Liputan6.com, Mekah - Cuaca di Mekah kala itu begitu bersahabat. Matahari tidak terlalu menyengat dan sedikit mendung. Kondisi ini memang dinantikan jemaah calon haji untuk melakukan ibadah di Masjidil Haram lantaran biasanya suhu di kota suci itu menyengat hingga 50 derajat Celsius.
Doni Wahidul Akbar, mahasiswa semester akhir di Universitas Al-Azhar, Kairo bersama rekannya hendak melaksanakan umrah kedatangan. Dengan niat mantap, ia berpakaian ihram menuju Masjidil Haram.
"Saya datang pukul 16.45 (waktu Arab Saudi), kemudian salat asar berjemaah dengan tiga teman saya," kata Doni kepada Liputan6.com di Mekah, Sabtu (19/9/2015).
Advertisement
Selanjutnya sekitar pukul 17.00 WAS, ia bersama rekan menuju tempat tawaf. Saat itu anggota jemaah Indonesia banyak yang berada di pinggir tempat tawaf. Dia mengenalinya karena tas kecil yang dibawa berwarna hijau bersablon bendera merah putih.
"Cuaca masih baik. Jemaah Indonesia banyak yang di pinggir tempat tawaf," kata dia.
Namun saat mendekati lampu hijau untuk memulai tawaf, cuaca berubah drastis. Suasana pada Jumat petang jelang magrib, 11 September 2015 lalu itu disesaki debu beterbangan. Badai angin bercampur hujan menyelimuti area Masjidil Haram, disusul suara geledek yang menggelegar.
"Saat terjadi geledek jemaah semua bertakbir Allahu Akbar, Allahu Akbar sambil mengangkat tangannya," tutur Doni.
Tak lama berselang, crane setinggi 100 meter untuk perluasan area Masjidil Haram langsung tumbang tersapu badai angin. Tiang besinya jatuh, memecahkan semen padat bagian atas lantai 3 masjid yang di bawahnya lokasi sai Safa dan Marwah.
Bandul Crane
Dinding beton ambrol, puingnya bertebaran. Peristiwa kian mencekam setelah bandul di ujung crane terlepas. Benda sebesar lemari itu jatuh ke bawah dalam posisi seperti diayunkan.
"Bandulnya sebesar lemari, warnanya merah. Getarannya begitu kuat, sehingga sampai dinding temboknya banyak yang bolong," tutur dia.
Suara takbir bersahutan, jemaah panik mencari pintu keluar. Pagar untuk tawaf yang baru dibangun 3 lantai dekat Kabah bergetar terkena hantaman bandul, puing-puing pagar berhamburan. Batunya ada yang terlempar ke dalam Hijr Ismail, lokasi dekat Kabah berupa tembok melingkar.
Crane tumbang itu jika ditarik lurus posisinya mengarah ke sudut Kabah antara makam Ibrahim dan Hijr Ismail, tepatnya di sudut Rukun Iraqi.
Sebanyak 111 orang meninggal dalam tragedi tersebut. Ratusan anggota jemaah terluka. Di antaranya 11 warga negara Indonesia yang saat itu sedang ibadah berada di bawahnya.
Melihat peristiwa itu, Doni beserta tiga temannya kaget sekaligus shock. Saat dia menoleh, seorang pria yang hanya berdiri di dekatnya sudah bersimbah darah. Kepalanya terluka terkena serpihan beton dari bandul. Seketika Doni terketuk untuk menyelamatkan jemaah yang terluka.
"Saat saya melangkah, saya melihat korban yang tergeletak di lantai. Kondisinya sudah meninggal. Sepertinya berasal dari negara Eropa bagian timur, ada juga jemaah yang tergeletak di lantai. Kepalanya sudah tidak ada, ada juga kakinya putus," cerita dia.
Advertisement
Suasana Mencekam
Doni melanjutkan, banyak korban yang terluka menganga di kepala. Mereka berusaha untuk tetap hidup dengan berjalan menyender ke tiang dekat lokasi kejadian.
Dia lantas beranjak ke tempat Sai. Kondisi lantai yang tergenang air serta cipratan darah seperti memerintahkannya untuk bertindak cepat.
"Saya bagi tugas dengan teman saya. Yang pertama kali saya temukan jemaah Indonesia adalah seorang jemaah perempuan dari embarkasi BTH (Batam). Ibu itu terluka berat di kepalanya, matanya sudah putih semua. dia masih hidup," ujar Doni.
Melihat kejadian itu, Doni langsung memanggil petugas polisi Arab Saudi yang sedang bertugas. "Tolongin ini orang sudah hampir meninggal," pinta Doni kepada petugas. Polisi itu pun dengan sigap memanggil petugas berpakaian hijau (pendorong kursi roda).
"Ibu itu saya naikkan ke atas kursi roda. Petugas itu yang mendorong, sedangkan saya mencari jalan. Kondisi lantai saat itu sudah tergenang air hujan," imbuh dia.
Setengah berlari, mereka akhirnya menuju pintu keluar 19 di Bab Babussalam yang lokasinya berada di bawah tempat sai. Kabel yang berseliweran di dekat pintu pun mereka tembus.
"Ibu itu kami bawa ke Medical Center. Jaraknya sekitar 100 meter dari pintu. Saat itu ambulans belum datang. Dokter yang berjaga pun hanya satu," terang dia.
Setelah diserahkan ke dokter, Doni dengan jantung berdegap kencang bergegas sambil membawa segepok kapas yang diberikan paramedis untuk menolong jemaah yang lain.
"Saya masuk lagi lewat pintu 19. Tiga teman saya nggak bisa masuk karena tak membawa ID card petugas haji. Karena tergenang air, saya sempat diminta hati-hati karena ada yang tersengat aliran listrik," kenang dia.
Doni melanjutkan kisahnya. Saat membawa korban ke Medical Center, ia hanya melihat satu dokter asal Arab yang berjaga. Dia kemudian meminta temannya untuk menelepon Daker bahwa banyak korban di Masjidil Haram.
"Kemudian saya masuk lagi ke dalam lokasi jatuhnya crane. Saya melihat seorang jemaah asal Indonesia terluka dibawa kursi roda oleh istrinya," ujar dia.
Saat itu, petugas medis pemerintah setempat sudah menelepon ambulans dari semua rumah sakit Arab Saudi agar segera meluncurkannya ke Masjidil Haram. Ada 50 ambulans di kerahkan.
"Saat ini sedang menuju ke sini, jadi tunggu dulu. Karena ambulans tidak hanya dari sekitar sini saja, ambulans dari sekitaran rumah sakit yang ada di sini. Jadi tunggu," kata dia menirukan ucapan petugas kala itu.
"Tolong Nak..."
Doni mengenang saat menyelamatkan jemaah Indonesia yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Korban berjalan sambil meminta tolong. "Tolong saya nak." cerita Doni.
Dia menggambarkan kondisi sang ibu yang penuh luka di kepala dengan bibir yang sudah berdarah. Doni pun membantu sang ibu untuk duduk. Dalam kondisi darurat, dokter hanya memberi kapas untuk menyumbat luka sang ibu.
"Petugas itu hanya memberikan kapas. Saya bilang, ibu pegang kapasnya, ibu pegang kapasnya," ujar Doni yang mulai tak kuat menceritakan tragedi itu.
Dengan mengumpulkan kekuatan, Doni pun melanjutkan ceritanya. Kata dia, ada juga korban dari Jawa Barat, yang kakinya sudah tak bisa lagi digerakkan. Sang korban duduk di kursi roda. Semua berada di tempat Sai. Mereka dikumpulkan di depan Pintu 19 Medical Center.
"Saat itu saya dibantu Mukimin asal Lombok yang tinggal di sini membantu para korban yang terus berdatangan. Ada yang shock menangis terus kejer-kejer, masih muda orangnya sekitar 30 tahunan, dia panik melihat kejadian seperti ini." ujar dia.
Doni menuturkan, suara ambulans sempat terdengar dekat sekali. Korban dari Batam dan Sulawesi pun dibawa dengan kursi roda untuk menuju mobil penyelamat tersebut. Namun ternyata mobil itu masih jauh.
"Eh, ternyata ambulansnya masih jauh. Semua korban diletakkan di luar di depan pintu Bab Ali. Saya kasihan sama ibu yang dari Batam itu, sudah mengeluarkan batuk darah dari mulutnya. Saat itu refleks saya meminta pada Mukimin Lombok untuk mentalqinkan ibu itu," terang dia.
Kemudian Doni berlari lagi ke dalam Masjidil Haram untuk memastikan ada jemaah asal Indonesia yang menjadi korban. Saat itu mobil ukuran kecil (mobil golf) sudah mengangkut korban-korban yang meninggal di lokasi jatuhnya crane.
"Saya melihat lagi ibu-ibu asal Aceh, posisinya tiduran, kaki kanan dan kirinya patah," pungkas Doni.
Dengan segala tenaga dan upaya, Doni tetap berada di lokasi evakuasi jenazah untuk memastikan tak ada lagi jemaah asal Indonesia di lokasi kejadian. Usai itu, ia kembali ke pemondokan untuk berganti kain ihrom yang berlumuran darah untuk melanjutkan tawaf yang tertunda. (Ali/Ans)
Advertisement