Liputan6.com, Jakarta - Ganjaran berpuasa di bulan Ramadan tidak lagi dihitung dengan nominal kebaikan yang setimpal dengannya, melainkan langsung dijamin bertemu dengan Allah SWT. Bagi umat muslim, hal tersebut merupakan nikmat terbesar yang tidak ada tandingannya. Hal ini sesuai dengan hadis berikut ini.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah yang mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap pebuatan baik manusia itu selalu dilipat gandakan. Satu kebaikan bisa dilipat gandakan menjadi sepuluh atau bahkan tujuh ratus kebaikan yang sama. “Hanya puasa yang langsung aku balas kebaikannya bagi hamba-Ku yang berpuasa. Hal ini dilakukan karena hambaku itu sudah rela menahan nafsunya dan tidak makan hanya karena mengharapkan ridha-Ku. Oleh karena itu, ada dua kebahagian bagi hamba-Ku yang berpuasa, yaitu bahagia saat berbuka puasa dan bahagia saat bertemu dengan-Ku di akhirat nanti. Selain itu, mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi daripada aroma misik di mata Allah” (HR Muslim).
Karena kelebihan itulah, puasa Ramadan selalu terasa istimewa bagi umat muslim. Akan tetapi, adalah hal yang salah bila umat muslim menuntut orang yang tidak berpuasa untuk menghormati orang yang sedang berpuasa Ramadan.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Ibnu Kharis, peneliti hadis el Bukhori Institute seperti dilansir dari Islami.co, bukan seperti itu seharusnya cara seseorang menghormati Ramadan.
"Menghormati datangnya bulan Ramadan cukup dengan memperbanyak ibadah individual, seperti salat tarawih, tadarus, berinfak, dan lainnya. Kita tidak perlu memaksa orang lain yang tidak berpuasa untuk menghormati Anda yang berpuasa," kata dia.
Ia menambahkan, perlu dibedakan antara menghormati Ramadan dan menghormati orang yang sedang berpuasa Ramadan. Terkait seseorang yang berjualan makanan dan minuman di siang hari pada bulan Ramadan, hal tersebut masih menjadi perbedaan pendapat para ulama.
Ada tiga faktor yang patut untuk dipertimbangkan dalam membolehkan seseorang berdagang makanan dan minuman di siang hari pada bulan Ramadan. Pertama, ulama berbeda pendapat mengenai hukum menjual makanan untuk non-muslim.
Alasannya, apakah mereka termasuk orang yang terbebani hukum-hukum syariat atau tidak? Tentu janggal bila non-muslim pun dituntut untuk menghormati muslim yang berpuasa dengan tidak makan dan minum. Padahal perintah kewajiban berpuasa hanya diberlakukan untuk muslim yang beriman sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang beriman, diwajibkan bagi kalian berpuasa (Ramadan) sebagaimana umat sebelum kalian melaksanakannya. Hal ini dilakukan demi meningkatkan ketakwaan kalian” (QS al-Baqarah: 183).
Kedua, Syekh Salim bin Abdullah, penulis kitab Kasyifah as-Saja, menerangkan bahwa ada enam orang yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Mereka adalah musafir, orang sakit, orang tua renta, orang yang kelaparan dan kehausan yang dapat membahayakan nyawanya, ibu hamil, dan ibu menyusui. Nah, bagaimana jika makanan dan minuman yang mereka jual dikhususkan untuk golongan tersebut?
Ketiga, bisa jadi dengan berjualan makanan dan minuman di siang hari pada bulan Ramadan adalah usaha satu-satunya yang si penjual bisa lakukan untuk menghidupi keluarganya, atau mungkin ia hanyalah seorang pekerja yang mengais rezeki dari rumah makan milik majikannya.
Oleh karena itu, menurut Ibnu, kaidah fikih terkait hukum berjualan makanan dan minuman di siang hari pada bulan Ramadan patut dipertimbangkan, yakni "a yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkar al-mujma’ ‘alaih," yang berarti sesuatu hukum yang masih diperselisihkan ulama tidak perlu ditindak. Melihat kaidah tersebut, yang perlu ditindak seharusnya hukum yang sudah jelas disepakati ulama.
Semoga Ramadan ini membuat kita lebih jeli dan arif dalam melihat segala sesuatu, termasuk hukum yang masih dalam perbedaan di kalangan ulama. Wallahu a’lam bisshowab.*
* Artikel ini sebelumnya tayang di Islami.co yang ditulis oleh Ibnu Kharis