Sukses

Pengalaman Pertama WNI Berpuasa Ramadan di Amerika

Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, jauh di negeri orang memiliki keunikan tersendiri. Berikut ini pengalaman beberapa orang Indonesia berpuasa untuk pertama kalinya.

Liputan6.com, Washington, D.C - Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, jauh di negeri orang memiliki keunikan tersendiri. Laporan VOA Washington mengenai pengalaman beberapa orang Indonesia berpuasa untuk pertama kalinya di negeri Paman Sam ini selanjutnya disampaikan oleh Metrini Geopani dalam Ramadan di Amerika.

Bulan Ramadan tahun ini di Amerika jatuh pada musim semi, minggu pertama bulan Mei. Sementara itu, umat Islam di beberapa tempat di Negeri Paman Sam tahun lalu berpuasa di tengah matahari terik dan cuaca cukup panas dengan suhu rata-rata bisa mencapai 31 hingga 37 derajat Celcius.

Hasna Fadhilah, dosen IPDN Jatinangor, Sumedang, yang baru pertama kali ke Amerika Serikat tahun ini melakukan banyak persiapan menjelang puasa. Fellow yang ditempatkan di Religious Freedom Institute, Washington DC itu sibuk mempersiapkan puasa, mulai dari berbelanja stok makanan hingga mencari masjid terdekat.

"Saya udah jauh hari nanya ke kawan-kawan kantor, di mana sih masjid terdekat, salat tarawih?," tuturnya seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (8/5/2019).

Beberapa orang Indonesia di Amerika juga ada yang baru pertama kalinya merasakan berpuasa Ramadan di luar negeri. Maryam Nisywa, mahasiswa asal Bandung, tiba di AS pada musim gugur lalu. Ia sudah biasa berpuasa sejak kecil. Namun bagi mahasiswi program master di George Washington University itu, puasa pertama di luar negeri adalah momen yang menantang sekaligus menjadi pengalaman baru.

"Selain tentunya menjaga kondisi fisik, hal penting bagi saya selama berpuasa adalah menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan, mendaftar berbagai online classes dan juga melakukan berbagai pekerjaan seperti translating dan transcribing," ujar Maryam.

Bagi Hasna dan Maryam, ini adalah tahun pertama mereka berpuasa Ramadan dengan waktu lebih lama daripada ketika berada di Indonesia.

2 dari 2 halaman

Penuh Suka Cita hingga Kekhawatiran

Sementara itu Irwan Saputra, mahasiswa penerima beasiswa LPDP merasa penuh suka cita sekaligus sedikit khawatir menghadapi Ramadan kali ini.

"Pengalaman yang tak kan terlupakan karena berpuasa di daerah minoritas Muslim. Dan khawatir karena waktu puasa yang agak jauh lebih lama, yakni sekitar 17-18 jam, yang ini tidak pernah saya alami sebelumnya,” katanya.

Irwan yang tinggal sendirian di apartemen di Washington DC tetap berpuasa seperti biasa dengan memasak makanan sendiri menggunakan resep makanan khas Indonesia untuk santapan sahur dan berbuka.

Dari North Carolina, Rizki Harahap bersama keluarga di Durham paling merindukan suasana puasa di tanah air dengan makanan khas berbuka.

"Paling rindu suasana puasa di Indonesia dengan makanan khas berbuka seperti kolak pisang, cendol, es teler, dan kue-kue manis. Namun, kami dapat membuat sendiri makanan dan minuman itu. Untungnya, bahan-bahan tersebut dapat dibeli di supermarket makanan Asia di Durham, North Carolina," tuturnya.

Kesibukan kuliah di Duke University dan 15 jam puasa dengan terbenamnya matahari yang lebih lama di musim semi dan musim panas tidak menghalangi Rizki bersama anak dan istrinya untuk tetap berpuasa di luar negeri.

Setelah berbuka, Rizki dapat melakukan sholat tarawih berjamaah di beberapa masjid termasuk di Duke University Centre of Muslim Life (CML) yang dapat ditempuh dengan 10 menit jalan kaki atau 2-3 menit mengendarai mobil dari rumahnya.