Liputan6.com, Jakarta - Oleh: Dewi Divianta, Taufiqurrohman, dan Silvanus Alvin
Indonesia saat ini punya dua presiden. Yakni Presiden saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi). Kedua Kepala Negara itu bertemu di Pulau Dewata, Bali, Rabu 28 Agustus 2014 malam untuk membahas transisi atau peralihan kepemimpinan.
"Tongkat estafet" dari SBY ke Jokowi secara resmi akan dilakukan pada 20 Oktober 2014 mendatang. Jokowi segera menjabat sebagai Presiden ke-7 RI, didampingi Jusuf Kalla (JK) yang sebelumnya pernah menjadi wakil SBY.
SBY mengungkapkan pertemuan yang berlangsung selama dua jam tersebut membicarakan soal kebijakan pemerintahan dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2014 dan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN).
"Tentulah kami bicarakan secara konstitusi hal-hal yang berkaitan dengan kenegaraan dan agenda kepemerintahan. Utamanya akhir 2014 ini dan awal 2015 mendatang," jelas SBY di Hotel Laguna, Nusa Dua Bali, Rabu 28 Agustus 2014 malam.
"Kami juga membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan dan program-program pemerintah yang tengah dijalankan, termasuk RAPBN 2015, termasuk APBN perubahan 2014 ini. Pak Jokowi saya persilakan untuk menyampaikan pandangan dan pemikiran beliau," imbuh dia.
Presiden ke-6 RI itu menambahkan, pertemuan tersebut merupakan gerbang pembuka bagi sejumlah kementerian dan jajarannya di bawah pemerintahannya untuk berdiskusi dengan Tim Transisi Jokowi.
"Dengan dibukanya kultur untuk konsultasi dalam rangka transisi kepemimpinan, maka Tim Transisi (Jokowi) sudah dapat berkomunikasi secara resmi dengan jajaran pemerintahan yang telah kami jalankan," ujar SBY.
Jokowi mengaku dirinya banyak bertanya, meminta pandangan dan pendapat kepada SBY yang sudah 10 tahun menjalankan nakhoda pemerintahan di Indonesia. Salah satu hal yang dibahas adalah soal Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2015 yang ditentukan SBY dan dijalankan Jokowi.
"Ini tradisi baru yang kita bangun pada pemerintah Pak SBY dan pemerintahan nantinya. Kami ingin agar ada sebuah kesinambungan pada pemerintahan sekarang dan pemerintah yang baru," jelas Jokowi
"Tadi saya meminta banyak sekali pandangan dan pikiran dari Presiden SBY, terutama hal-hal yang berkaitan dengan APBN 2015," imbuh dia.
Mantan Walikota Solo tersebut menambahkan, Tim Transisi yang ia bentuk segera memulai berdiskusi dengan Kementerian-kementerian di bawah pemerintahan SBY dalam rangka menetapkan kebijakan ke depan.
"Memang tadi kami berbicara agak detail. Tapi nanti lebih detail, kami tindak lanjuti oleh Tim Transisi dengan kementerian yang ada," urai Jokowi.
"Ini adalah sebuah awal agar secepatnya kami bisa mempersiapkan, merencanakan. Sehingga kesinambungan pemerintah ini betul-betul bisa berjalan dengan baik dan menjadi sebuah tradisi baru di Indonesia."
Harga BBM Naik?
Harga BBM
Dalam kicauannya sebelum bertemu Jokowi, SBY mengungkapkan bahwa dirinya siap merespons bila Jokowi memintanya untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada akhir masa jabatannya.
"Ada yang mengatakan, Pak Jokowi akan mendesak saya untuk menaikkan harga BBM," tulis SBY dalam akun Twitternya @SBYudhoyono, 27 Agustus. "Saya sudah siap meresponnya, jika ditanya. *SBY*."
Namun dalam konferensi pers bersama, baik SBY maupun Jokowi tidak membeberkan soal kenaikan BBM.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Eriko Sotarduga, kenaikan harga BBM merupakan hal yang paling penting dibicarakan Jokowi dan SBY. Menurut dia, subsidi BBM saat ini terlalu tinggi, sehingga tidak bisa dimanfaatkan untuk program-program lain dalam Pemerintahan Jokowi-JK mendatang
Padahal, lanjut dia, sudah banyak program yang dirancang Jokowi-JK, seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar yang membutuhkan dana tidak sedikit.
"Kalau pemerintahan saat ini bisa mengurangi subsidi BBM untuk meng-adjust ke program-program lain, tentu akan lebih baik. Paling utama memang pembahasannya adalah soal subsidi BBM ini," papar Eriko.
Deputi Tim Transisi Andi Widjajanto mengatakan, ada beragam opsi yang sudah disiapkan Jokowi untuk menanggulangi masalah BBM. Salah satunya dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, dengan angka paling tinggi kemungkinan mencapai Rp 3.000.
"Opsi-opsi sudah dibuat, nanti tinggal Pak Jokowi memutuskan," kata Andi. "Opsi-opsi sudah disampaikan, mulai dari opsi 500, 1.000, 1.500, akan dimusyawarahkan bareng-bareng antara SBY dan Jokowi, opsi kenaikan paling tinggi 3.000 langsung di 2014 atau disebar beberapa kali," ungkap Andi.
Ada 5 alasan Indonesia harus menaikkan harga BBM-nya. Pertama, harga terlalu murah dibandingkan dengan negara lain. Kedua, kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan DPR bersama pemerintah setiap tahun selalu terlampaui, sehingga disinyalir jebolnya kuota ini karena penyelundupan di mana-mana.
Ketiga, sejak awal dekade 2000, Indonesia telah beralih status dari negara eksportir menjadi net importir minyak. Keempat, subsidi BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
Terakhir, seperlima APBN telah tersedot untuk subsidi energi yang bersifat konsumtif. Hal ini membuat ruang gerak belanja negara untuk sektor produktif yang lebih bersifat jangka panjang menjadi terbatas.
Opsi-opsi ini muncul setelah beberapa pekan terakhir terjadi kelangkaan BBM di berbagai SPBU di beberapa daerah di Indonesia.
Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Demokrat Ramadhan Pohan meminta kubu Jokowi untuk ingat sikap PDIP sebelumnya, yang lantang menolak kenaikkan BBM pada saat Pemerintahan SBY. Menurut dia, PDIP menjadi fraksi yang paling santer menentang kebijakan pemerintah untuk kenaikan harga BBM.
"Kalau kata orang Myanmar, Budha, orang itu harus ingat karma. Nah, parpol juga gitu. Dulu saat oposisi asal njeplak (menolak kenaikan BBM). Jadinya ini mereka jiper sama tuntutan rakyat," kata Ramadhan.
Dia menjelaskan, langkah SBY untuk menaikkan harga BBM atas dasar kepentingan nasional, bukan karena kehendak partai atau pihak luar yang mendukung maupun menentang.
"SBY nggak pernah naikkan atau nurunkan harga BBM karena tekanan politik parpol. Kebijakan Pak SBY solid dan konsisten untuk rakyat. Sekarang pun begitu. SBY, mau naikkan atau turunkan atau status quo harga BBM, juga bukan karena PDIP. Ukuran Pak SBY itu hanya rakyat dan kepentingan nasional. Bukan pencitraan," ujar Ramadan.
"Belum berkuasa, eh kini sudah mulai nggak PD (percaya diri). Makanya ngono yo ngono, ning ojo ngono," tandas dia.
Transisi Budaya Baru
Advertisement
Transisi Budaya Baru
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Max Sopacua menilai, pertemuan antara SBY dan Jokowi di Bali merupakan budaya baru. Bahkan menurut dia, hal yang dilakukan keduanya perlu dilestarikan dan patut menjadi contoh yang baik.
"Saya kira ini menjadi budaya baru ya. Kita perlu lestarikan pada pemerintahan-pemerintahan berikutnya. Calon presiden atau presiden terpilih bertemu dengan presiden yang mau menyerahkan jabatannya," kata Max.
Anggota Komisi I DPR itu mengatakan, pertemuan keduanya sangat penting karena menyangkut pembicaraan nasib bangsa Indonesia ke depannya. Dia menambahkan, Jokowi sangat tepat mengajak SBY untuk bertemu. Karena SBY lebih berpengalaman setelah menjadi presiden selama 2 periode berturut-turut.
"Ada semacam pembicaraan (bangsa) ke depan, karena sesuai pidato Pak SBY kemarin di DPR terkait penyampaian RAPBN. Akhirnya beliau menyampaikan dia bersedia, bertemu dan berkonsultasi dengan presiden terpilih demi menyelesaikan atau pun paling tidak gambaran konsultasi pemerintahan ke depan," papar dia. "Karena sejak awal Pak Jokowi dan Pak JK berminat bertemu Pak SBY."
Politisi senior PDIP Pramono Anung memastikan, transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi tak seperti saat Megawati Soekarnoputri menyerahkan kekuasaan ke SBY yang diwarnai ketegangan politik.
"Ini pertama kali peralihan kepemimpinan, pertama kali yang berlangsung damai. Walau pun ada ketegangan ya dulu antara Pak SBY dan Bu Mega damai juga ya," kata Pramono di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu 27 Agustus 2014.
Pramono mengatakan dulu memang sempat terjadi ketegangan politik, namun hal itu dapat dilewati dengan baik, bahkan menjadi model demokrasi dunia. "Jadi pertemuan antara dua pimpinan ini akan sangat penting bagi kelangsungan kebangsaan kita," ujar Wakil Ketua DPR tersebut. (Rmn)