Sukses

Takjil Mi di Lembah UGM Ditemukan Mengandung Boraks

Ayu mengklaim penggunaan bahan berbahaya pada makanan yang dijual di pusat takjil di DIY relatif mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Liputan6.com, Yogyakarta - Takjil berupa mi yang dijual di Lembah UGM, Jalan Olahraga-Notonegoro ternyata mengandung boraks. Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Yogyakarta menemukan makanan yang mengandung zat berbahaya itu seusai melakukan pengawasan dan pemeriksaan laboratorium di salah satu pusat takjil terbesar itu, Rabu kemarin.

Dua tahun lalu, BBPOM Yogyakarta juga menemukan makanan serupa di areal yang sama mengandung formalin. Meskipun demikian, belum dapat dipastikan apakah penjualnya sama atau tidak.

"Ada 16 sampel yang kami periksa dan satu sampel positif mengadung boraks, yakni mi goreng yang berasal dari mi basah," ujar I Gusti Ayu Adhi Aryapatni, Kepala BBPOM Yogyakarta, Rabu 8 Juni 2016.

Salah satu ciri makanan mengandung boraks adalah kekenyalannya saat digigit sangat terasa. Ia menuturkan, sampel makanan yang dipilih tidak semuanya, melainkan makanan yang diindikasikan mengandung zat berbahaya, antara lain cendol, tempura, cilok, bakso, mi, dan sebagainya.

Menurut dia, penggunaan zat berbahaya dalam makanan disebabkan minimnya sosialisasi. Oleh karena itu penindakannya pun berupa pembinaan. Kebanyakan pedagang makanan membeli bahan baku dari pasar dan tidak memproduksi sendiri, sehingga mereka juga tidak mengetahui secara pasti bahan yang digunakan.

Ayu mengatakan, pengawasan rutin di bulan Ramadan untuk memastikan takjil yang dijual bebas dari zat berbahaya. Bahan berbahaya yang dimaksud antara lain Rhodamin B, Metanil Yellow, formalin dan boraks. Dalam jangka panjang, konsumsi makanan yang mengandung zat berbahaya dapat menyebabkan kerusakan organ dalam tubuh serta memicu penyakit kanker.

Meskipun demikian, Ayu mengklaim penggunaan bahan berbahaya pada makanan yang dijual di pusat takjil di DIY relatif mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada 2014 ada 10% dari sampel takjil yang mengadung zat berbahaya, sedangkan pada 2015 menurun menjadi 5%.