Liputan6.com, Jakarta Salat merupakan ibadah pokok dalam Islam dan wajib dikerjakan bagi orang yang sudah memenuhi persyaratan. Dalam sebuah hadis menyebutkan salat ialah amalan pertama yang dilihat (hisab) Allah di hari akhirat kelak (HR: Ibn Majah).
Bahkan dalam hadis lain dikatakan, “Antara hamba (mukmin) dan kafir ialah meninggalkan salat” (HR: Ibnu Majah). Maksudnya, meninggalkan salat dapat menjadi perantara seorang untuk menjadi kafir.
Dua hadis yang dikutip di atas menunjukkan betapa pentingnya mengerjakan salat. Terlebih lagi, terdapat kesepakatan ulama (ijma’) bahwa salat termasuk kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Siapapun yang sudah memenuhi persyaratan, mesti mengerjakannya dalam keadaan apapun dan sesulit apapun. Selain puasa, terdapat kewajiban pokok lain yang hukumnya setara dengan salat, seperti puasa, haji, dan zakat.
Kemudian, bagaimana hukumnya mengerjakan puasa, tetapi tidak mengerjakan salat? Apakah puasanya masih dihukumi sah mengingat shalat sebagai amalan utama dan pokok?
Advertisement
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mesti memperinci terlebih dahulu atau paling tidak bertanya kepada orang yang tidak salat tersebut, kira-kira apa alasannya meninggalkan shalat.
Apakah karena mengingkari kewajiban atau lantaran malas. Sebab keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda-beda. Hasan Bin Ahmad al-Kaf dalam Taqriratus Sadidah fi Masail Mufidah menjelaskan, seperti mengutip laman Islami.co:
“Ada dua kondisi orang yang meninggalkan salat: meninggalkan salat karena mengingkari kewajiban dan meninggalkan salat karena malas. Orang yang masuk dalam kategori pertama, maka ia dihukumi murtad. Sementara orang yang meninggalkannya karena malas, hingga waktunya habis, maka ia masih dikatakan muslim.”
Berdasarkan pendapat ini, orang yang tidak mengerjakan salat karena mengingkari kewajiban, puasanya batal secara otomatis. Sebab dia sudah dianggap murtad dan keluar dari Islam termasuk hal yang dapat membatalkan puasa.
Sementara puasa orang yang tidak mengerjakannya karena malas atau sibuk, statusnya masih muslim dan puasanya tidak batal secara esensial.
Kendati puasanya tidak batal secara esensial atau secara hukum fikih tidak dianggap batal dan tidak wajib qadha, namun puasanya tidak bernilai apa-apa dan pahalanya berkurang.
Dalam Taqriratus Sadidah disebutkan: “Pembatalan puasa itu dibagi menjadi dua kategori: pertama, pembatalan yang merusak pahala puasa, namun tidak membatalkan puasa itu sendiri. Kategori ini dinamakan muhbithat (merusak pahala puasa) dan tidak diwajibkan qadha; kedua, sesuatu yang dapat membatalkan puasa dan merusak pahalanya. Bila melakukan ini tanpa udzur, maka wajib mengqadha puasa di hari lainnya. Kategori ini dinamakan mufthirat (membatalkan puasa).”
Menurut penulis, meninggalkan salat itu dapat dikategorikan sebagai muhbithatus shaum. Dia tidak merusak keabsahan puasa, tetapi dia merusak pahala puasa. Sehingga, ibadah puasa yang mereka kerjakan tidak bernilai di hadapab Allah. Meskipun demikian, dia diharuskan untuk tetap berpuasa sebagaimana mestinya dan mengqadha shalat yang ditinggalnya. Wallahu a’lam
* Artikel ini sebelumnya tayang di Islami.co yang ditulis oleh Henky Ferdiansyah