Sukses

Mega-SBY, Gayung yang Belum Bersambut

Kurang harmonisnya hubungan SBY dan Megawati membuat kesamaan pandang Partai Demokrat dan PDIP tak bisa digolkan di parlemen.

Liputan6.com, Jakarta - Untuk kesekian kalinya Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan keinginan untuk bisa bertemu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Namun, lagi-lagi hanya nada kekecewaan yang dipaparkan SBY yang Ketua Umum Partai Demokrat itu.

"Sudah sejak lama saya sebenarnya ingin bertemu beliau (Megawati). Sudah sejak 10 tahun lalu atau beberapa bulan terakhir ini atau setelah kemarin kemelut politik yang relatif keras," ujar SBY di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Rabu 1 Oktober malam.

SBY juga mengatakan, merupakan hal positif bila terjadi pertemuan antara dirinya dan Megawati untuk bisa duduk bersama memikirkan persoalan bangsa ini. Seperti pertemuan dirinya dengan Presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla

"Dan sebenarnya baik kalau di antara kami saling menyapa, saling berbincang-bincang agar negara ini tidak gaduh secara politik," kata SBY lagi.

Namun demikian apa hendak dikata, SBY pun mencurahkan hatinya, bahwa penantiannya selama 10 tahun urung terjadi. Mungkin, kata SBY ada satu dan lain hal yang melatar belakanginya.

"Tapi keputusan saya, baiklah kalau para pemimpin bangsa ini bisa memelihara hubungan baik dan kemudian memikirkan nasib bangsa ini jangan sampai politiknya terlalu gaduh, pemerintah tidak bisa bekerja yang rugi akhirnya juga rakyat," cetus SBY.

Kalimat SBY tersebut agaknya bisa memberi sedikit gambaran tentang kondisi batin Partai Demokrat dan PDI Perjuangan (PDIP) dalam konstelasi politik mutakhir, khususnya perkembangan politik di parlemen yang sangat dinamis dan memanas beberapa waktu terakhir.

Banyak yang mengatakan, dari hasil Pileg 2014 serta Pilpres 2014 yang kemudian mengerucutkan partai politik dalam 2 kubu koalisi, PDIP sangat berjodoh dengan Partai Demokrat. Dia atas kertas, kemungkinan Partai Demokrat merapat ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) lebih besar dibandingkan dengan Koalisi Merah Putih (KMP).

Alasannya, Partai Demokrat tidak terikat dengan salah satu koalisi besar yang ada dan posisi Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden terpilih yang diusung KIH tentu lebih memudahkan pendekatan secara politik kepada SBY selaku presiden yang akan segera mengakhiri pemerintahannya.

Selain itu, dalam sejumlah isu besar, antara Partai Demokrat dengan KIH terdapat kesamaan pandangan. Ambil contoh dalam sistem pilkada, keduanya setuju dengan pilkada langsung atau tanpa melalui DPRD. Namun, persamaan itu tak dikelola dengan baik sehingga menghasilkan sebaliknya, Partai Demokrat malah merapat ke KMP.

Gagal menarik Partai Demokrat membuat KIH harus membayar mahal dibuat tak berkutik oleh strategi yang ditampilkan KMP. Terakhir, Kamis dini hari, kursi pimpinan DPR yang begitu strategis disapu bersih oleh wakil dari parpol pendukung KMP. Tak ada yang disisakan untuk parpol pendukung pemerintah.

Ini bukan kekalahan pertama KIH. Sebelumnya, KMP secara berturut-turut telah membuat tumbang KIH dalam sejumlah agenda politik penting di parlemen yang memang dikuasai oleh KMP, namun bukan berarti tak bisa dimenangkan oleh KIH.

Yang pertama adalah saat revisi Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD di mana akhirnya diputuskan untuk mengubah Pasal 84, yaitu keputusan bahwa Kursi Ketua DPR tak otomatis jadi milik partai pemenang pemilu. Ini jelas kerugian besar bagi KIH, khususnya bagi PDIP yang menjadi pemenang Pileg 2014.

Kekalahan berikutnya adalah saat disahkannya Peraturan Tata Tertib DPR, khususnya dalam pasal yang mengatur soal tata cara pemilihan anggota DPR. Di Pasal 28 ayat 1, terdapat aturan soal pemilihan pimpinan DPR dengan sistem paket. Aturan ini menyesuaikan UU MD3 yang menetapkan soal pemilihan sistem paket ini.

Kekalahan telak selanjutnya adalah saat pengesahan RUU Pilkada. Dalam RUU tersebut, KMP menginginkan agar proses pemilihan kepala daerah tidak lagi dilakukan secara langsung melainkan lewat DPRD. Untuk yang ini pun KIH akhirnya harus mengalah.

Banyak pengamat yang menyebutkan gagalnya KIH yang dimotori PDIP menarik hati Partai Demokrat karena hubungan SBY dan Megawati yang tak kunjung cair. Tidak adanya komunikasi di antara pemimpin kedua partai membuat Partai Demokrat dan PDIP bergerak setengah hati.

Sinyal yang dikirim SBY sejak lama sebenarnya sudah memperlihatkan keinginan untuk menjalin komunikasi yang terputus dengan Megawati sebagai imbas persaingan pada Pilpres 2004.

Peristiwa pengunduran diri SBY dari Kabinet Megawati 2004 silam, dianggap sebagai titik awal perseteruan keduanya. Apalagi, SBY dengan partainya berhasil merebut kursi pemerintahan selanjutnya. Sementara Megawati dan partainya terpaksa beroposisi hingga kini.

Tak hanya SBY, sejumlah petinggi Partai Demokrat juga mendorong pertemuan kedua tokoh. "Kalau memungkinkan (SBY bertemu Megawati) kenapa tidak? Dari 2004 (SBY) selalu mau ketemu (Megawati), selalu ada rencana. Mungkin belum ada timing (waktu)," ujar Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan di kediaman SBY di Puri Cikeas, Bogor, Jawa barat, Jumat 25 April 2014.

Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarok juga mengatakan hal serupa. "Berkali-kali Pak SBY berkomunikasi, Bu Mega yang nggak pernah merespons. Kita masih nunggu sikap Bu Mega. Sesungguhnya Pak SBY dari dulu berusaha," ujar Mubarok.

Menurut Mubarok, koalisi bisa terjadi bila Megawati mengakhiri kekakuannya. Tapi jika tidak, sulit mewujudkan kedua partai bisa bersatu.

"Sekarang kan dua-duanya usai. Pak SBY usai, Bu Mega lewat waktu. Ini saatnya rekonsiliasilah. Bukan untuk kepentingan masing-masing, tapi untuk kepentingan pembelajaran pada generasi," ucap Mubarok.

Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso bahkan mengaku pernah berusaha mempertemukan keduanya meski berakhir dengan kekecewaan.

"Saya pernah fasilitasi pertemuan mereka sewaktu masih jadi Gubernur, tapi karena pada saat itu pendek waktunya. Kita tentu semua berharap kedua tokoh bangsa ini bisa silaturahmi. Langkah baiknya ya memang ketemu," kata Sutiyoso di sela-sela acara peresmian pemindahan Pasar Klewer ke Pasar Raya di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Kamis 2 Oktober 2014.

Demikian pula dengan adik ipar SBY, Pramono Edhi Wibowo yang mengaku ingin menghentikan perang dingin SBY-Mega. Edhie merasa sekarang saat yang tepat memperbaiki hubungan keduanya, karena dulu ia hanya ajudan Mega, tapi sekarang sudah tidak lagi.

"Dulu saya nggak ada kapasitas untuk itu, karena dulu saya cuma ajudan. Untuk sekarang ini, saya sama-sama capres. Kalau ada kesempatan mungkin bisa memperbaiki itu," kata Edhie di Sekretariat Konvensi Capres Demokrat, Jalan Pati Unus No 75, Jakarta Selatan, Rabu 8 Januari 2014.

Sayang, semua seruan dan harapan itu tak terwujud. Komunikasi antara Partai Demokrat yang terjalin selalu hanya antara SBY dan petinggi PDIP lainnya, bukan Megawati.

"Yang dikirim Bu Mega, JK dan Surya Paloh. Padahal kita maunya ketemu siapa? Bu Mega kan. Pak SBY itu punya hati dan rasa, kurang apa Pak SBY merendah? Dia presiden, dia ingin bertemu Bu Mega tapi Bu Mega sendiri yang nggak mau," kata Juru Bicara Partai Demokrat Ruhut Sitompul, di Gedung DPR, Kamis 2 Oktober 2014.

Ruhut pun menegaskan, jangan salahkan SBY jika nanti hubungan keduanya tidak bisa mencair. Bukan karena SBY tidak mau, namun karena sikap Megawati yang tidak bersedia untuk bertemu SBY.

"SBY bukan tipe penutup pintu (pendendam). Mohon jangan salahkan Pak SBY. Saya paling tahu, Pak SBY bersedia ketemu. Pak SBY itu tokoh nasional, tak ada masalah Bapak mau ketemu siapa di mana. Tapi Bapak mau ketemu berdua (dengan Megawati) supaya tulus," tandas Ruhut.

Namun, sinyaleman bahwa Megawati tak mau bertemu SBY dibantah internal PDIP, sementara Megawati sendiri memilih tetap berdiam diri. Politisi PDIP Aria Bima, misalnya, menegaskan bahwa Megawati sebenarnya ingin menjalin komunikasi dengan SBY. Bahkan Mega sudah mencoba menghubungi SBY.

"Tidak benar Bu Mega tidak mau ketemu SBY. Bu Mega ketemu Pak SBY, it's ok. Tapi semalam (SBY) sangat kekanak-kanakan karena meminta Bu Mega mendatangi Pak SBY dan pertemuan dilakukan harus secara formal," kata Aria di gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis 2 Oktober 2014.

Menurut Aria, sikap SBY tersebut tak ubahnya seperti pencitraan diri. Ia pun teringat pada saat pengesahan RUU Pilkada oleh DPR. Saat itu Partai Demokrat menyatakan akan mendukung Pilkada langsung namun kenyataannya anggota Fraksi Demokrat justru melakukan aksi walk out. "Substansinya seperti UU Pilkada. Siang (bicara) kedelai, sore tempe," tandas Aria.

Ketua Fraksi PDIP Puan Maharani juga mengungkapkan hal yang sama. Puan mengatakan, Megawati ingin bertemu dengan SBY, namun tidak direspons dan akhirnya SBY hanya bertemu dengan Jokowi. "Rapat bertemu dengan SBY, tak menghasilkan apa-apa, ditunggu hingga pukul 19.30, tetapi Demokrat memilih ke KMP," tegas Puan.

Dengan semua 'drama' itu, apakah sudah habis harapan melihat Partai Demokrat berjalan seiring dengan PDIP atau KIH? Sejatinya masih ada harapan, karena Presiden SBY dalam waktu dekat akan mengeluarkan Perppu Pilkada untuk mengembalikan sistem pilkada langsung dan tidak melalui DPRD.

Karena mengusung isu yang sama, tak ada salahnya PDIP yang memimpin KIH mencoba berkomunikasi lagi dengan Partai Demokrat agar tak lagi dikalahkan tanpa balas oleh KMP.

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Fitri Hari mengatakan, sikap Megawati menjadi kunci disahkannya Perppu Pilkada. Dengan Megawati membuka hati untuk partai lain, khususnya Partai Demokrat agar saat voting bisa memiliki suara lebih banyak.

"Saatnya Megawati membuka diri, bekerja sama dengan SBY, Hatta Rajasa atau ketua umum partai (pendukung) Koalisi Merah Putih lainnya agar menguasai mayoritas DPR," kata Fitri di Kantor LSI, Jakarta, Kamis 2 Oktober 2014.

Megawati disarankan dapat melunakkan hatinya sendiri untuk lebih terbuka dengan partai lain. Sebab, hubungan baik di parlemen juga akan berimbas pada jalannya pemerintahan Jokowi-JK ke depan.

"Megawati harus mulai merangkul, aktif berkomunikasi, dan melupakan luka masa lalu demi kepentingan Indonesia yang lebih besar," ujar Fitri.

Ini mungkin sinyal dan ujian terakhir untuk Megawati dan PDIP yang dikirim Demokrat serta asa pamungkas yang ditebar SBY untuk bisa bertatap muka dengan mantan atasannya itu.

SBY dan Demokrat jelas berada di atas angin. Sebagai partai yang bebas untuk bergerak ke mana suka, Demokrat beserta SBY tak lagi dibebani sebagai partai penguasa yang justru kini diambil alih PDIP.

Sangat menarik untuk melihat perkembangan beberapa hari ke depan. Ketika urusan hati yang terluka di masa lalu berhadapan dengan harapan besar publik untuk merebut kembali hak memilih langsung mereka yang dirampas, masihkah nurani itu tetap membeku? Â