Liputan6.com, Jakarta Sebentar lagi umat muslim akan memasuki bulan suci bulan Ramadan. Ibadah paling utama yang diwajibkan dalam bulan Ramadan adalah puasa.
Seperti dikutip dari Quraish Shihab.com, puasa bermula dengan tidak makan, tidak minum, dan tidak bercampur dengan pasangan sejak terbit hingga terbenamnya matahari.
Baca Juga
Namun menurut ulama terkemuka ini, puasa bukan hanya sekadar itu saja. Ibadah puasa seharusnya berakhir dengan tecerminnya semua sifat Allah―kecuali sifat Ketuhanan-Nya―dalam kepribadian seseorang karena berpuasa adalah upaya meneladani sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia sebagai makhluk.
Advertisement
Quraish Shihab menyebut, “Dengan upaya meneladani sifat-sifat Tuhan, seorang yang berpuasa melatih dan mendidik dirinya untuk meraih aneka kecerdasan, melalui potensi–potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia adalah kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional.”
Ibadah-ibadah rutin dan penuh makna selama puasa memiliki makna yang dalam. Jika dilakukan secara betul, ujar ahli tafsir hadis lulusan Al Azhar Kairo ini, maka manusia akan meneladani sifat-sifat Tuhan.
Kecerdasan Spiritual
Quraish Shihab menyebut, kecerdasan spiritual melahirkan iman serta kepekaan yang mendalam. Fungsinya mencakup hal-hal yang bersifat supranatural dan religius. Ialah yang menegaskan wujud Tuhan, melahirkan kemampuan untuk menemukan makna hidup, serta memperhalus budi pekerti, dan ia juga yang melahirkan mata ketiga atau indra keenam bagi manusia.
Sementara hawa nafsu selalu menganggu manusia dan mengajak kepada hal-hal yang bersifat negatif. Bahkan, kata Quraish Shihab, hawa nafsu bagaikan air laut. Semakin diminum, semakin mengundang haus atau bagaikan eksim, semakin digaruk, semakin nyaman, tetapi kesudahannya adalah luka yang terinfeksi, sehingga mengancam jiwa raga si penderita.
Nabi bersabda, “Siapa yang memilih dunia dengan mengorbankan akhirat, maka dunia meninggalkannya dan akhirat pun luput darinya.” Dengan kecerdasan emosi, manusia akan mampu mengarahkan emosi atau nafsu ke arah positif sekaligus mengendalikannya sehingga tidak terjerumus dalam kegiatan negatif.
Dengan kecerdasan emosi itu, manusia mampu mengendalikan nafsu, bukan membunuh dan meniadakannya. Pengendalian diri, bukan penyangkalan dan peniadaan pribadi. Emosi dan nafsu yang terkendali sangat kita butuhkan sebab ia merupakan salah satu faktor yang mendorong terlaksananya tugas kekhalifaan di bumi, yakni membangun dunia sesuai dengan kehendak dan tuntunan Ilahi.
Kecerdasan emosi mendorong lahirnya ketabahan dan kesabaran menghadapi segala tantangan dan ujian. Itu sebabnya ditemukan dalam tuntunan Rasul saw. yang berkaitan dengan puasa. Sabda beliau yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Abu Hurairah bahwa:
إذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث و لا يصخب فإن سابه أحد أو قاتله فليقل :إني صائم (رواه البخاري)
Maksudnya: “Apabila salah seorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata buruk, jangan juga berteriak memaki. Bila ada yang memakinya atau mengutuknya, maka hendaknya ia berucap, ‘Aku sedang berpuasa,’ yakni aku sedang mengendalikan nafsuku sehingga tidak akan berbicara atau bertindak, kecuali sesuai dengan tuntunan akal, moral, dan agama.
Advertisement
Kecerdasan Intelektual
Quraish Shihab menjelaskan, "Kecerdasan ketiga yang kita butuhkan adalah kecerdasan intelektual. Jika kecerdasan ini tidak dibarengi dengan kedua kecerdasan di atas, maka manusia, bahkan kemanusiaan seluruhnya, akan terjerumus dalam jurang kebinasaan. Bahkan, ia akan menjadi seperti kepompong yang membakar dirinya sendiri karena kepintarannya."
Ia mengingatkan, harus diingat bahwa kebodohan bukanlah sekadar lawan dari banyaknya pengetahuan karena bisa saja seseorang memiliki informasi yang banyak, tetapi apa yang diketahuinya tidak bermanfaat baginya.
Karena itu, pesan Luqman as. Kepada anaknya, “Anakku! Tidak ada baiknya mempelajari apa yang belum engkau ketahui selama engkau belum memanfaatkan apa yang telah engkau ketahui. Ini seperti pengumpul kayu yang tak mampu memikulnya, tetapi ia menambah lagi kayu yang lain untuk dipikulnya.”
Pengetahuan adalah nur, cahaya yang dicampakkan Allah ke hati siapa yang mempersiapkan diri untuk meraihnya. Di sisi lain, perlu diingat bahwa kemajuan ilmiah satu bangsa tidak diukur dengan banyaknya alat-alat atau canggihnya laboratorium yang mereka miliki, tetapi bagaimana alat-alat itu mereka gunakan untuk memperoleh rahasia alam raya dan menggali kekayaan alam, bahkan kepemilikan alat-alat itu dan―jika bersumber dari bangsa lain, baik karena pembelian maupun hibah―sama sekali tidak dapat dijadikan ukuran kemajuan walau ia telah digunakan dengan baik. Yang maju adalah pencipta alat-alat itu.
Memang teknologi bukanlah alat-alat yang telah diproduksi, tetapi sistem dan metode yang melahirkan alat-alat itu. Karena itu pula, kemajuan ilmu bersyarat dengan adanya iklim yang mendorong terciptanya keinginan untuk melakukan penelitian dan pengembangan, dan inilah pada hakikatnya yang dilakukan oleh kitab suci Alquran.
*dikutip dengan penyuntingan seperlunya dari Quraishshihab.com
Saksikan video menarik di bawah ini: