Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla diimbau meninggalkan istilah evaluasi 100 hari pertama. Hal itu terkait dengan penilaian awal kinerja kabinet.
"Di samping karena pertimbangan jadwal anggaran, di mana presiden terpilih baru dilantik pada akhir Oktober, istilah 100 hari juga dirasa tidak berjiwa revolusioner," kata pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Tulus Warsito di Yogyakarta, Rabu (30/7/2014).
Tulus mengatakan, penggunaan istilah 100 hari kinerja pemerintahan tidak efektif bagi pemerintahan baru mendatang. Sebab Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 pada akhir Desember sudah habis, sementara pemerintahan baru sedang berjalan 3 bulan.
"Itu akan merugikan pemerintahan baru, APBN sudah akan habis disaat pemerintahan baru mulai berlangsung," ujar dia.
Menurut ketua Program Doktor Ilmu Politik UMY itu, pada pemerintahan mendatang perlu perubahan pola penilaian awal kinerja kabinet. Bukan dengan istilah 100 hari melainkan dengan istilah Kinerja Semester Pertama.
"Memang meniru istilah-istilah pada pemerintahan SBY tidak salah dan buruk, namun perlu ada perubahan," ungkap Tulus.
Istilah semester, menurut dia, tidak terlalu jauh berbeda bentangan waktunya dari 100 hari menjadi 180 hari. Selain itu penggunaan istilah semester juga cukup untuk memperoleh anggaran yang memadai.
"Istilah semester juga dirasa lebih bernuansa akademis dan universal, sementara 100 hari lebih bernuansa seperti peringatan hari kematian," tukas Tulus. (Ant)
Tak Revolusioner, Evaluasi 100 Hari Perlu Ditinggalkan Jokowi
Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan presiden dan wapres terpilih Jokowi-JK diimbau meninggalkan istilah evaluasi 100 hari pertama
Advertisement