Sukses

Berpuasa di Antara Kelompok Pemberontak di Suriah

Beberapa masjid yang biasa jadi langganan pelajar berburu makanan, sudah dikuasai pemberontak seperti kelompok Free Syrian Army dan ISIS.

Liputan6.com, Damaskus - Memasuki Ramadan 1436 Hijriah atau 2015 Masehi, kondisi di Suriah masih dilanda krisis. Kota masih porak-poranda akibat konflik yang tak berkesudahan yang melanda negara itu sejak gelombang Arab Spring 2011 lalu.  

Meski demikian, para pelajar Indonesia yang masih bertahan di Suriah tetap menjalankan kewajiban di bulan yang suci ini. Tentu dengan harus menyesuaikan diri pada kondisi yang ada.

"Kalau dulu, setiap malam kami berkeliling ke masjid-masjid di Kota Damaskus," kata Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Suriah, Ahmad Fuadi Fauzi, membandingkan Suriah sebelum dan setelah krisis.

"Kadang mahasiswa berburu makanan berbuka yang enak-enak di masjid-masjid tertentu. Apalagi orang Damaskus terkenal dermawan kepada para pelajar asing. Pulang tarawih kadang dikasih uang," lanjut Fuadi yang dibenarkan oleh teman-temannya.

Kini kondisi itu jarang ditemukan. Kesulitan ekonomi menjadi faktor utamanya. Bahkan, beberapa masjid yang biasa jadi langganan pelajar berburu makanan, sudah dikuasai pemberontak, baik dari kelompok Free Syrian Army, ISIS, Jabhat al-Nushra atau pun kelompok lain. Selain itu, faktor keamanan juga tidak memungkinkan mahasiswa bepergian terlalu malam.

Ramadan tahun ini jatuh pada musim panas. Artinya, lama puasa di Suriah sekitar 16,5 jam. Dimulai dari Subuh pukul 04.30 dan Magrib pukul 20.00 waktu setempat. Salat Isya baru dimulai pukul 21.30 dan tarawih selesai sekitar pukul 23.00 waktu setempat. Jadi, menjelang tengah malam baru tiba di rumah.

"Sebelum krisis, kita bebas bepergian pukul berapapun dan kemana pun. Bahkan anak-anak bermain bola di lapangan hingga larut malam di musim panas ini. Tidak ada orang yang bertanya, siapa dan maksud kita apa," kenang Ahsin Mahrus, mahasiswa pascasarjana di Universitas Kuftaro.

"Kalau sekarang ngeri. Keluar malam, kita dicurigai. Ditanyai macam-macam oleh tentara di check point." Mahasiswa lain yang duduk di tingkat akhir di Universitas Kuftaro, Mukhlas Hamdi Rais, mengungkapkan, "Di saat kondisi sulit seperti ini banyak orang kepepet dan nekad melakukan tindakan kejahatan."

Mengobati Rindu dengan Buka Bersama

Cerita tentang perjuangan menjalani puasa Ramadan di Suriah ini mengemuka pada saat KBRI Damaskus, menyelenggarakan acara buka puasa di lobi KBRI Damaskus bersama seluruh staf dan para mahasiswa pada Jumat 18 Juni 2015 lalu.

Acara buka bersama yang dihadiri Dubes RI untuk Suriah Djoko Harjanto ini dimulai dengan berbuka, santap malam, ceramah agama, hingga ditutup dengan tarawih berjamaah. Setelah dibuka dengan sajian es buah dan salat maghrib, mahasiswa langsung menyerbu hidangan makan malam khas Nusantara seperti sayur sop, perkedel, bakwan, rendang, dan kerupuk.

Pelaksana Fungsi Pensosbud KBRI Damaskus, AM Sidqi, mengatakan acara ini sengaja diadakan sebagai sarana silaturahim bagi seluruh WNI di Damaskus dan mengobati kerinduan akan kemeriahan suasana Ramadan di Tanah Air.

"Dengan kumpul dan bergembira seperti ini, kita sejenak melupakan kondisi krisis yang melanda Suriah, tanpa lupa mendoakan agar kedamaian segera terwujud di Bumi Syam ini," ujar Sidqi dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com. KBRI Damaskus berencana mengadakan acara buka puasa 4 kali selama bulan Ramadan.

Saat ini, jumlah pelajar Indonesia di Suriah 27 orang, dari berbagai tingkatan mulai dari SMA hingga pascasarjana. Sebelum krisis, pelajar Indonesia di Suriah pernah mencapai sekitar 250 orang. (Sun/Yus)