Liputan6.com, Riau - Bersilaturahmi dengan kerabat, teman, dan kenalan juga dilakukan masyarakat Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau saat Lebaran. Tidak hanya di rumah, kegiatan berkumpul, saling menyapa serta berjabat tangan juga dilakukan di tengah pemakaman pada 7 Syawal 1438 Hijriah atau enam hari setelah Lebaran pertama.
Ya, masyarakat Bangkinang menyebut kegiatan ini dengan Aghi Ghayo Onam atau Hari Raya Enam. Disebut dengan enam karena sebelum itu sebagian masyarakat menjalankan puasa sunnah Syawal selama enam hari berturut-turut usai Ramadan.
Hari Raya Enam ini dimulai dengan ziarah kubur, makanya disebut juga dengan Aghi Ghayo Zorah atau Hari Raya Ziarah. Hampir setiap dusun ataupun desa di Bangkinang melakukannya secara turun temurun, dengan berziarah secara berkelompok yang jumlahnya mencapai ratusan orang.
Baca Juga
Advertisement
Seperti pada Minggu, 2 Juli 2017, sekitar pukul 06.30 WIB, satu per satu warga di Pulau Langgini keluar dari rumahnya, khususnya kaum laki-laki‎, menuju salah satu perkuburan. Awalnya, hanya ada puluhan orang berkumpul. Setelah berdoa, rombongan ini melanjutkan ke tempat pemakaman umum (TPU) lainnya dengan berjalan kaki.
Di TPU kedua yang diberi nama Teratak Serong, ratusan orang sudah menunggu di sana. Mereka sudah duduk di samping kuburan keluarganya masing-masing. Doa pun dipandu seorang ustaz yang sudah ditunjuk jauh hari sebelumnya.
Sebelum berdoa, salah satu tokoh masyarakat setempat, H Idris menyebut tradisi Raya Ziarah Kubur sudah berlangsung lama. Dari waktu ke waktu pada setiap tahunnya selalu dilakukan, tepatnya enam hari sejak Lebaran pertama.
"Tidak hanya berziarah, tradisi di kuburan ini juga menjadi ajang silaturahmi. Warga yang merantau dan jarang bertemu setiap tahun, di sinilah bertemu dan saling berjabat tangan," kata Idris.
Pengingat Kematian
Selain silaturahmi, tradisi ini juga diiringi dengan istilah tali asih ataupun dari hati ke hati. Yaitu berbentuk sumbangan suka rela yang nantinya diperuntukkan merawat kebersihan kuburan oleh pengurus yang sudah ditunjuk.
Dalam arahannya, Idris juga mengingatkan jamaah ziarah bahwa kegiatan ini juga sebagai pengingat kematian. Bisa saja orang yang dulunya ikut rombongan ziarah sudah tidak ada lagi atau sudah menjadi yang diziarahi.
"Di sinilah tempat terakhir kita semuanya nanti. Berdoalah bagi keluarga yang sudah mendahului kita, entah kapan waktunya nanti giliran kita yang akan diziarahi," ucap Idris.
Tidak hanya kedua TPU itu, rombongan ini juga menziarahi beberapa kuburannya dengan berjalan kaki. Setelah dari TPU tersebut, jemaah melanjutkan perjalanan ke perkuburan yang ada di daerah Stanum.
Mereka kemudian menyeberangi Sungai Kampar dengan menggunakan rakit menuju daerah bernama Pulau, selanjutnya ke Binuang, Desa Cubadak, Muara Uwai hingga ke Kampung Gadang. Berikutnya, jemaah menyeberangi sungai lagi menaiki sampan untuk pulang ke Pulau Langgini.
Setibanya di sini, mereka tidak langsung pulang. Jemaah berkumpul di salah satu masjid yang sudah menyediakan makan siang. Makanan ini dipersiapkan kaum ibu dan dibawa ke masjid untuk makan bersama.
Jemaah akan pulang ke rumahnya masing-masing ataupun sekadar bercengkerama dengan kenalan serta kerabat lainnya setelah melaksanakan salat Zuhur bersama.
Tradisi ini lebih meriah dan ramai dibanding hari pertama Lebaran. Masyarakat dari perantauan selalu pulang di hari ini, meski pada Lebaran pertama tidak pulang kampung. Bahkan, muncul istilah lebih baik tidak ada pada hari pertama Lebaran dari pada tidak hadir saat Hari Raya Ziarah Kubur.
Advertisement