Sukses

Bermula dari Sebuah Langgar, Ini Masjid Tertua di Manado

Pertama kali dibangun, langgar tersebut kondisinya masih berlantai tanah, atap daun rumbia serta dinding anyaman bambu.

Liputan6.com, Manado - Suasana kompleks masjid ini masih belum tertata dengan baik. Maklum, rumah ibadah yang terletak di Jalan Hasanuddin, Manado, Sulawesi Utara ini masih dalam tahap renovasi. Pada Sabtu 11 Juni 2016 sore, sejumlah anggota jemaah dengan ramah mempersilahkan tiap orang yang datang untuk mencicipi hidangan buka puasa yang tersedia di halaman masjid.

“Masih dalam tahap renovasi, ini merupakan masjid pertama di Manado. Tapi yang paling memahami sejarah masjid ini, ada Pak Hamzah Radjab yang juga ketua panitia pembangunan masjid," ujar Amma, salah satu pengurus di Masjid Agung Awwal Fathul Mubien yang berada di Kelurahan Islam, Kecamatan Tuminting, Manado, Sulawesi Utara.

Ditemui di rumahnya yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari masjid, Hamzah baru saja berbuka puasa.

"Iya, masjid ini punya sejarah panjang. Terkait erat dengan syiar agama Islam di tanah Minahasa, termasuk Manado," ujar Hamzah, pensiunan pegawai Kementerian Agama Sulut ini.  

Hamzah mengatakan, bicara sejarah masjid dimulai dari keberadaan orang Islam di wilayah itu.  "Sejak tahun 1770 ada sekelompok umat Islam di Kota Manado, sekitar 11-13 orang dari Makian, Ternate serta Hitu Ambon. Lalu datang dari pulau Jawa," tutur Hamzah yang sempat menjabat sementara sebagai imam masjid ini.

Dia mengungkapkan di sekitar tahun 1776, Belanda memindahkan lagi sejumlah warga dari Jawa ke kawasan masjid itu yang dulunya bernama Soraya.

"Soraya ini sejenis tumbuhan yang banyak tumbuh di sini. Karena sudah cukup banyak umat Islam, maka dibangunlah sebuah langgar atau tempat ibadah berukuran kecil menampung sekitar 10 orang,” ujar Hamzah, yang merupakan keturunan pendatang dari Palembang yang dengan penduduk Minahasa.

Kondisi di dalam Masjid Agung Awwal Fathul Mubien di Kelurahan Islam, Kecamatan Tuminting, Manado, Sulawesi Utara. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Menurut dia, pertama kali dibangun, langgar tersebut kondisinya masih berlantai tanah, atap daun rumbia serta dinding anyaman bambu.

Hamzah menuturkan, di tahun 1800 mulai berdatangan lagi warga dari Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Semakin banyaknya umat muslim yang menetap di sana, warga pun kemudian memperluas bangunan masjid.

"Langgar tidak lagi mencukupi, sehingga di tahun 1802 resmi dibangun masjid dengan ukuran 8 x 8 meter persegi,” ujar Hamzah sambil menambahkan, masjid itu diberi nama Awwal Fathul Mubien yang artinya masjid yang pertama, pembuka yang nyata.

Kaum muslim pun lambat laun semakin besar jumlahnya, mereka berdatangan dari Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi serta jemaah dari Yaman Hadra Maud. kebanyakan mereka berprofesi sebagai pedagang, guru, atau pendakwah agama Islam. 

"Semua budaya itu masih terpelihara sampai sekarang," tutur dia.

Mengalami Renovasi

Hamzah mengungkapkan, sejak didirikan, masjid ini telah mengalami beberapa renovasi. Pada tahun 1830 mengalami renovasi menjadi ukuran 8 x 8 meter persegi, berfondasi batu karang dan lantai papan.

"Pembangunan itu bertepatan dengan dibuangnya pangeran Diponegoro beserta pengikutnya ke Manado, sebelum akhirnya dibuang lagi dan wafat di Makassar," ujar dia.

Masjid itu kemudian direnovasi lagi pada tahun 1930 menjadi 8 x 12 meter persegi. “Selanjutnya terjadi renovasi di tahun 1950, 1967, 1975, menambah luas bangunan dan bagian interior. Di tahun 1983 dibangun menara masjid sebagai pelengkap,” Hamzah mengungkapkan.

Hamzah mengatakan, pada tahun 1994 bangunan mengalami penambahan tiga meter samping kiri dan kanan. “Departemen Agama menetapkan tanggal 1 Juli 1991 sebagai bukti syiar Islam pertama di Manado dan Minahasa,” ujar dia.

Dengan jumlah jemaah lebih dari 3 ribu orang, kapasitas masjid ini tidak lagi memadai. "Maka kami sejak 06 Februari 2016 memulai renovasi masjid ini,” sebut Hamzah.

Hamzah mengatakan, biaya renovasi masjid tertua di Manado yang dijadwalkan rampung pada tahun 2020 ini menelan biaya sekitar Rp 12,5 miliar. "Kita memang beruntung karena pemerintah Provinsi Sulut maupun Kementerian Agama memberikan dukungan dana untuk pembangunan ini. Karena dinilai sebagai aset sejarah Islam di Manado," ucap Hamzah.