Liputan6.com, Jakarta - Lahirnya Undang-Undang Pilkada terus menuai penolakan. Banyak pihak menilai keputusan itu tidak dapat diberlakukan karena terdapat beberapa kesalahan prosedural.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Fitri Hari mencatat, sedikitnya ada 2 hal yang dinilai cacat prosedural. Sehingga Undang-undang Pilkada itu tidak bisa diberlakukan.
Pertama, pada Tatib DPR Bab XVII Pasal 277 ayat 1 menyebutkan, keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir. Fitri menjelaskan, saat RUU Pilkada disahkan menjadi undang-undang jumlah anggota DPR yang hadir tidak memenuhi persyaratan.
"Saat itu, anggota DPR yang hadir 496 anggota. Yang setuju RUU Pilkada 226 anggota. Ini belum memenuhi syarat karena seharusnya yang setuju 248 anggota," kata Fitri di kantor LSI, Jakarta, Kamis (2/10/2014).
Selain itu, undang-undang pilkada juga dinilai cacat substansial. Sebagai wakil rakyat, anggota dewan tidak meperhatikan aspirasi rakyat yang jelas-jelas menolak RUU Pilkada.
"Hak rakyat memilih pemimpinnya sendiri yang sudah berlangsung 9 tahun dirampas RUU Pilkada. Padahal, temuan LSI sebelumnya, 81,25% responden setuju pilkada langsung," tutup Fitri.
Alasan LSI Nilai Pengesahan RUU Pilkada Cacat Prosedur
Banyak pihak menilai keputusan itu tidak dapat diberlakukan karena terdapat beberapa kesalahan prosedural.
Advertisement