Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Hukum dan HAM yang juga pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menolak menjadi kuasa hukum pasangan Prabowo-Hatta dalam sengketa hasil pilpres 2014 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia beralasan, sulit membeberkan bukti kecurangan yang diduga dilakukan lawan Prabowo-Hatta, yakni Jokowi-JK.
"Kalaupun saya menyadari ada kecurangan itu, tapi pembuktian sangat sulit. Beda dengan pilkada, lebih mudah pembuktiannya. Makanya saya tidak mau menangani perkara (sengketa pilpres) itu kemarin," kata Yusril di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (1/8/2014).
Ia menjelaskan, bila kubu Prabowo-Hatta kuat dalam pembuktian tentang adanya penggelembungan suara atau terjadinya penyimpangan dari selisih 8 juta lebih suara itu, dia meminta agar dibuktikan dengan fakta yang ada. Namun, lanjut Yusril, mengaca pada pengalaman sengketa pemilihan anggota DPR/DPD sebelumnya, sulit untuk membuktikan ada kecurangan dalam pilpres 9 Juli 2014.
"Karena sulit itu saya tidak mau muncul di MK kan? Saya bilang sulit pembuktiannya," ujar dia.
Meski demikian, Yusril menilai apabila kubu Prabowo-Hatta mampu membuktikan adanya penggelembungan suara dengan dalil-dalil yang kuat dan meyakinkan majelis hakim konstitusi, bisa jadi gugatan Prabowo-Hatta akan dimenangkan. "Ada kemungkinan hakim bakal mengabulkan setelah melihat fakta-fakta di persidangan," ujar dia.
Yang jelas, dengan semua alasan itu Yusril mengambil posisi netral dari kedua belah pihak, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK. Meskipun sempat ditawari sebagai kuasa hukum, hal itu ditolaknya karena netralitas.
"Ke 2 belah pihak menanyakan pendapat kepada saya. Saya ditanya, ya saya jawab saja pertanyannya. Tapi kalau saya mewakili sebagai kuasa hukum salah satu pihak saya dianggap tidak netral lagi," tandas Yusril. (Sun)
Ogah Bela Prabowo-Hatta, Yusril: Sulit Beberkan Bukti Kecurangan
Yusril mengaku sulit untuk membuktikan kecurangan pilpres bila melihat pada pengalaman waktu sengketa pemilihan anggota DPR/DPD.
Advertisement