Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik mengharapkan semua komisioner KPU provinsi mempunyai catatan masalah dalam laporan evaluasi penyelenggaran pemilu Tahun 2014. Ia menerangkan catatan yang dimaksud bukanlah catatan kelembagaan, namun berupa catatan laporan mengenai apa saja masalah yang terjadi dan pernah dihadapi selama penyelenggaraan Pemilu 2014.
"Saya berharap dalam rapat pimpinan untuk evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan Pemilu Tahun 2014, semua (komisioner KPU) mempunyai catatan yang bukan dari catatan kelembagaan tetapi dilakukan secara pribadi atas pengamatannya," ujar Husni di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Senin (13/10/2014).
Husni mengatakan dalam catatan tersebut akan banyak pembelajaran yang nantinya digunakan sebagai pengalaman saat penyelenggaraan pemilu selanjutnya. Menurutnya, selama ini masalah yang muncul dalam penyelenggaraan pemilu kerap sulit ditemukan proses penyelesaiannya.
"Dalam catatan tersebut kita banyak pembelajaraan yang harus dituliskan. Pasalnya, banyak masalah yang muncul dan dianggap bukan sebagai pengalaman karena tidak ada catatan tersebut," tegas dia.
Ia pun mencontohkan pada permasalahan tertukarnya surat suara. Masalah tersebut terus bergulir sejak 2004 dan 2009, namun dipandang biasa saja karena tidak ada catatan kejadiannya.
"Misalnya masalah surat suara, 2004 dan 2009 itu selalu muncul sampai sekarang. Meski kasus tersebut terus menurun, tapi selalu tidak ada pembelajaran yang ditulis atau dilaporkan secara detail sehingga hal tersebut enggan diatasi secara benar-benar menyeluruh," pungkas Husni.
4 Aspek Evaluasi Kinerja KPU
Advertisement
Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menemukan 4 aspek yang menjadi evaluasi kinerja KPU dan perlu diperbaiki. Pertama, perlunya perbaikan atas kerangka hukum yang jelas, tidak tumpang tindih dan tidak multitafsir. Hal ini yang menyebabkan banyaknya aduan dan sengketa pemilu pasca-pilpres.
"Regulasi penyelenggaraan pemilu (undang-undang) yang multitafsir dan menyesatkan yang menimbulkan ahli-ahli tafsir baru," kata Direktur Eksekutif Perludem, Titiek Anggreini.
Titiek menyebut kekurangan itu sebagai akibat Undang-Undang Pemilu sebagai landasan pembuatan Peraturan KPU yang kurang matang dan perlu diperbaiki. Ia menambahkan, undang-undang yang tidak baik dibuat oleh anggota parlemen berasal dari partai politik, namun polemik pemilu juga berasal dari partai peserta pemilu.
Kedua, Titiek melanjutkan wacana pengunaan teknologi tidak bisa digunakan tergesa-gesa. Perlu studi kelayakan (diujicoba, diaudit dan diuji publik) dan diharapkan pemanfaatan teknologi untuk e-voting yang menjadi solusi bukan menimbulkan masalah baru.
"Teknologi yang disiapkan dengan matang akan menjadi penggunaan yang berkesinambungan dan awet menjadi instrumen positif KPU," ujar Titiek.
Ketiga, Titiek mengevaluasi Bawaslu menjadi penyelesai sengketa pemilu saja. Kalaupun mau jadi pengawas, awasi aliran dana karena uang sebagai aktor utama baik itu kecurangan maupun penggunaan anggaran yang digunakan dalam penyelenggaraan pemilu.
Hal ini disampaikannya merujuk pada sidang etik DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) atas pelanggaran pemilu. Sidang etik merupakan tindak lanjut pelaporan kepada Bawaslu atas pelanggaran pemilu oleh penyelenggara Pemilu (dari tingkat TPS hingga tingkat Pusat).
Terakhir, Titiek berharap evaluasi ini tidak hanya menjadi rujukan untuk penyelenggara pemilu selanjutnya. Ia berharap evaluasi ini bisa menjadi input bagi pembentukan ataupun perbaikan perundangan Pemilu.
"Harusnya evaluasi pemilu menjadi input UU Pilkada," tutup Ketua KPU. (Hanz Jimenez Salim/Ans)