Liputan6.com, Jakarta - Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) dinilai sebagai satu di antara penyebab kisruh Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Dari sisi hukum, DPK dan DPKTb juga disebut tak memiliki dasar hukum.
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menjelaskan hal itu. Menurut Margarito, sebenarnya tidak tepat jika menyebut DPK dan DPKTb menyebabkan ketidakpastian hukum, melainkan memang tidak memiliki dasar hukum.
"Anda tidak menemukan satu ketentuan, baik berupa pasal, ayat, atau huruf dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden. Apa akibat hukumnya? Akibat hukumnya adalah keberadaan dan pengunaan DPK serta DPKTb itu tidak sah," kata Margarito, Jakarta, Rabu (13/8/2014).
Menurut Margarito jika DPK dan DPKTb itu digunakan di seluruh Indonesia pada pemungutan suara Pilpres 9 Juli lalu, hal itu dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran yang bersifat masif. Tentu hal itu mempunyai akibat hukum.
"Bila DPK dan DPKTb itu digunakan di seluruh Indonesia, dapat dikualifikasikan pelanggaran dalam Pilpres ini bersifat masif. Akibat hukumnya adalah pemungutan suara ulang harus dilakukan, dengan didahului pembenahan dan atau pembetulan atas seluruh DPT," kata dia.
Margarito juga menanggapi mengenai tudingan KPU dan tim Joko Widodo-Jusuf Kalla bahwa gugatan yang diajukan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) lantaran menarik diri. Bagi dia, menarik diri bukan berarti mundur dari Pilpres.
"Mundur memiliki tata cara tertentu dan diatur dalam UU Nomor 42 tahun 2008. Hati-hati bicara soal mundur. Sebab jika Prabowo mundur, maka Jokowi tidak sah. Mengapa? Dengan mundurnya Prabowo, maka yang tersisa hanya satu pasangan calon. Tidak bisa pemilu bila cuma satu pasang calon," ujar Margarito.
Baca juga:
Novela Disebut Bohong, Ini Penjelasan Kuasa Hukum Prabowo-Hatta
Usai Sidang Pengacara Prabowo-Hatta Nilai KPU Sembunyikan Sesuatu
Novela Nawipa, Pengusaha Emas Merintis dari Nol
(Ans)