Sukses

Pengacara Ini 'Ngotot' Lanjutkan Sengketa Pilpres ke Pengadilan

Setelah didesak rakyat mana yang memberikan mandat, ternyata hanya ada 8 orang yang mereka wakili.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Mahkamah Kontitusi (MK) Hamdan Zoelva telah memutuskan menolak keseluruhan gugatan kubu Prabowo-Hatta dalam sengketa Pilpres 2014. Namun 8 pengacara yang tergabung dalam Alamsyah Hanafian and Partners tetap ngotot melanjutkan sengketa Pilpres 2014.

Mereka mendatangi ruang Fraksi Partai Gerindra di lantai 17 Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat. Kedatangan pengacara tersebut disambut politisi Partai Gerindra Martin Hutabarat.

Menurut Martin, kedatangan para pengacara tersebut ingin menyampaikan ketidakpuasannya atas putusan MK. "Sebenarnya maksud kedatangan mereka untuk menyampaikan ada perasaan ketidakpuasan mereka. Kita akan tampung dan kita akan salurkan kepada komisi yang berwenang," kata Martin, Jumat (22/8/2014).

Alamsyah Hanafiah mengklaim mendapat kuasa rakyat untuk melanjutkan perkara sengketa Pilpres 2014. ‎"Walaupun kami ini tim pengacara Koalisi Merah Putih Prabowo-Hatta, tapi ‎khusus hari ini kita dapat kuasa dari rakyat," ujarnya.

Setelah didesak rakyat mana yang memberikan mandat, ternyata hanya ada 8 orang yang mereka wakili. ‎"Klaim kami tidak ribuan, karena prinsipnya hak 1 orang warga negara sama dengan yang lain. Kami hanya mewakili 8 warga negara," cetus Alamsyah.

‎Mereka bermaksud untuk mengajukan permohonan kepada lembaga tinggi negara agar membentuk Pansus Pilpres dan menunda pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Ini karena mereka masih berproses dalam upaya hukum gugatan sengketa Pilpres di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Karena ini masih sengketa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kami daftarkan pada 14 Agustus 2014 sebelum putusan MK dan DKPP kemarin," tandas Alamsyah.

Dalam keterangannya, KPU Pusat, Jokowi-JK, dan KPU DKI adalah pihak tergugatnya. Sengketa itu terdaftar di PN Jakpus No. 387/PDT/-2014/PN,JKT.PST. Pihak penggugat adalah atas nama 'Rakyat Indonesia Selaku Pemilih' yang notabene hanya 8 orang.

Dalam gugatannya, mereka mempermasalahkan pembukaan kotak suara oleh KPU pada 25 Juli 2014. Pembukaan kotak suara itu dinilainya dilakukan KPU sebelum mendapat izin dari MK pada 8 Agustus 2014.