Sukses

5 Tradisi Unik Menyambut Ramadan dari Berbagai Daerah

Kearifan lokal masing-masing suku pun melahirkan tradisi yang unik, termasuk dalam menyambut bulan suci Ramadan. Ini 5 di antaranya.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki beragam suku dan budaya. Hal ini menyebabkan unsur budaya dan adat sangat melekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Kearifan lokal masing-masing suku pun melahirkan tradisi yang unik, termasuk dalam menyambut bulan suci Ramadan. 

Liputan6.com telah merangkum beberapa tradisi unik di beberapa daerah menjelang bulan Ramadan. Yuk intip lima tradisi unik tersebut:

 

1. Tradisi Megibug dari Karangasem, Bali

Tradisi yang berasal dari Karangasem, Bali, ini tidak hanya dikenal oleh kalangan umat Hindu, tapi juga umat muslim di Bali.

Tradisi ini diketahui berasal dari kata gibung, yang artinya kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang, yakni saling berbagi antara satu orang dengan yang lainnya.

Megibung berarti suatu kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang untuk duduk makan bersama dan saling berdiskusi dan berbagi pendapat.

Saat Ramadan, tradisi megibung dilakukan setiap 10 hari puasa. Biasanya warga makan bersama dalam satu wadah yang sama. Wadah yang digunakan tergolong unik, yaitu dengan daun pisang.

Kegiatan ini dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah dan juga menjadi ajang untuk mempererat tali persaudaraan

2. Tradisi Nyorog dari Betawi

Salah  satu  tradisi  masyarakat  Betawi  yang  dilakukan saat menjelang bulan Ramadan adalah nyorog. 

Nyorog merupakan kegiatan memberikan bingkisan kepada sanak saudara. Kegiatan ini biasanya dilakukan dengan mendatangi anggota keluarga atau tetangga yang lebih tua dengan memberikan bingkisan berupa makanan.

Tak jarang masyarakat Betawi mengirimkan makanan khasnya, yakni sayur gabus pucung. Sayur gabus pucung berbahan dasar ikan gabus yang digoreng dan kemudian dimasak menggunakan berbagai rempah, seperti kemiri, cabai merah, jahe, dan kunyit.

Nyorog dimaksudkan untuk menjaga silaturahmi, mempererat tali persaudaraan, dan ucapan meminta restu dan memohon agar diberi kelancaran dalam menjalankan ibadah puasa.

Selain dilakukan saat menjelang bulan Ramadan, tradisi ini juga dilakukan saat sebelum dan sesudah acara pernikahan

 

2 dari 2 halaman

Nyadran hingga Balimau

3. Tradisi nyadran dari Jawa Tengah

Salah satu tradisi khas Jawa Tengah yang dilakukan untuk menyambut bulan Ramadan adalah nyadran. Tradisi ini merupakan suatu rangkaian budaya berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.

Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Syakban.

Kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan saat nyadran yaitu berziarah, membersihkan makam leluhur, membaca doa, zikir dan tahlil, kemudian ditutup dengan makan bersama.

 

4. Tradisi megengan dari Demak

Megengan adalah tradisi yang digelar saat menjelang bulan Ramadan. Tradisi ini dilakukan dengan membuka Pasar Tiban yang ditempatkan di Alun-alun Demak. Berbagai makanan dijual oleh para pedagang dadakan, salah satunya kue apem.

Kue apem memiliki makna yang unik dan selaras dengan tradisi megengan

Dikatakan bahwa istilah “apem” berasal dari bahasa Arab, yakni afwan atau al-afwa, yang artinya 'maaf'.

Dengan demikian, megengan dijadikan sebagai ajang silaturahmi dengan membagikan Kue Apem yang disimbolkan sebagai permintaan maaf sebelum memasuki bulan suci Ramadan

Selain itu, warga sekitar yang mendatangi event ini biasanya memiliki tujuan untuk memuaskan diri di dalam icip-icip makanan.

 

5. Balimau

Tradisi berusia ratusan tahun tetap hidup di masyarakat karena Ramadan. Salah satunya adalah tradisi potang mandi balimau yang ada di Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Potang berarti petang. Ritual mandi yang dipercaya secara turun-temurun itu dipercaya dapat menyucikan diri menjelang masuknya Ramadan.

Sebagai tanda dimulainya ritual ini, perwakilan dari masing-masing suku menaikkan tonggol atau bendera adat mereka. Selanjutnya, satu per satu anggota suku, didahului tetua dan ninik mamak, saling bersalaman dan berpelukan.

Tonggol dinaikkan ini bisa sebagai tanda harmonis atau tidaknya kehidupan dalam suatu suku. Tonggol yang tidak naik setelah diberdirikan menjadi tanda adanya permasalahan dalam suatu suku.

 

Penulis: Firda Khairunnisa