjadi referensi perbaikan, rupanya terjadi lagi," terangnya.
Marzuki menambahkan, KPU seharusnya mengambil jalan darurat menghubungi perwakilan di Hong Kong untuk menambah dana agar bisa menyewa waktu lebih lama. "Seharusnya Komisi II memanggil KPU," tegas Marzuki.
Tanggapan lebih keras datang dari Ketua MPR Sidarto Danusubroto. Ia menuntut tanggung jawab dari Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Konsul Jenderal RI yang ada di Hong Kong.
"A big joke, WNI di mana pun harus diberi kesempatan menyatakan hak pilih. Saya nggak ngerti itu. Harus diatur supaya menggunakan hak pilih. Komisi I supaya panggil Menlu dan Konjen, tanyakan kenapa bisa gitu dan 500 orang kehilangan hak pilih. Ini anjuran saya," terangnya.
Politisi senior PDIP itu menegaskan dirinya hanya melihat kasus per kasus dan tak mau menduga-duga adanya strategi besar untuk menyudutkan pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Jokowi-JK karena adanya laporan bahwa pemilih yang tak bisa menyalurkan suaranya adalah pendukung pasangan tersebut.
"Bagi saya tiap WNI berhak memilih, beri kesempatan mereka. Itu bisa jadi cacat demokrasi ke depan," imbuhnya.
Jalan tengah ditawarkan anggota Komisi II DPR Nurul Arifin. Ia menerangkan, perlu dilakukan pemilihan ulang di Hong Kong, setelah ratusan WNI di sana terancam tak bisa menggunakan hak pilihnya.
"Menurut saya harus ya, yang belum diakomodir ini harus mendapatkan ruang dan waktu mencoblos kembali," kata Nurul.
Dia memastikan, hak konstitusional WNI di luar negeri perlu diakomodir dengan baik, tidak boleh ada yang tidak mendapatkan haknya untuk memilih. Ia juga menyindir alasan waktu yang membuat ratusan WNI tak bisa mencoblos.
"Dengan alasan waktu, yang sudah ngantre itu tidak bisa memilih. Saya kira ini tidak bijaksana. Harusnya KPPS di luar negeri harusnya memberikan waktu lebih untuk para warga negara untuk mencoblos," ujar Wasekjen Golkar itu.
Sementara Tim Advokasi Jokowi-JK meminta Bawaslu segera memanggil KPU sebagai penyelenggara pemungutan suara Pilpres 2014, dan Konsulat Jenderal RI di Hong Kong.
"Insiden ini yang mencederai proses demokrasi sebagaimana UU Pilpres Tahun 2008 Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 tentang hak memilih WNI pada hari pemungutan suara dapat menggunakan hak pilihnya," kata Ketua Advokasi Jokowi-JK Relawan Indonesia Hebat Taufan Hunnaeman di Media Center Bawaslu, Jakarta.
Karena itu dia meminta Bawaslu segera memanggil dan mengusut penyelenggara Pemilu dan KJRI Hong Kong yang menurutnya terindikasi mendukung pasangan lain.
Dia juga meminta Bawaslu untuk memberikan rekomendasi kepada KPU agar menggelar pemungutan suara ulang (PSU) Pilpres 2014 di Hong Kong. "Segera lakukan pemilihan ulang di Hong Kong bagi WNI yang kehilangan hak pilih," tegas Taufan.
KJRI dan Bawaslu Membantah
Sementara itu, pihak KJRI Hong Kong menegaskan bahwa pelaksanaan Pilpres 2014 telah dilakukan sebagaimana mestinya. "Sabotase tidak ada, sudah sesuai aturan," ujar pihak KJRI Hong Kong bagian Fungsi Penerangan dan Sosial, Sam saat dihubungi Liputan6.com.
Menurut Sam, pemilihan yang digelar PPLN sudah sesuai dengan yang diinformasikan. "Yang tidak bisa mencoblos, karena terlambat masuk ke dalam TPS. Kita mengumumkan waktu pencoblosan di TPS jam 09.00 sampai 17.00," urai Sam.
Lanjutnya, semua antrean pemilih juga sudah dilayani. "Sudah habis, malah over 5 sampai 10 menit dari jam 17.00. Namun, sekitar 10-15 menit kemudian. Teman-teman WNI yang menyatakan belum mencoblos baru datang," beber Sam.
Pihak Kementerian Luar Negeri juga melansir hal yang sama. "Sesuai dengan izin yang diberikan oleh Pemerintah Hong Kong yaitu sampai batas waktu pukul 17.00 mengingat Pilpres 2014 di Hong Kong dilaksanakan di ruang publik yakni di Victoria Park," seperti dilansir dari kemlu.go.id.
Dijelaskan pula bahwa Pilpres 2014 di Hong Kong dan Macau telah dilaksanakan pada tanggal 6 Juli 2014 yang diikuti oleh 23.569 pemilih di Hong Kong dan 1.568 pemilih di Macau.
Pilpres di Hong Kong juga dihadiri oleh 2 Komisioner KPU, yaitu Sigit Pamungkas dan Juri Ardiantoro, serta Ketua Bawaslu Muhammad.
"Setelah pelaksanaan Pemilu di Hong Kong ditutup, terdapat unjuk rasa yang dilakukan oleh para pemilih yang menyatakan diri belum menggunakan hak pilihnya," jelas keterangan itu.
Ketua Bawaslu Muhammad membenarkan kalau dirinya hadir di lokasi saat pencoblosan berlangsung. Dia mengatakan, pemberitaan terkait kericuhan tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
"Saya muslim, apa yang sampai di Tanah Air itu adalah blow up media yang luar biasa. Sekali lagi saya seorang muslim saya tidak mau menggadaikan puasa saya. Tidak mungkin kami tidak melayani hak warga negara kalau dia sedang dalam posisi antre di TPS," kata Muhammad di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Senin.
Muhammad menegaskan, ia sudah mengimbau kepada 2 Komisioner KPU saat itu jika ada warga negara Indonesia (WNI) sedang mengantre di TPS meski sudah pukul 17.00 waktu setempat, tetap diberikan hak konstitusinya hingga antrean habis.
"Kami pastikan kalau ternyata lewat dari jam 5 sore dia masih ngantre, saya akan sampaikan kepada Pak Sigit dan Pak Juri, Anda harus layani. Tapi (pukul 17.00) kosong TPS itu dan Victoria Park sudah kosong," tegasnya.
Namun setelah 30 menit TPS Victoria ditutup, lanjut Muhammad, tiba-tiba datang massa dan menyatakan belum memilih. Padahal kata Muhammad, jari mereka sudah bertinta tanda mereka sudah menggunakan hak pilihnya.
"30 Menit setelah dinyatakan ditutup tiba gerombolan orang datang menyatakan kami belum memilih. Sementara jarinya sudah warna hitam semua. Saya tanya, Mbak belum memilih? Sudah Pak. Ini solidaritas kami kepada beberapa orang yang belum memilih. Tapi media menganggap orang itu belum memilih. Demi Allah tidak seperti itu," tandasnya.
Ricuh Versi Migrant Care
Namun, keterangan itu dibantah Koordinator Desk Pemilu Migrant Care Syaiful Anas. Menurutnya, sejak awal sudah kelihatan tanda-tanda pencoblosan tidak akan berlangsung mulus.
"Ketika TPS dibuka pukul 9 pagi waktu Hong Kong, para pemilih sudah antre, bahkan ada yang datang dari jam 7. Dari antrean yang mengular itu kemudian satu per satu masuk ke pintu menuju ke TPS," ujar Syaiful dari Hong Kong saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta.
Bagi pemilih yang mendapat undangan, lanjut Syaiful, dia bisa mencoblos dengan segera meski tetap akan diperiksa berdasarkan barcode yang dikeluarkan oleh PPLN.
Tapi, bagi mereka yang belum dapat undangan, harus mengisi form validasi. Di situ ada nama, ID, alamat dan data lainnya. Setelah memasuki area TPS, mereka masih didata dan dicocokkan lagi.
"Jadi, meski sudah ada ID, mereka tetap dicocokkan lagi, ini yang memakan waktu lama sehingga antrean tambah panjang, padahal TPS siang itu masih kosong karena hanya yang membawa undangan yang bisa langsung memilih," ujarnya.
Bukti lain membludaknya pemilih yang tak bisa diantisipasi PPLN menurut Syaiful adalah pingsannya sejumlah pemilih yang tak tahan dengan cuaca panas.
"Antrean makin siang makin panjang, sekitar jam 1 sudah banyak teman-teman yang antre pingsan. Saya hitung ada 10 orang yang pingsan dan mereka tengah berpuasa," jelas Syaiful.
Kendati sudah ada yang pingsan, menurut Syaiful, tak ada keinginan dari PPLN untuk mempercepat pelayanan. "Jam 3 siang kita melihat antrean tetap panjang, kelihatan dari PPLN agak bingung dan gusar," jelasnya.
Anggota PPLN kemudian membuka pintu sebelah kanan sehingga antrean sedikit terurai. "Pelayanan memang mulai longgar, tapi waktunya sudah mepet, termasuk saya memilih masuk kurang 10 menit dari jam 5 sore, saya tidak dapat undangan, nama saya ditulis manual," jelas Syaiful.
Ketika TPS ditutup pukul 5 sore, Syaiful mengaku melihat ada sekitar 500 sampai 1.000 pemilih yang belum mencoblos. Sayang Ketua PPLN tidak merespons dan tidak memberikan solusi bagi mereka.
"Ketua Bawaslu Pak Muhammad dan Komisioner KPU Sigit yang masih ada di situ menjadi sasaran kemarahan para pemilih yang gagal mencoblos," jelasnya.
Syaiful membantah keterangan dari pihak PPLN yang mengatakan TKI yang demo sebagian adalah mereka yang sudah mencoblos. Hal itu terbukti dari jarinya yang sudah bertinta.
"Bukan yang sudah memilih terus bergabung. Mereka yang belum memilih kan minggir dan berteduh karena cuaca panas. Ketika mereka dengar pintu akan ditutup, mereka berlari dan protes. Saya kira tidak benar bahwa mereka adalah yang telah mencoblos," tandas Syaiful.
Dengan semua fakta, Direktur Migrant Care Anis Hidayah kepada Liputan6.com, menyatakan akan melaporkan PPLN Hong Kong ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait hal itu.
"Migrant Care akan segera melaporkan PPLN Hong Kong kepada DKPP RI yang menghalangi TKI untuk memilih di Victoria Park. PPLN Hong Kong tidak boleh dibiarkan sama sekali melanggar hak konstitusional WNI untuk memilih," tegas Anis.
Apalagi, kata Anis, PPLN Hong Kong punya andil besar dalam mengelola TPS dengan jumlah pemilih yang besar. Secara teknis, PPLN pelayanannya kurang memadai.
"PPLN semestinya menyambut gembira membludaknya pemilih dengan memfasilitasi semua pemilih di Hong Kong untuk mencoblos, bukan menghalangi," tegas Anis.
Anis menjelaskan, dugaan pelanggaran PPLN sudah dimulai ketika sejak pagi. Sebelum TPS dibuka, antrean TKI di Victoria Park sudah mengular. "Jumlah pemilih di Hongkong membludak, namun manajemen TPS PPLN Hongkong kurang memadai. Registrasi pemilih hanya ada 1 line (baris)," pungkasnya.
Dengan semua fakta yang dibeberkan itu, satu hal yang sudah pasti adalah KJRI Hong Kong dan PPLN tidak pernah belajar dari pengalaman. Karena ini bukan kasus pertama, sangat mengherankan kenapa PPLN tidak membuat perubahan dan perbaikan, baik dari sisi prosedur mencoblos atau pemilihan waktu yang lebih leluasa.
Sedangkan selebihnya, fakta yang ada masih bisa diperdebatkan dengan bukti dari masing-masing pihak. Bola ada di tangan Bawaslu dan DKPP untuk menyelidiki kasus ini agar tak menjadi lumrah di kemudian hari.
Di luar semua itu, bahwa 1 suara wajib dijaga dan dihitung dalam sebuah Pemilu, tak bisa ditawar. 1 Suara itu sakral dan 1 suara itu menentukan. Sehingga, gagalnya seorang pemilih menyalurkan haknya karena kesalahan negara yang diwakili penyelenggara Pemilu jelas telah mencederai demokrasi itu sendiri.
Adalah sebuah kegembiraan melihat para pemilih yang begitu antusias mendatangi TPS tanpa paksaan dan intimidasi. Ini membuktikan masyarakat makin dewasa dan menyadari pentingnya suara mereka. Sementara, sangat disesalkan kalau di sisi lain, yaitu penyelenggara Pemilu, belum terlatih menghadapi gairah berdemokrasi para pemilih. (Rmn)
Pemanasan Pilpres dari Hong Kong
Ratusan WNI yang umumnya buruh migran memprotes petugas PPLN di Hong Kong karena tak bisa menyalurkan hak suaranya.
Advertisement