Sukses

Bubur Harisa, Kuliner Para Musafir di Cirebon

Harisa berasal dari bahasa Arab yakni haris. Artinya penjaga atau menjaga.

Liputan6.com, Cirebon - Panas terik matahari tak mematahkan niat umat muslim di Cirebon untuk menyelesaikan ibadah puasa saat Ramadan hingga waktunya berbuka. Di bulan ini pula, banyak pula umat muslim yang berbagi rejeki kepada sesama.

Seperti terlihat di rumah megah di depan Masjid Asy Syafii, Cirebon. Di rumah tua yang masih terlihat berdiri kokoh itu, banyak warga berlalu lalang memasukinya.

Bau wangi rempah-rempah tercium hingga ke luar rumah bahkan sampai ke tetangga rumah yang dihuni oleh Muhammad Islam itu. Lelaki 65 tahun ini merupakan generasi ketiga pembuat bubur Harisa.

Sekitar pukul 13.00  WIB atau habis salat suhur, Muhammad mulai sibuk memegang centong berukuran besar dan mengaduk bubur yang resepnya diwariskan turun temurun dari sang kakek, Syeh Mohammad Islam Bayasut.  Dibantu istri dan anaknya, Mohammad Islam memasukkan bubur Harisa yang telah matang ke dalam wadah yang sudah disediakan.

"Harisa berasal dari bahasa Arab yakni haris. Artinya penjaga atau menjaga. Kami membuat bubur ini sejak tahun 1922," tutur Muhammad Islam, Sabtu 11 Juni 2016.

Bubur Harisa tersebut selanjutnya akan dibawa ke Masjid As Syafii. Kopi jahe, air manis, dan kurma juga dibawa sebagai hidangan berbuka puasa.

Sejak hari pertama puasa, Muhammad dan keluarganya sudah membuat bubur Harisa. Tradisi ini sudah dilakukannya secara turun temurun.

Dia menceritakan, pembuatan bubur ini berawal saat kakeknya, Syeh Mohammad Islam Basayut masih hidup. Syeh Mohammad Islam Basayut yang dilahirkan pada 1875 merupakan seorang saudagar kaya dari Negeri Yaman yang ada di Cirebon saat itu.

Setiap sore, Basayut seringkali melihat banyaknya musafir yang salat di Masjid As Syafii, salah satu masjid yang dibangunnya. Mereka adalah musafir yang baru datang menggunakan kereta api dari Stasiun Prujakan.

"Karena belum banyak bangunan saat itu, antara rumah kakek dengan Stasiun Prujakan bisa terlihat dengan jelas," kata dia.

Tak ingin membiarkan musafir itu kelaparan, Basayut pun mulai membuat bubur Harisa. Dia juga rela untuk menunggu musafir datang terlebih dahulu dan ikut makan bersama-sama.

"Terkadang kereta datangnya juga terlambat, jadi kakek saya nunggu mereka datang baru bersama-sama makan," kata dia.

Bubur harisa saat Ramadan di Cirebon (Liputan6.com/ Panji Prayitno)

Pembuatan bubur Harisa pun terus dilakukan hingga kini. Setiap harinya dia membutuhkan 4 sampai 10 kg beras untuk membuat bubur harisa. Lalu ditambah santan dari 10 butir kelapa, 5 kg daging kambing, dan aneka bumbu rempah-rempah.

Pembuatan bubur ini terbilang mudah, seperti bubur pada umumnya. Beras terlebih dahulu dimasak, lalu dituangkan santan.

Setelah semua mendidih, barulah daging kambing dimasukkan. Bahan-bahan tersebut terus dimasak hingga betul-betul tanak. Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam hingga bubur betul-betul matang, setelah dingin, bubur itu dituangkan di dua nampan besar dari aluminium.  

Tidak hanya untuk masjid, tetangganya pun banyak yang antre untuk meminta bubur Harisa ini. "Termasuk tetangga yang non muslim," sebut Muhammad Islam.

Muhammad Islam menuturkan, kekayaan kakeknya itu tak ternilai. Ini terlihat dari luasnya rumah yang ditempati sang cucu mencapai 3.000 meter persegi. Sang kakek yang meninggal pada 1945, pun mewariskan tabungan khusus untuk pembuatan bubur Harisa saat Ramadan.

"Tabungannya khusus untuk pembuatan bubur Harisa dan perbaikan Masjid As Syafii jika ada bangunan yang rusak," kata dia.

Dia menjelaskan, tabungan wakaf sang kakek digunakan untuk membeli bahan-bahan bubur Harisa.

"Hingga kini tidak ada satu pun keturunan Muhammad Islam Basayut yang berani mengutik-utik tabungan dan menggunakannya untuk kebutuhan lain," tutur Muhammad Islam.